Liputan6.com, Hong Kong - Kasus COVID-19 di Hong Kong sedang meningkat. Pada Minggu (12/6) ada kasus impor sebanyak 106 pasien, dan total 814 kasus baru di Hong Kong.
Menurut Hong Kong Free Press, Senin (13/6/2022), total kasus impor itu adalah yang tertinggi sejak pandem dimulai. Ada pula 16 kasus yang dicurigai sebagai sub-varian Omicron, yakni BA.2.12.1.
Baca Juga
Advertisement
Pihak Centre for Health Protection menyatakan masih ada kemungkinan bahwa akan ada penabahan kasus. Namun, dijelaskan kasus ini bukan karena ada acara khusus, melainkan merata di Hong Kong.
Ada kasus klaster terkait bar FLM di Sheung Wan. Selain itu, ada 18 kasus terkait bar Racks City.
Dua sekolah di Hong Kong mensuspens kelas selama dua minggu akibat penyebaran di dalam kelas.
Aturan vaksin di Hong Kong kini adalah tiga dosis di klinik spesialis dan pusat kesehatan terpadu pemerintah. Pasien harus mendapat tiga dosis vaksin atau mendapat hasil PCR negatif agar bisa mengakses layanan.
Industri Minta Aturan Dilonggarkan
Sementara, Kamar Dagang Internasional di Hong Kong meminta agar pemerintah setempat melonggarkan karantina COVID-19. Wakil Ketua Kamar Dagang Internasional, George Cautherley, mendorong agar Hong Kong memiliki kebijakan COVID-19 yang independen dari China Daratan.
Ia pun menggemakan ucapan Pemimpin Hong Kong Carrie Lam bahwa pemerintahannya punya otonomi untuk melawan COVID-19 dan tidak ikut-ikutan kebijakan nol COVID-19.
"Saya pikir itu adalah sesuatu yang ingin diketahui bisnis internasional: apakah kita mengikuti apapun yang Beijing katakan kita harus lakukan terkait membuka atau menutup perbatasan kita," ujar Cautherley.
Lebih lanjut, Cautherley mendukung agar Hong Kong mengikuti negara-negara lain yang mulai membuka diri.
"Saya pikir mayoritas bisnis-bisnis internasional akan bilang: buka perbatasan-perbatasanmu secepat mungkin. Adopsi hidup dengan Covid seperti seluruh dunia sedang lakukan," tambahnya.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Kasus di RI
Data harian sebaran COVID-19 per 13 Juni 2022 pukul 12.00 WIB menunjukkan penambahan kasus positif baru sebanyak 591.
Angka ini turut menambah akumulasi kasus COVID-19 di Tanah Air menjadi 6.061.079.
Penambahan juga terjadi pada kasus sembuh sebanyak 390 sehingga akumulasinya menjadi 5.898.501.
Sayangnya, kasus meninggal juga terus mengalami penambahan. Hari ini, penambahannya tercatat sebanyak 9 sehingga totalnya menjadi 156.652.
Kasus aktif juga bertambah sebanyak 192 sehingga totalnya menjadi 4.926.
Data juga menunjukkan jumlah spesimen sebanyak 66.300 dan suspek sebanyak 2.475.
Laporan dalam bentuk tabel turut merinci 5 provinsi dengan penambahan kasus terbanyak. Kelima provinsi itu adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, dan Bali.
- DKI Jakarta hari ini melaporkan 348 kasus baru dan 182 orang telah sembuh.
- Jawa Barat di peringkat kedua dengan 80 kasus positif baru dan 36 orang telah sembuh dari COVID-19.
- Banten melaporkan 74 kasus baru dan 39 orang dinyatakan sembuh.
- Jawa Timur 25 kasus positif baru dan 37 pasien sembuh
- Bali 19 kasus baru dan 31 orang sembuh dari COVID-19.
Provinsi lain tidak menunjukkan adanya penambahan kasus yang terlalu signifikan. Bahkan ada 12 provinsi tanpa penambahan kasus sama sekali.
Provinsi-provinsi itu adalah Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, dan Maluku Utara.
Advertisement
Menko Airlangga: Peningkatan Kasus Covid-19 Bukan Dampak Mudik
Terjadi peningkatan kasus positif Covid-19 dalam beberapa hari terakhir. Namun Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan peningkatan kasus ini bukan dampak arus mudik Lebaran 2022.
