Liputan6.com, Jakarta - Empat kasus COVID-19 subvarian Omicron BA.4 dan B.A5 yang terdeteksi di Indonesia berasal dari Pelaku Perjalanan Luar Negeri (PPLN).
Temuan subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 serta kaitannya dengan PPLN, Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dr Siti Nadia Tarmizi mengatakan bahwa pemerintah tetap memonitor kondisi ini.
Advertisement
“Ada potensi peningkatan dan kita lihat ini masih dari pelaku perjalanan, gejalanya tidak berat sehingga dengan isolasi mandiri sudah bisa sembuh. Dengan kondisi ini, kita merasa kebijakan-kebijakan kita termasuk aturan PPLN itu masih cukup,” kata Nadia dalam wawancara daring Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Senin (13/6/2022).
“Jadi cukup dengan melengkapi dosis (vaksinasi) kemudian pada saat kedatangan tidak ada keluhan demam, maka yang bersangkutan atau PPLN itu dapat melakukan perjalanan.”
Namun, pemerintah tetap mengimbau agar pelaku perjalanan luar negeri tetap memerhatikan kondisi masing-masing. Jika merasa demam atau kondisi kurang baik maka segera lakukan tes. PPLN dengan tes positif akan didorong untuk melakukan isolasi.
Artinya, sejauh ini belum ada penyesuaian kebijakan PPLN untuk memitigasi paparan subvarian BA.4 dan BA.5, tapi pemantauan tetap dilakukan.
Nadia menambahkan, saat ini memang terlihat ada peningkatan kasus. Peningkatan ini disebabkan beberapa hal, termasuk mobilitas tinggi saat Lebaran.
“Mobilitas masyarakat itu kan hampir 80 juta, jadi memang pergerakan itu sangat tinggi dan pergerakan itu selalu menyumbang penambahan kasus COVID-19.”
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Mengganggu Upaya Menuju Endemi?
Peningkatan kasus saat ini kemudian dikhawatirkan akan mengganggu proses menuju endemi yang sudah digadang-gadangkan akan terjadi pada setidaknya akhir tahun ini.
Menurut pengamatan Nadia, peningkatan kasus COVID-19 terbilang sedikit dan positivity rate-nya masih sangat rendah di kisaran 1,4-1,5 persen.
Dari jumlah yang terlihat seperti meningkat itu tidak menimbulkan klaster atau perluasan yang luas.
“Jadi melihat angka tersebut kita menilai bahwa peningkatan kasus tadi itu adalah suatu hal yang wajar dan ini masih dalam jumlah yang rendah dan tidak mengganggu terhadap upaya menuju endemi.”
“Jadi pandemi yang terkendali ini dengan adanya jumlah kasus yang sedikit meningkat itu sebenarnya merupakan sebuah dinamika dari penularan tapi tetap dalam koridor bahwa pandemi ini masih terkendali.”
Hal ini dibuktikan dengan laju angka penularan yang cenderung di angka satu dalam 4 minggu terakhir. Bahkan sempat di bawah angka satu, 0,96. Artinya, pandemi ini masih dalam kondisi terkendali.
Advertisement
Vaksinasi Jadi Kunci
Senada dengan Nadia, epidemiolog Pandu Riono juga mengatakan bahwa pandemi masih terkendali.
Meski masih terkendali, upaya yang bisa dilakukan adalah meningkatkan vaksinasi COVID-19 dan disiplin jalankan protokol kesehatan (prokes).
“Kenaikan kasus COVID-19 di Indonesia dalam tiga pekan terakhir masih terkendali, yang penting kuncinya adalah peningkatan cakupan vaksinasi dan praktik protokol kesehatan,” kata epidemiolog Pandu Riono.
Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKUI) ini mengatakan bahwa peningkatan cakupan vaksinasi merupakan salah satu kunci untuk mencegah kenaikan kasus COVID-19.
“Kuncinya adalah meningkatkan cakupan vaksinasi sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya, mulai dosis pertama hingga dosis penguat atau booster,” kata Pandu mengutip dari Antara.
Pandu mengatakan dengan peningkatan cakupan vaksinasi diharapkan dapat meningkatkan imunitas dan proteksi optimal bagi setiap individu.
“Dengan imunitas yang tinggi di tengah masyarakat maka diharapkan dapat menekan angka hospitalisasi dan kematian seperti sekarang ini,” katanya.
Selain itu, sosialisasi dan anjuran protokol kesehatan juga perlu terus ditingkatkan dan diintensifkan guna meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat.
“Sosialisasi mengenai pentingnya memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan harus terus ditingkatkan guna mengingatkan masyarakat mengenai pentingnya protokol kesehatan,” kata Pandu.
Benar-Benar Terkendali?
Sementara, epidemiolog Dicky Budiman memiliki pendapat sendiri terkait terkendalinya kasus COVID-19 di Indonesia.
“Kalau bicara terkendali, kita haru sabar. Karena terkendali itu bukan hanya melihat indikator kasus infeksi yang menurun atau tidak terdeteksi, bukan hanya melihat dari sisi kematian atau keparahan atau angka reproduksi dan test positivity rate saja.”
“Tapi bagaimana tren penurunan dan indikator yang ada saat ini bisa bertahan. Hingga berapa lama tren ini bisa bertahan,” kata Dicky kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara belum lama ini.
Ia menambahkan, ada ukuran waktu yang bisa menunjukkan bahwa tren saat ini memang benar-benar menuju pada situasi terkendali.
“Kita punya ukuran, paling cepat kita bisa mengatakan bahwa ini benar terkendali jika semua tren dan indikator bertahan selama tiga bulan berturut-turut, tidak naik turun. Ini perlu disertai deteksi dini, tes, dan telusur yang memadai.”
Deteksi dini, tes, dan telusur masih menjadi kelemahan di Indonesia. Maka dari itu, validitas situasi terkendali masih perlu ditunggu dengan tetap mempertahankan apa yang dicapai saat ini.
“Jadi apa sudah terkendali? Ya belum, karena pengalaman pandemi sebelumnya kita harus tunggu situasi bertahan tiga bulan atau paling bagus 6 bulan.”
“Kita tunggu sampai Agustus lah, kalau Agustus situasinya sama seperti ini, saya kira kita punya kepercayaan diri bahwa pandemi akan terkendali. Dari saat ini sampai Agustus kita harus berupaya menjaga bahkan meningkatkan cakupan level PPKM.”
Advertisement