Liputan6.com, Jakarta Keragaman suku bangsa mempengaruhi lahirnya kesenian dan budaya yang beragam di Indonesia. Setiap daerah di Indonesia memiliki keseniannya masing-masing, salah satunya Provinsi Jawa Timur.
Bahkan, di tiap daerah Jawa Timur memiliki seni dan budaya dengan keunikannya, seperti kesenian Dongkrek yang merupakan kesenian asli dari Desa Mejayan, Kecamatan Mejayan, Kabupaten Madiun, Jawa Timur.
Kesenian Dongkrek merupakan perpaduan antara seni musik tradisional yang penarinya menggunakan topeng. Ada 3 jenis topeng yang digunakan yakni Topeng mbah Palang (orang tua), topeng putri (Roro Ayu) dan topeng genderuwo (Butho).
Baca Juga
Advertisement
Kesenian Dongkrek lahir sekitar tahun 1867 di Caruban yang saat ini berganti nama menjadi Kecamatan Mejayan. Dongkrek dipopulerkan oleh Raden Ngabehi Lo Prawirodipuro yang saat itu menjabat sebagai Demang atau Kepala Desa.
Kesenian Dongkrek adalah salah satu kesenian yang sangat unik, namun kini terancam punah karena semakin jarang dipentaskan.
Menurut cerita masyarakat, Dongkrek muncul sebagai tolak bala atas pagebluk atau wabah penyakit yang menelan banyak korban. Kala itu, banyak warga Mejayan yang mendadak sakit dan meninggal dalam waktu singkat.
Melihat situasi tersebut, Raden Prawirodipuro memikirkan solusi untuk mengatasi wabah pagebluk. Kemudian beliau melakukan meditasi dan bertapa di wilayah gunung Kidul Caruban.
Dari pertapaan dan meditasinya beliau mendapat wangsit untuk membuat semacam kesenian yang bisa mengusir wabah tersebut.
Konon wangsit yang didapatkan menggambarkan para punggawa kerajaan roh halus menyerang penduduk Mejayan dan dapat diusir dengan menggiring keluar dari desa.
Maka dibuatlah kesenian atau tarian yang menggambarkan fragmentasi pengusiran roh halus pembawa pagebluk itu.
Saksikan video pilihan berikut ini
Sempat Dilarang Pentas
Pada masa penjajahan, pemerintah kolonial Belanda sempat melarang kesenian ini untuk pentas di panggung terbuka. Dengan terpaksa, masyarakat yang berkecimpung di kesenian Dongkrek akhirnya tidak mementaskan kesenian ini di panggung terbuka.
Demikian pula saat Jepang berkuasa, semua tradisi budaya lokal dihentikan, kesenian Dongkrek juga termasuk di dalamnya.
Nama dongkrek berasal dari suara alat-alat musik yang digunakan, berupa bunyian “Dung” yang berasal dari beduk atau Kendang sedangkan “Krek” yang berasal dari bunyian berupa kayu berbentuk persegi, pada salah satu sisinya terdapat tangkai kayu yang bergerigi sehingga saat digesek akan berbunyi “Krek”.
Dari bunyi-bunyian tersebut akhirnya kesenian ini disebut Dongkrek. Dalam perkembangannya digunakan pula alat musik lainnya berupa gong, kenong, kentongan, kendang dan gong berry.
Saat musik tradisional pengiring Dongkrek ditabuh, sejumlah makhluk berwajah seram biasanya disebut sebagai Banaspati muncul, ia memiliki tangan dengan kuku-kuku tajam dan panjang.
Wajah makhluk tersebut beraneka warna ada yang berwarna merah, hijau, hitam dan kuning. Makhluk berwajah menyeramkan ini gerakannya liar dengan mengikuti suara musik pengiringnya.
Kemudian, makhluk seram tersebut duduk bersila berbentuk lingkaran dan tangannya terus bergerak-gerak tak beraturan. Banaspati seolah-olah tak terlihat mata telanjang.
Lalu datang tiga gadis berparas cantik saling bercanda seolah tak mengetahui ada makhluk berwajah seram di dekatnya. Gadis itu ketakutan ketika mahluk seram menampakkan wujudnya.
Banaspati berusaha menyerang, hingga akhirnya ketiga gadis itu masuk di dalam lingkaran para Banaspati. Saat ketiga gadis ini mulai kehabisan tenaga,tiba-tiba muncul pria tua berjenggot sambil membawa tongkat. Ia berusaha menyelamatkan gadis-gadis itu dari Banaspati.
Pria tua dan para Banaspati bertarung sengit, dan pertarungan dimenangkan oleh pria tua. Tiga Gadis itu pun berhasil diselamatkan.
Kesenian Dongkrek sempat dipentaskan dalam berbagai festival kesenian tradisional nusantara. Kelompok Seni Dongkrek Condro Budoyo pada tahun 2005 mendapat kesempatan untuk turut mengisi acara Gita Nantya Nusantara atau Pawai Budaya Nusantara di Istana Negara.
Kesenian Dongkrek dibangkitkan kembali oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Madiun dan Propinsi Jawa Timur pada tahun 1973. Saat itu, Pemerintah setempat berusaha merekonstruksi sejarah dan pakem kesenian Dongkrek melalui penelusuran dan studi dokumentasi.
Namun, seni tradisi minim peminat karena masyarakat lebih tertarik dengan kesenian yang lebih modern. Kini, hanya generasi tua yang menjadi pelaku utama dalam kesenian asli Madiun ini.
Advertisement