Waspada, COVID-19 Gejala Parah Bisa Picu Gangguan Kognitif

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menjelaskan bahwa gangguan kognitif adalah ketika seseorang mengalami kesulitan mengingat, mempelajari hal-hal baru, berkonsentrasi, atau membuat keputusan yang memengaruhi kehidupan keseharian mereka.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 13 Jun 2022, 13:00 WIB
Paramedis merawat pasien COVID-19 di Ruang ICU RSUD Kota Bogor, Jawa Barat, Jumat (18/6/2021). Tingkat keterisian tempat tidur atau Bed Occupancy Rate (BOR) RSUD Kota Bogor saat ini mencapai 73 persen. (merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menjelaskan bahwa gangguan kognitif adalah ketika seseorang mengalami kesulitan mengingat, mempelajari hal-hal baru, berkonsentrasi, atau membuat keputusan yang memengaruhi kehidupan keseharian mereka.

Baru-baru ini, penelitian mengungkap bahwa COVID-19 yang parah mengakibatkan gangguan kognitif yang setara dengan kehilangan 10 poin IQ.

Gangguan ini masih dapat dideteksi lebih dari enam bulan setelah mengalami penyakit akut akibat infeksi COVID. Sedangkan, pemulihannya bertahap.

Bukti terkait COVID-19 dapat menyebabkan masalah kesehatan kognitif dan mental yang bertahan lama semakin banyak ditemukan.

Mantan pasien COVID melaporkan berbagai gejala termasuk kelelahan, “kabut otak”, masalah mengingat kata-kata, gangguan tidur, kecemasan, dan bahkan gangguan stres pascatrauma (PTSD) beberapa bulan setelahnya.

Sebuah penelitian di Inggris Raya menemukan bahwa sekitar satu dari tujuh orang yang disurvei melaporkan memiliki gejala yang mencakup kesulitan kognitif 12 minggu setelah tes COVID-19 positif.

Dan studi pencitraan otak baru-baru ini menemukan bahwa bahkan COVID-19 ringan dapat menyebabkan otak menyusut. Hanya 15 dari 401 orang dalam penelitian ini yang dirawat di rumah sakit.

Temuan insidental dari proyek besar ilmu pengetahuan warga (The Great British Intelligence Test) juga menunjukkan bahwa kasus ringan dapat menyebabkan gejala kognitif yang persisten. Namun, masalah ini semakin tampak jika gejala yang dialami semakin parah.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Kasus Serupa Sebelum Pandemi

Pekerja medis bekerja di ICU dengan pasien Covid-19 sebuah rumah sakit di tengah pandemi yang berlangsung di Freising dekat Munich, Selasa (16/11/2021). Jerman dilaporkan memasuki periode gelombang keempat dan menjadi salah satu negara di Eropa dengan tingkat vaksinasi terendah (Christof STACHE/AFP)

Sepertiga dan tiga perempat pasien rawat inap melaporkan menderita gejala kognitif tiga sampai enam bulan kemudian, ini telah ditunjukkan secara independen.

Tingginya pengaruh infeksi COVID pada gangguan kognitif masih belum jelas. Bahkan sebelum pandemi, diketahui sepertiga dari orang yang memiliki episode penyakit yang memerlukan masuk ICU menunjukkan defisit kognitif objektif enam bulan setelah perawatan.

Ini dianggap sebagai konsekuensi dari respons peradangan yang terkait dengan penyakit kritis, dan defisit kognitif yang terlihat pada COVID-19 bisa menjadi fenomena serupa.

“Namun ada bukti bahwa SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19, dapat menginfeksi sel-sel otak,” mengutip CNA, Senin (13/6/2022).

Faktor lain, seperti hipoksia (kadar oksigen rendah dalam darah), mungkin juga berperan. Tidak jelas apakah masalah kesehatan psikologis yang menyebar setelah COVID-19 adalah bagian dari masalah yang sama dengan defisit kognitif objektif atau mewakili fenomena yang berbeda.

