Liputan6.com, Denpasar - Hiro San, begitu panggilan pria penyuka olah raga surfing itu. Olahraga dengan papan selancar di atas air itu pula yang membawa keinginannya untuk menetap di Bali sejak bulan Juli 2014 lalu.
"Saya membayangkan surfing di pantai yang bersih dengan ombak yang memacu adrenalin," kata pria yang berasal dari Prefektur Chiba, Jepang itu pada Liputan6.com.
Advertisement
Nyatanya, pantai yang ada di benaknya itu tak sesuai dengan kenyataan. Kondisi kotor dengan sampah plastik berserakan di tepi pantai jadi realita yang harus diterima pria bertubuh tegap itu dengan rasa kecewa.
"Setiap kali surfing, saya selalu mendapati botol plastik," sebutnya dengan wajah sedih.
Mendapati kenyataan itu, dia mulai meluangkan waktu setiap akhir pekan untuk berkeliling menyusuri pantai tak hanya untuk mengayunkan papan surfing di atas ombak, tapi untuk memunguti sampah plastik.
"Setiap minggu saya bersih-bersih sampah plastik, tapi kok rasanya enggak ada perubahan,” katanya dengan bahasa Indonesia yang terbata.
Cintalam (Love Nature)
Kesungguhan Hiro San dalam mewujudkan niatnya untuk membawa perubahan bagi lingkungan dibuktikannya lewat berdirinya Cintalam. Adapun arti di balik nama Cintalam adalah tempat yang terinisiasi dari niat kuat untuk mengubah kondisi alam terkhusus pantai di Bali yang riuh sampah plastik.
Cintalam berlokasi di Jalan Alas Arum, Banjar Jabapura, Kutuh, Kuta Selatan, Badung, Bali. Baru dibuka pada 21 Maret 2022.
"Kami percaya akan kekuatan cinta pada alam," sebutnya lewat website Cintalam di cintalampandawa.com.
Advertisement
Surf Skate Pertama di Bali
Cintalam menyediakan fasilitas Surf Skate pertama di Bali. Tempat yang tepat didatangi dan dicoba para surfer pemula sampai senior yang ingin lebih mahir.
"Pengunjung cukup membayar sewa tempat sebesar Rp 60.000 untuk seharian. Jika pengunjung tak bawa papan skate (skate board) dan helm tak perlu risau karena Cintalam juga menyediakan jasa penyewaan. Surf skate-nya pun terbuat dari kayu atau bambu," kata pria penyuka kuliner soto ayam itu.
Cintalam juga menyediakan kafe dan olahraga lainnya seperti Muaythai dan Yoga. Kafenya pun sama sekali tak menggunakan produk atau peralatan makan dari plastik. Karena mereka menaruh perhatian tinggi pada sampah plastik yang kerap dihasilkan para pelaku usaha.
Papan Surfing dari Bahan Kayu
"Many surfers say Love Nature, but they are still using plastic surf board," kata Hiro menegaskan ucapanya perihal banyak surfer yang menyebut dirinya pecinta alam, tapi nyatanya masih menggunakan papan surfing (papan selancar) berbahan plastik. Seringkali papan surfing yang patah akibat terjangan ombak akan hanyut kemudian menjadi masalah sampah yang mengotori laut.
Hal itu yang kemudian memantik ide cemerlang dan keinginan kuat untuk mulai membuat papan surfing dari kayu.
"Papan surfing dari kayu? Yakin?" batinnya.
Advertisement
Kendala Pembuatan Papan Selancar Berbahan Kayu
Sempat tak yakin saat memulainya, tetapi Hiro berhasil mewujudkan. Berbahan dasar kayu Balsa yang berasal dari Gianyar, Bali. Namun, semuanya tak serta merta lancar. Beberapa kendala berikut ditemuinya. Papan surfing kayu ini terkendala pada ketersediaan bahan baku, proses produksi yang jauh lebih lama, sampai harga jual yang tinggi.
Namun, itu tak surutkan semangat Hiro San dalam memproduksi. Karena kehadiran Cintalam bukan hanya "rumah" untuk para surfer juga sebuah awal mula wujud cinta alam yang sejati. Hasil produksinya kerap dibagikan kepada sahabat dan teman dekat.
Tak lain dengan tujuan menyosialisasikan perubahan yang ramah lingkungan. Dia pun sedang mencoba membuat menggunakan Kayu Paulownia dari Jepang, semoga Hiro San dan tim mampu mewujudkan dan bisa menjadi pilihan para peselancar yang benar-benar mencintai alam tempatnya berselancar.
Simak video pilihan berikut ini: