Liputan6.com, Jakarta - Beberapa kali, di akun media sosialnya tayang pemberitaan mengenai pertemuan para petinggi partai politik Tanah Air. Namun, tak semua berita mengenai politik Indonesia dibaca secara lengkap oleh Widya, seorang ibu dua anak. Dia mengaku tak pernah mengikuti perkembangan informasi jelang penyelenggaraan Pilpres 2024.
Kendati begitu, Widya akan mengikuti berita berita politik ketika capres dan cawapres sudah mulai melakukan kampanye. Sebab, ketika kampanye tiba, sebagian orang sudah mulai melakukan pembahasan-pembahasan kecil di masyarakat.
Advertisement
"Misal lagi belanja sayur, lagi kumpul keluarga, atau di group WhatsApp keluarga kalau sudah ada nama capres pasti dibahas, ayo pilih siapa gitu. Biasanya jadi tahu dan sedikit ngikutin," kata Widya kepada Liputan6.com.
Hal berbeda disampaikan Rizky Utama, seorang pekerja di kawasan Jakarta Selatan. Dia mengaku mengikuti pemberitaan tentang politik di Indonesia.
"Sebenernya agak males untuk lihat apa yang ditampilkan belakangan ini, toh dari sisi waktu masih lama ya. Apalagi kalau udah ada indikasi belok-belok berubah haluan," kata dia kepada Liputan6.com.
Sebagai pihak yang memiliki hak suara saat Pemilu, Rizky lebih mengikuti pemberitaan mengenai perkembangan tokoh-tokoh yang berpotensi maju sebagai capres. Nama-nama yang bermunculan lebih menarik diikuti daripada pendekatan para petinggi parpol.
"Supaya kita cari tahu dari sekarang yang mau kita pilih siapa atau paling enggak kita aware dengan rekam jejak mereka-mereka (tokoh yang digadang sebagai capres) itu," ucap Rizky.
Siapapun tokoh yang akan diusung nanti saat Pilpres 2024, Rizky mengaku akan tetap memberikan hak pilihnya. "Sayang aja kalau ada kesempatan milih tapi kita enggak ambil suara. Soalnya kan kebutuhan pokok kita aja ditentuin dari proses politik juga," ujarnya.
Tania punya pengamatan berbeda. Dia menyebut, pemberitaan politik jelang Pilpres 2024 masih belum terlihat arusnya. Sebab belum mengerucutkan salah satu nama yang akan diusung nanti.
"Ngikutin (pemberitaan) tapi enggak tiap hari update. Biasanya tiap Jumat summary berita, baca-bacain itu berita-berita politik udah sampai mana perkembangannya," dia menjelaskan.
Pertemuan Petinggi Parpol Bukan Bentuk Koalisi
Penyelanggaraan Pemilu memang masih sekitar 20 bulan lagi. Namun, sejumlah pertemuan antarpetinggi partai sudah mulai meramaikan panggung politik jelang Pemilu 2024. Nama-nama yang diperkirakan akan maju sebagai calon presiden juga sudah mulai terdengar.
Berbagai manuver politik itu mulai diperlihatkan. Misalnya adanya kesepakatan membentuk poros politik bernama Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang diprakarsai oleh Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, dan Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa.
Kemudian adanya pertemuan antara Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dengan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh pada 1 Juni 2022. Lalu selang beberapa hari tampak ada pertemuan Surya Paloh dengan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY.
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya menilai kegiatan yang dipertontonkan oleh para petinggi politik merupakan hal yang wajar ketika penyelenggaraan Pemilu 2024 tidak akan diikuti oleh pihak petahana. Bahkan kegiatan tersebut akan terus terjadi hingga menjelang masa kampanye.
Dia menilai sejumlah manuver politik yang ada belum dapat disebut sebagai sebuah pola koalisi antarpartai. Yunarto menyebut sebuah pertemuan dapat disebut koalisi bila sudah ada satu nama calon presiden yang diusung.
"Pertemuan Surya Paloh dengan SBY, Surya Paloh dengan Prabowo misalnya atau bahkan terbentuknya KIB itu bukan koalisi itu baru sebatas sebuah kumpul-kumpul politik," kata Yunarto kepada Liputan6.com.
Dia menambahkan, "Karena yang disebut dengan koalisi baru menjadi konkret biasanya ketika kemudian sudah muncul nama capres dan kemudian di situ ada diskusi mengenai siapa cawapres Siapa yang kemudian akan mendapatkan jatah menteri di panggung belakang."
Yunarto menilai, jelang Pilpres 2024 partai pimpinan Surya Paloh tidak hanya sekadar jadi penonton namun menjadi bagian tersendiri membentuk poros baru dalam perhelatan lima tahunan tersebut. Kata dia hal itu didasarkan pada rencana Rakernas untuk mengeluarkan tiga nama capres yang akan diusung dan juga langkah melakukan komunikasi dengan Partai Demokrat dan Gerindra.
Sementara itu, Yunarto menyatakan saat ini pola yang sudah terbentuk jelang Pilpres 2024 yaitu dari kubu PDIP. Sebagai partai pemenang pemilu partai pimpinan Megawati Soekarnoputri tersebut dapat mengusung calon presiden tanpa berkoalisi dengan partai manapun.
Kendati begitu, PDIP belum memperlihatkan gelagat untuk mengusung salah satu kadernya. Ada dua nama kader PDIP yang seringkali muncul dalam survei elektabilitas capres yakni Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Ketua DPR Puan Maharani.
Advertisement
Persiapan Pilpres 2024 Berlangsung Dua Putaran
Selain itu, Yunarto juga memprediksi nantinya ada pola-pola lain terjadi. Misalnya dari kubu Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto. Sebab Partai Gerindra hanya membutuhkan satu partai pendukung untuk memenuhi ambang batas presidensial threshold di Pemilu 2024.
"Poros ketiga ini menjadi menarik apakah kemudian akan muncul untuk memajukan Ganjar atau memajukan Anies Baswedan. Karena biasanya akan menjadi poros adalah gabungan partai-partai yang akan ikut menempel pada sosok yang dianggap elektabilitas tertinggi," paparnya.
Yunarto pun meminta agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan masyarakat dapat bersiap adanya kemungkinan terjadi dua putaran dalam penyelenggaraan Pilpres 2024. Lanjut dia, ketika terjadi dua putaran pertarungan yang sesungguhnya yaitu berada pada level elite politik dalam putaran lobi koalisi.
"Asumsi kalau tiga calon kemudian maju (Pilpres) saya pikir peluang dua putaran masih lebih besar, karena belum ada satupun diantara nama-nama ini yang mendapatkan angka elektabilitasnya di atas 50 persen," Yunarto menandaskan.
Direktur Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno menyatakan 15 bulan jelang pendaftaran capres dan cawapres merupakan waktu yang cukup singkat. Karena itu manuver politik yang terjadi sekarang merupakan sebagai langkah untuk memastikan adanya koalisi. Sebab saat ini hanya PDIP yang sudah memenuhi ambang batas pencalonan capres dan cawapres atau presidential threshold.
Menurut dia, persyaratan untuk memenuhi ambang batas tersebut tidak mudah. Setidaknya dibutuhkan minimal tiga partai politik menengah misalnya Partai Nasdem, Demokrat, dan PKS untuk mendaftarkan capres dan cawapres ke KPU pada 19 Oktober-25 November 2023.
"Inilah yang sebenarnya menjelaskan kenapa rajutan komunikasi politik antar elite antar tokoh itu dibangun dari sekarang, karena untuk mencocokkan antar partai-partai untuk berkoalisi," kata Adi kepada Liputan6.com.
Kata dia, pembentukan koalisi bukan hanya sebatas untuk melengkapi persyaratan yang ada, namun keinginan menang saat penyelenggaraan Pemilu. Penentuan capres dan cawapres seringkali akan diputuskan dalam detik-detik terakhir menjelang pendaftaran.
Elektabilitas Tiga Kandidat Capres
Adi menilai dengan terbentuknya KIB yang diinisiasi oleh Partai Golkar, PAN, dan PPP mengakibatkan beberapa parpol lainnya sudah mulai melakukan pertemuan antar petinggi. Mulai dari pertemuan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dengan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto hingga Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY.
"Tinggal diuji nantinya apakah tetap konsisten gitu. Apakah solid atau justru masuk angin di tengah jalan karena begitu banyak godaan-godaan politik yang lainnya, kalau capres yang diusulkan oleh KIB ini relatif tidak penerimaan pasar tidak terlampau hebat tentu partai politik yang ada di dalamnya terutama PAN dan PPP misalnya itu berpikir untuk lompat pagar menengok rumput tetangga," paparnya.
Lanjut Adi, saat ini ada tiga nama kandidat atau tokoh dengan elektabilitas tinggi berdasarkan berbagai survei. Tiga nama itu yakni Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, dan Prabowo Subianto. Menurut dia, parpol pasti akan tertarik untuk meminang mereka ataupun menduetkan dengan pasangan lainnya. Selain itu dia memperkirakan nantinya minimal ada tiga calon yang akan maju di Pilpres 2024.
"Di tengah kerumitan-kerumitan ini bukan tidak mungkin akan ada empat porsi politik yang akan nantinya bisa bertanding di Pilpres 2024 yang akan datang. Karena ini yang saya sebut bahwa PDIP sekalipun sampai saat ini belum bisa memastikan akan bisa berkoalisi dengan Gerindra," Adi menandaskan.
Berdasarkan hasil sejumlah survei elektabilitas calon presiden pada Pilpres 2024, terdapat tiga nama unggulan yang seringkali muncul. Yaitu nama Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo unggul dibandingkan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto dan Gubenur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Misalnya hasil survei dari Lembaga Poltracking Indonesia pada Kamis, (9/6/2022). Yakni menunjukkan sosok Ganjar Pranowo mendapatkan hasil survei teratas.Dalam simulasi elektabilitas 18 nama capres 2024, Ganjar Pranowo memperoleh angka 24,8 persen; Prabowo Subianto 21,2 persen; Anies Baswedan 15,5 persen.