Untuk mengkarakterisasi jenis dan besarnya defisit kognitif ini dan lebih memahami hubungannya dengan tingkat keparahan penyakit pada fase akut serta masalah kesehatan psikologis pada titik waktu selanjutnya, peneliti menganalisis data dari 46 mantan pasien COVID-19.


Penelitian pada Pasien

Paramedis menyisir rambut pasien COVID-19 di Ruang ICU RSUD Kota Bogor, Jawa Barat, Jumat (18/6/2021). Kepedulian paramedis terhadap pasien tetap mereka lakukan walau jumlah pasien COVID-19 terus bertambah. (merdeka.com/Arie Basuki)

Pasien-pasien tersebut telah menerima perawatan di bangsal atau ICU Rumah Sakit Addenbrooke Cambridge, Inggris.

Para peserta menjalani tes kognitif terkomputerisasi terperinci rata-rata enam bulan setelah penyakit akut mereka menggunakan platform Cognitron. Platform penilaian ini dirancang untuk secara tepat mengukur berbagai aspek kemampuan mental seperti memori, perhatian, dan penalaran dan telah digunakan dalam studi sains warga yang disebutkan di atas.

Peneliti juga mengukur tingkat kecemasan, depresi, dan PTSD. Data dari peserta penelitian dibandingkan dengan kontrol yang cocok – orang-orang dengan jenis kelamin, usia, dan faktor demografis yang sama, tetapi tidak dirawat di rumah sakit karena COVID-19.

Para peserta menjalani tes kognitif terkomputerisasi terperinci rata-rata enam bulan setelah penyakit akut mereka menggunakan platform Cognitron. Platform penilaian ini dirancang untuk secara tepat mengukur berbagai aspek kemampuan mental seperti memori, perhatian, dan penalaran dan telah digunakan dalam studi sains warga yang disebutkan di atas.


Setara dengan Kehilangan 10 Poin IQ

Pasien COVID-19 duduk di tempat tidur di ICU Rumah Sakit Penyakit Menular Afganistan-Jepang di Kabul, 7 Februari 2022. Lima dari 38 rumah sakit perawatan COVID yang pernah beroperasi di Afghanistan terpaksa ditutup karena kekurangan dokter, obat-obatan dan bahkan pemanas. (AP Photo/Hussein Malla)

Dari penelitian tersebut terlihat, penyintas COVID-19 menjawab pertanyaan tes lebih lambat ketimbang kelompok kontrol.

Kemudian efek gangguannya diskalakan dengan tingkat keparahan penyakit akut dan penanda peradangan.

Kemampuan para penyintas COVID-19 gejala parah dibandingkan dengan 66.008 anggota masyarakat. Dari perbandingan itu, peneliti memperkirakan bahwa besarnya kehilangan kognitif pada penyintas setara dengan kehilangan 10 poin IQ.

Para penyintas mendapat nilai sangat buruk pada tugas-tugas seperti "penalaran analogis verbal" (menyelesaikan analogi, seperti "tali adalah untuk sepatu apa kancing untuk ...").

Mereka juga menunjukkan pemrosesan yang lebih lambat, yang sejalan dengan pengamatan sebelumnya pasca-COVID tentang penurunan konsumsi glukosa otak di area otak utama yang bertanggung jawab atas perhatian, pemecahan masalah yang kompleks, dan memori kerja.

Sementara penyintas COVID-19 yang parah yang mengalami spektrum gejala kesehatan mental buruk seperti depresi, kecemasan, stres pasca-trauma, motivasi rendah, kelelahan, suasana hati yang buruk, dan gangguan tidur tidaklah terkait dengan defisit kognitif. Ini merupakan mekanisme yang berbeda.

Infografis Tunjangan Khusus Penyandang Disabilitas di Jakarta. (Liputan6.com/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya