Liputan6.com, Jakarta Dewan Jaminan Kesehatan Nasional (DJSN) berencana merevisi Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Adapun perihal yang akan direvisi yakni terkait kelas rawat inap standar.
"Status saat ini sedang sedang mempersiapkan revisi Perpres 82/2018 untuk mengatur kelas rawat inap," kata Anggota DJSN, Asih Eka Putri saat dihubungi merdeka.com, Jakarta, Kamis (9/6/2022).
Advertisement
Nantinya Kementerian Kesehatan akan menerbitkan aturan berupa peraturan menteri kesehatan yang menjadi tahap awal tersebut. Hanya saja, saat ini masih menunggu izin dari Presiden Joko Widodo.
"Masih menunggu izin prakarsa Presiden untuk perubahan Perpres 82/2018," kata dia.
Hanya saja, dalam peraturan yang akan dikeluarkan tersebut tidak akan mencantumkan besaran tarif kepesertaan BPJS Kesehatan. Permenkes yang diterbitkan hanya berisi detail pelaksanaan kelas standar dan rumah sakit vertikal milik Kementerian Kesehatan mana saja yang akan dilaksanakan.
Penerapan kelas standar BPJS Kesehatan ini merupakan upaya yang dilakukan pemerintah dalam memperbaiki ekosistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sehingga program yang dijalankan bisa berkelanjutan dan meningkatkan mutu dari program JKN.
Rencana Penyesuaian
Sebagai informasi, penerapan kelas standar sudah disusun sejak awal tahun. Berdasarkan rencana pada Juli 2022 akan diimplementasikan 9 kriteria di 50 persen rumah sakit (RS) vertikal. Kemudian pada Desember 2022, implementasi 9 kriteria akan diterapkan di seluruh RS vertikal.
Kemudian secara bertahap penerapan 9 kriteria akan diperluas ke 50 persen RSUD Provinsi pada Januari 2023. Pada Juli 2023 akan diperluas lagi ke semua RUSD Provinsi dan 50 persen RS swasta.
Pada Desember 2023 akan diimplementasikan 12 kriteria di seluruh RS vertikal dan 9 kriteria di seluruh RSUD Provinsi. Terakhir pada Desember 2024 akan diimplementasikan 12 kriteria di seluruh RS dalam negeri.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Advertisement
Layanan BPJS Kesehatan hingga Target Pajak 2023 Tak Maksimal, DPR Geram
Badan Anggaran (Banggar) DPR RI memprotes arah kebijakan fiskal negara sudah meningkatkan layanan BPJS Kesehatan untuk masyarakat. Namun, faktanya di lapangan, masih banyak peserta BPJS Kesehatan yang mendapatkan perlakuan sebelah mata di berbagai tempat pelayanan kesehatan.
"Bila perlu dirombak agar jaminan perlindungan dan keadilan buat peserta dalam mendapatkan pelayanan. Buat apa ada BPJS Kesehatan kalau perlakuan buat peserta seperti warga negara jelas 2," kata Ketua Banggar DPR Said Abdullah dalam Rapat Kerja DPR-RI dengan Pemerintah di Komplek DPR-MPR, Jakarta, Selasa (31/5).
Tak hanya itu, Said juga mempertanyakan penggunaan alokasi dana untuk sektor pendidikan yang besarnya 20 persen dari APBN setiap tahunnya. Besarnya alokasi tersebut tidak sejalan dengan hasil yang didapat. Faktanya kata Said, mayoritas angkatan kerja nasional hanya lulusan SD dan SMP.
"Tiap tahun kita anggarkan pendidikan 20 persen dari belanja negara, tapi angkatan kerja kita didominasi lulusan SD dan SMP," ungkapnya.
Menurut Said hal ini tidak akan sejalan dengan target pemerintah yang menginginkan tenaga kerja nasional yang berdaya saing. Sebaliknya, dengan kondisi demikian hanya bisa menjadi beban karena kemampuan angkatan kerja yang minim.
"Ini justru akan jadi beban bila usia produktif anak-anak kita tidak terserap di pasar kerja," kata dia.
Untuk itu dia meminta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi untuk berbenah. Sistem pendidikan yang digunakan harus bisa beradaptasi dengan kebutuhan pasar tenaga kerja di masa depan.