Kemudian disusul figur dengan persentase di bawah lima persen yakni Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) 2,6 persen; Ridwan Kamil 2,5 persen; Sandiaga Uno 1,8 persen; Erick Thohir 1,6 persen; dan seterusnya.
Lembaga survei lain, SMRC juga merilis memahami elektabilitas capres 2024 pada 9 Juni 2022. Dalam rilis tersebut Ganjar Pranowo unggul ketimbang dua kandidat lainnya yaitu Prabowo Subianto dan Anies Baswedan. Perolehan hasil masing-masing nama tersebut adalah Ganjar Pranowo sebesar 30,3 persen, kemudian Prabowo Subianto 27,3 persen dan Anies Baswedan mencapai 22,6 persen.
Advertisement
Capres Harus Diusung oleh Partai Politik
Dari KIB sendiri belum memutuskan tokoh yang akan diusung menjadi capres di Pilpres 2024. Namun begitu, nama-nama yang diperkirakan akan maju sebagai calon presiden sudah mulai terdengar. Salah satunya Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartarto, berdasarkan keputusan Musyawarah Nasional (Munas) 2019.
Masalahnya, berdasarkan hasil survei elektabilitas Airlangga belum masuk tiga besar capres yang diperhitungkan. Namun, ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily mengaku tak ambil pusing mengenai hasil sejumlah survei tersebut.
Menurut dia, nama-nama populer yang memiliki elektabilitas tinggi bukan jaminan dapat maju sebagai capres dalam pesta demokrasi lima tahunan itu.
"Pada akhirnya calon-calon populer kalau mereka tidak dicalonkan oleh partai politik sebagaimana ketentuan konstitusi kita maka pada akhirnya mereka tidak bisa untuk mencalonkan diri menjadi presiden," kata Ace kepada Liputan6.com.
Ace menyatakan KIB masih terbuka dengan memberikan kesempatan kepada partai politik lain untuk bergabung. Kata dia, saat ini pihaknya masih memiliki waktu beberapa bulan untuk terus menaikan elektabilitas dan bersosialisasi kepada masyarakat. Selain itu Ace memastikan agar KIB tetep bersatu hingga dapat menentukan nama capres yang akan diusung.
Sebab koalisi yang dibangun oleh Partai Golkar, PAN, dan PPP mengibaratkan pembahasan capres layaknya kesimpulan dari sebuah buku. Ace menyebut untuk awalan KIB akan dilakukan pendahuluan atau pembahasan mengenai kerangka kerja strategi pemenangan, visi-misi, hingga berbagai isu-isu nasional.
"Saya kira kita di dalam membangun koalisi ini enggak bisa dilakukan dalam konteks tergesa-gesa tidak bisa kita membangun koalisi ini karena keterpaksaan banyak dari pengalaman Pilpres pasca reformasi sebagian besar koalisi itu di ujung ujung menjelang pendaftaran baru dibentuk koalisi. Kami ingin menghindari itu," ucap dia.
Penentuan Tiga Kandidat Capres dari Partai Nasdem
Sementara itu, pertemuan antara Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dengan beberapa petinggi partai lain dianggap beberapa pihak akan membentuk poros baru setelah munculnya KIB.
Ketua Bidang Media dan Komunikasi Publik DPP NasDem Charles Meikyansyah menyatakan berdialog merupakan gaya Surya Paloh sejak dulu. Seperti halnya dalam pembahasan calon pemimpin baru di Indonesia.
"Pemimpin baru ini lebih baik kemudian dikomunikasikan didialogkan didudukbarengkan dan sebagainya yang kemudian akan ada jalan baik untuk kemudian siapa kita kau ke depan. Nasdem jadi rumah terbuka menjadi tempat untuk siapapun untuk berbicara gagasan-gagasan penting kita melihat juga politik kebangsaan," kata Charles kepada Liputan6.com.
Charles menyatakan sejak Pilpres 2014, sosok Surya Paloh tidak pernah mengajukan namanya sebagai calon presiden atau wakil presiden. Kata dia, Surya Paloh memposisikan dirinya untuk mendorong dan mendukung sosok atau calon pemimpin bangsa yang lebih potensial.
Nasdem juga berencana akan menyampaikan tiga nama capres pilihannya jelang Pilpres 2024 pada Rakernas pada 15-17 Juni 2022. Tiga nama tersebut nantinya merupakan tokoh yang diusulkan setiap daerah dan diputuskan bersama.
"Mereka (DPW) bisa menyampaikan pandangan untuk calon presiden antara 3-5 orang calon presiden dari Partai Nasdem. Dari 3-5 orang itu nanti akan ditentukan 3 orang yang akan diumumkan langsung oleh ketua umum kami," ujarnya.
Selain itu, calon kandidat yang dicalonkan tak harus dari kader Nasdem. Nantinya setelah pengumuman, Charles menyebut tiga kandidat capres tersebut diminta untuk memperkenalkan diri ke kantor Nasdem.
"Enggak harus orang Partai Nasdem artinya dua kali kita Pemilu pun kan kita membuktikan kan bukan kader partai Nasdem. Apakah itu kader atau tidak kader sekali lagi terbuka kemungkinannya," Charles menandaskan.
Advertisement