Liputan6.com, Jakarta PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk atau Mitratel (MTEL) dinilai salah satu perusahaan yang memiliki fundamental yang kuat. Selain menjadi pemimpin di sektor menara telekomunikasi, prospek Mitratel juga ditopang oleh pertumbuhan sektor telekomunikasi yang tertinggi dalam lima tahun terakhir, bahkan di era pandemi (2020- 2021), masih tetap bertumbuh signifikan.
Prospek Mitratel juga ditopang oleh aksi korporasi seperti buyback saham senilai Rp 1 triliun dan rencana akuisisi 3.000 menara yang akan dilakukan pada semester II-2022.
Advertisement
“Pertumbuhan sektor yang tinggi tersebut terefleksi dalam performa pemain-pemain besar di sektor ini seperti TBIG, TOWR dan MTEL. Top line dan Bottom line Mitratel selalu tumbuh dalam 3 tahun terakhir dengan angka pertumbuhan yang superior,” jelas Kepala Riset Praus Capital Alfred Nainggolan kepada wartawan, Rabu (8/6/2022).
Alfred menyebut kekuatan dan kelebihan Mitratel adalah positioning perusahaan sebagai pemain terbesar sektor telekomunikasi, baik dari sisi jumlah dan juga luas cakupan menara telekomunikasi.
Keunggulan yang dimiliki tersebut tentu saja menjadi advantage bagi Mitratel dan menjadi daya tarik operator telekomunikasi seperti Telkomsel, Indosat Ooredoo Hutchison , XL Axiata, dan lain-lain, yang tengah fokus memperluas jangkauan jaringan sinyal telekomunikasinya sebagai modal utama dalam bersaing, dan anak usaha Telkom yang merupakan operator telekomunikasi terbesar.
Alfred mengatakan, rasio kolokasi MTEL masih rendah dibandingkan perusahaan sejenis (peers), sehingga memberikan potensial upside pendapatan yang lebih besar dibandingkan peers.
Alfred memproyeksikan pertumbuhan laba bersih MTEL pada 2022 sebesar 25 persen atau 30 persen atau sekitar Rp 1,7 hingga Rp 1,8 triliun dari perolehan tahun 2021 yang tumbuh 129,4 persen menjadi Rp 1,38 triliun.
"Dengan target level Multiple PE'22 di kisaran 40x maka level harga saham MTEL Rp 830/saham. Selain sentimen optimisme tercapainya target pertumbuhan laba di tahun ini, aksi korporasi Buyback yang dilakukan akan menjadi sentimen positif/katalis tambahan untuk harga sahamnya," ucap Alfred.
Sinyal Positif
Menurut Alfred, aksi korporasi buyback adalah aksi korporasi yang dilakukan emiten untuk memberikan signal optimisme perusahaan terhadap prospek perusahaan ke pasar. Harga saham Mitratel saat ini dianggap manajemen belum merefleksikan fundamental dan prospek perusahaan (undervalue).
Apalagi laporan keuangan kuartal I 2022 menunjukkan, Mitratel memiliki posisi kas yang sangat besar, yakni rasio kas 2,38x (perbandingan kas, setara kas dengan liabilitas jangka pendek). Ini berarti Mitratel memiliki kas yang berlebih, sehingga buyback menjadi bagian cara untuk mengoptimalkan idle kas perseroan.
Alfred beranggapan anggaran buyback hingga Rp1 triliun tidak begitu signifkan jika melihat posisi kas kuartal I 2022 yang sebesar Rp 18,6 triliun. Namun begitu, dampaknya tentu akan menjadi katalis positif bagi harga sahamnya, dengan buyback hingga Rp 1 triliun berarti mencapai 10 persen dari saham publik atau cukup efektif menjadi stabilitas (penopang) harga sahamnya di pasar.
"Dengan pembatasan maksimal harga pembelian di Rp 801 per lembar atau premium 10 persen dari harga saat ini (Rp 735; Penutupan 7 Juni 2022) maka bisa menjadi sentimen positif untuk mengangkat harga sahamnya potensi mendekati level harga IPO Rp 800 per lembar," kata Alfred.
Advertisement
Sudah Tepat
Senada, Head of Investment Information Mirae Asset Sekuritas Indonesia Roger MM mengatakan, langkah Mitratel melakukan buyback saham senilai Rp 1 triliun merupakan hal yang tepat.
Menurut Roger, Mitratel memiliki fundamental yang solid. Hal ini terlihat dari pertumbuhan kinerja emiten hingga kuartal I 2022 yang mana mencetak pertumbuhan laba bersih sebesar 34 persen dan pendapatan naik hingga 21 persen.
Roger menyampaikan, emiten melakukan buyback karena pergerakan saham emiten berbanding terbalik dengan kinerja, sehingga momen yang tepat bagi emiten untuk melakukan buyback saat ini. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan performa harga saham emiten.
"Dengan buyback maksimal Rp 1 triliun setidaknya emiten bisa mengembalikan harga sahamnya kembali ke harga IPO atau bahkan lebih," kata Roger.