Menko Airlangga menjelaskan, peningkatan kasus baru dimulai setelah 41 hari setelah Lebaran. Jika dilihat hal ini diluar hitungan inkubasi virus. Oleh karena itu bisa disimpulkan peningkatan kasus bukan dampak mucik.
"Lebaran itu sudah 41 hari, jadi relatif flat," kata Airlangga Hartarto di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (13/6/2022).
Berdasarkan pengalaman, Airlangga mengatakan peningkatan kasus baru terjadi setiap munculnya varian baru dari virus corona. Misalnya, pada tahun 2021 lalu terjadi peningkatan kasus di Indonesia akibat munculnya varian delta.
Kemudian pada akhir tahun hingga awal tahun ini terjadi kenaikan kasus akibat munculnya varian Omicron. Begitu juga dengan saat ini, kenaikan kasus harian di Indonesia karena adanya varian omicron Ba.4 dan BA.5.
"Berdasarkan pengalaman, kenaikan ini karena ada varian baru. Sebelumnya ada delta dan omicron dan sekarang BA 4 dan BA 5," ungkapnya.
Senada, Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin memastikan kenaikan kasus Covid-19 baik di Indonesia maupun di luar negeri tidak disebabkan hari libur keagamaan. Peningkatan kasus terjadi semata karena munculnya varian baru dari Covid-19.
"Setiap terjadi lonjakan besar ini penyebabnya bukan hari raya keagamaan besar," kata Budi.
Dia menjelaskan, pada perayaan natal tahun 2021, kenaikan kasus terjadi di hari ke 27. Begitu juga dengan lonjakan kasus pada hari raya lebaran tahun 2021 yang terjadi pada hari ke-34.
"Di Natal kemarin dan hari raya tahun lalu, kenaikan kasus terjadi pada hari ke 27 dan hari ke-34. Sekarang kita amati lagi kenaikan terjadi pada hari ke 40," kata dia.
Hal yang sama juga terjadi di berbagai negara di dunia. Lonjakan kasus baru terjadi disebabkan munculnya varian baru covid-19. Bukan pasca perayaan hari raya keagamaan tertentu.
"Jadi kenaikan ini karena varian baru dan ini terjadi juga di luar Indonesia yang hari raya keagamaannya berbeda dengan Indonesia," pungkasnya.
Masyarakat Abai di Masa Pandemi COVID-19, Epidemiolog: Berarti Ada Kesalahan Strategi Komunikasi Risiko
COVID-19 masih berstatus pandemi dan kini bahkan ada subvarian baru yang beredar yakni Omicron BA.4 dan BA.5. Namun, sebagian masyarakat seolah abai dan cuek terhadap subvarian yang disebut lebih cepat menular ketimbang BA.1 dan BA.2.
Terkait hal ini, ahli epidemiologi Dicky Budiman mengatakan bahwa ketidakpedulian masyarakat memiliki kaitan dengan bagaimana pemerintah membangun kewaspadaan itu sendiri. Dalam hal ini, yang dilihat adalah strategi komunikasi risikonya.
“Dalam setiap wabah, ketika suatu negara menghadapi krisis kesehatan kemudian kewaspadaan masyarakatnya tidak terbangun, berarti ada masalah, ada kesalahan di strategi komunikasi risiko,” kata Dicky kepada Health Liputan6.com Minggu (12/6).
Strategi komunikasi risiko sendiri bukan hanya masalah komunikasi dan pesan. Lebih dari itu, strategi komunikasi risiko juga mencakup masalah manajemen risiko, masalah membangun kepercayaan, masalah transparansi, dan banyak hal lainnya.
“Bukan hanya di Indonesia, banyak negara yang menyampaikan situasi positif dan optimisme berlebihan sehingga yang terbangun bukan kewaspadaan melainkan rasa aman yang semu, rasa puas tapi belum siap.”
“Sedangkan, data yang melemahkan dan ancaman tidak disampaikan atau mungkin tidak dikenali. Ini yang membuat strategi komunikasi risiko menjadi tidak tepat sehingga yang terjadi adalah merasa pandemi sudah usai.”
Advertisement