Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempertimbangkan upaya hukum peninjauan kembali (PK) atas vonis bebas Samin Tan, terdakwa dalam kasus dugaan korupsi proses pengurusan transmisi kontrak perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) PT AKT di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, sebelum upaya hukum PK dilakukan, pihak lembaga antirasuah masih menunggu salinan lengkap vonis kasasi MA.
Advertisement
Ali berharap MA segera mengirimkan salinan putusan kasasi itu untuk dipelajari lebih lanjut oleh tim jaksa penuntut umum
"Kami pelajari, apakah ada peluang dilakukannya langkah hukum berikutnya," ujar Ali dalam keterangannya, Selasa (14/6/2022).
Diketahui, Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi yang diajukan tim jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). MA menolak kasasi KPK terkait vonis bebas pemilik PT Borneo Lumbung Energi dan Metal Tbk Samin Tan.
"Tolak," demikian bunyi putusan singkat MA dikutip, Senin (13/6/2022).
Vonis tersebut diketuk ketua majelis Suhadi dengan anggota Suharto dan Ansori dengan panitera pengganti Dwi Sugiarto. Putusan itu diketok pada Kamis, 9 Juni 2022.
Putusan MA itu memperkuat vonis Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang membebaskan Samin Tan.
Atas vonis kasasi itu, KPK menegaskan menghormati putusan tersebut. Lembaga antirasuh menyebut sudah berupaya semaksimal menjerat Samin Tan.
"Langkah KPK untuk melakukan upaya hukum kasasi merupakan bentuk keseriusan kami untuk dapat membuktikan perbuatan terdakwa sebagaimana alat bukti hasil penyidikan dan penuntutan," kata Ali.
Kasasi
Diberitakan, tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) langsung menyatakan kasasi atas vonis bebas terhadap pemilik PT Borneo Lumbung Energi dan Metal Tbk (BLEM) Samin Tan.
"Kami menyatakan kasasi," kata jaksa Ronald Ferdinand Worotikan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (30/8/2021).
Dalam perkara ini, majelis hakim pengadilan Tipikor Jakarta membebaskan Samin Tan dari dakwaan pemberian gratifikasi sejumlah Rp 5 miliar kepada Eni Maulani Saragih selaku anggota Komisi VII DPR periode 2014-2019.
"Setelah JPU mendengar putusan majelis hakim tentunya kami tetap menghormati putusan majelis hakim yang telah membebaskan terdakwa namun perlu dicermati. Tentunya nanti akan kami tuangkan dalam memori kasasi setelah kita mendapat putusan majelis hakim," kata jaksa Ronald seusai sidang.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim yang terdiri dari Panji Surono, Teguh Santoso dan Sukartono menyatakan bahwa perbuatan pemberi gratifikasi belum diatur dalam Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Padahal Eni Maulani Saragih dijerat dengan pasal 12 B yang mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dalam batas 30 hari tidak melaporkan penerimaan gratifikasi ke KPK.
"Yang kami tangkap tadi kan sudah dinyatakan ada pemberian uang dari Samin Tan, hanya saja menurut majelis hakim pemberian itu tidak bisa dipidana, tentunya sebelum kami menjerat yang bersangkutan, kami sudah mencermati perkara-perkara pemberian yang sudah pernah diputus seperti dalam perkara tipikor Gayus Tambunan, pemberian kepada anggota DPRD Tanggamus sudah terbukti, ini akan kami muat dalam memori kasasi," tambah jaksa Ronald.
Sementara penasihat hukum Samin Tan mengatakan sependapat dengan hakim bahwa pemberi gratifikasi tidak bisa dipidana.
"Alhamdulillah dari awal argumentasi hukum kami kuat terutama terkait gratifikasi, sebenarnya 'simple' apakah pemberi gratifikasi bisa dipidana atau tidak, kan hukum pidana ada aspek legalitas, kalau belum ada hukum pidana berarti belum boleh dipidana itu kita perkuat," kata penasihat hukum Samin Tan, Yadi Noviadi Yusuf.
Advertisement
Terkejut
Ia mengaku awalnya terkejut dengan putusan hakim yang membebaskan kliennya.
"Terima kasih majelis hakim mendengar itu membaca putusan bebas. Jujur kita terkejut ya tapi karena hakim berani menerima argumentasi kita, kita pakai akademisi, tidak praktisi kita lebih menerangkan bagaimana sifat melawan hukum. Kita tunggu saja nanti upaya hukum dari jaksa," ungkap Yadi.
Dalam pertimbangannya, hakim mengatakan pasal 12 B UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 bukan merupakan delik suap tapi merupakan delik gratifikasi maka sangat tidak mungkin dalam gratifikasi itu mengancam pidana bagi yang memberikan.
"Sejak awal UU KPK dibentuk gratifikasi tidak dirancang untuk juga menjadi tindak pidana suap, gratifikasi menjadi perbuatan yang dilarang terjadi saat penerima gratifikasi tidak melaporkan hingga lewat tenggat waktu yang ditentukan UU," kata hakim anggota Teguh Santoso.
Perbuatan melawan hukum yang dilakukan Eni Maulani karena tidak melaporkan gratifikasi yang ia terima.
"Sifat melawan hukum penerimaan gratifikasi ini ada dalam diri si penerima bukan dalam diri si pemberi. Sikap melawan hukum ini ditunjukkan kepada penerimanya hal inilah yang membedakan antara gratifikasi dan suap," ungkap hakim Teguh.
Delik gratifikasi, menurut hakim, menjadi sempurna ketika penyelenggara negara tersebut yaitu Eni Maulani Saragih tidak melaporkan menerima sesuatu dalam waktu 30 hari sejak pemberian sesuatu diterima sebagaimana diatur dalam pasal 12 B.
"Menimbang karena belum diatur dalam peraturan perundangan maka dikaitkan dengan pasal 1 ayat 1 KUHAP menyatakan pelaku perbuatan tidak akan dipidana kecuali dengan peraturan perundangan yang sudah ada maka ketentuan pasal 12 B tidak ditujukan kepada pemberi sesuatu dan kepadanya tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya," jelas hakim.
Sementara dalam putusan utusan PN Tipikor pada PN Jakarta Pusat Nomor: 100/Pid.Sus/TPK/2018/PN.Jkt Pst tanggal 1 Maret 2019 untuk Eni Maulani Saragih divonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan ditambah kewajiban untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 5,87 miliar dan 40 ribu dolar Singapura karena terbukti menerima Rp 10,35 miliar 40 ribu dolar Singapura, salah satunya menerima gratifikasi dari Samin Tan sejumlah Rp 5 miliar.