Menuju Endemi, OJK Evaluasi Kebijakan di Pasar Modal Secara Berkala

OJK tidak menutup kemungkinan bersama otoritas terkait mengembalikan aturan seperti sedia kala sebelum pandemi COVID-19.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 14 Jun 2022, 14:23 WIB
Ilustrasi OJK (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengevaluasi untuk menyesuaikan aturan di pasar modal, menyusul transisi pandemi covid-19 menjadi endemi.

Deputi Komisioner Pengawasan Pasar Modal I OJK, Djustini Septiana mengungkapkan, tidak menutup kemungkinan OJK bersama otoritas terkait mengembalikan aturan seperti sedia kala sebelum pandemi COVID-19. Namun, hal itu akan dilakukan secara bertahap.

"Kita selalu melakukan evaluasi. Jadi tidak bisa saya katakan sekarang pastinya. Tetapi berdasarkan hasil review, berdasarkan hasil evaluasi kita dari periode ke periode, di situ kita menetapkan," kata Djustini dalam media briefing OJK, Selasa (14/6/2022).

Sebagai contoh, Djustini menyebut POJK Nomor 7/POJK.04/2017 tentang Dokumen Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas, Efek Bersifat Utang, dan/atau Sukuk, menjadi POJK Nomor 7/POJK.04/2021 tentang Kebijakan dalam Menjaga Kinerja dan Stabilitas Pasar Modal Akibat Penyebaran Corona Virus Disease 2019. Di mana dibutuhkan waktu sekitar satu tahun untuk menyelesaikan perubahan beleid tersebut.

"Kita bisa melihat mana yang diperlukan oleh pelaku industri, mana yang tidak diperlukan. Yang tidak diperlukan akan segera kita cabut," imbuhnya.

Adapun hingga saat ini, terdapat dua kebijakan yang telah dicabut oleh OJK. Yakni mengenai relaksasi perpanjangan penawaran awal dan relaksasi penundaan masa penawaran umum atau pembatalan penawaran umum.

Dia menuturkan, dua aturan tersebut tidak terlalu diperlukan oleh perusahaan. "Kita cabut karena ternyata tidak efektif. Jadi ini tidak dimanfaatkan oleh para pelaku industri. Ternyata dengan peraturan yang lama masih bisa dilakukan secara normal," kata Djustini.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Penghimpunan Dana di Pasar Modal Sentuh Rp 94 Triliun

Suasana pergerakan saham di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (10/2). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, penghimpunan dana di pasar modal hingga 3 Juni 2022 tercatat sebesar Rp 94,02 triliun. Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal I OJK, Djustini Septiana menyebutkan, raihan itu berasal dari 18 penawaran umum.

"Total penghimpunan dana tersebut berasal dari 19 IPO senilai Rp 17,73 triliun. Kemudian ada 11 PUT senilai Rp 11,99 triliun, 7 PU EBUS senilai Rp 9,08 triliun. Lalu 8 PUB EBUS tahap I senilai Rp 10,02 triliun, serta 36 PUB EBUS tahap II senilai 45,2 triliun,” papar Djustini dalam Media Briefing OJK, Selasa (14/6/2022).

Dari sisi kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hingga awal Juni yang kembali berada di atas level 7.000, yakni mencapai 7.182,96.

"Ini suatu prestasi kalau kita bandingkan di akhir 2019 yang masih di kisaran 6 ribuan, jadi 6.299,54 itu angka tertingginya,” kata Djustini. Adapun sepanjang tahun ini, IHSG sempat mencatatkan angka tertingginya pada April 2022 di level 7.276,19.

 


Kenaikan Kapitalisasi Pasar

Papan elektronik menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (30/12/2020). Pada penutupan akhir tahun, IHSG ditutup melemah 0,95 persen ke level 5.979,07. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Meskipun kemudian turun ketika ada isu-isu dari luar negeri yang sedikit mempengaruhi, tetapi pada akhirnya IHSG kembali positif.

"Untuk kapitalisasi juga demikian. Kita mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Jadi dari akhir 2020 sampai dengan akhir 2021 itu mencapai 18 persen peningkatannya. Bahkan untuk setengah tahun pun, walaupun kita belum bisa membandingkan sudah terjadi kenaikan 13 persen lebih, hampir 14 persen (13,94 persen),” ungkap Djustini.

Rata-rata nilai transaksi harian juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari 2020 ke 2021. Saat masa pandemi yang lagi hangat-hangatnya, justru nilai transaksi naik signifikan sebesar 45,9 persen. sementara hingga 3 Juni 2022, RNTH telah naik 20,1 persen menjadi sebesar Rp 16,07 triliun dibanding posisi akhir 2021 sebesar Rp 13,37 triliun.

Diikuti juga dengan rata-rata volume transaksi harian yang meningkat 81,44 persen pada 2021 dibanding tahun sebelumnya. Sementara sampai dengan 3 Juni 2022, RVTH tercatat naik 13,17 persen menjadi 23,35 miliar dibandingkan posisi akhir Desember 2021 sebesar 20,63 miliar.


Potensi Penggalangan Dana dari Pasar Modal Masih Ramai

Pengunjung melintas di papan elektronik yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta, Rabu (15/4/2020). Pergerakan IHSG berakhir turun tajam 1,71% atau 80,59 poin ke level 4.625,9 pada perdagangan hari ini. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Sebelumnya, sejalan dengan pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19, penggalangan dana di pasar modal, baik melalui penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) maupun right issue, diperkirakan masih ramai.

Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat total potensi penghimpunan dana dari pasar modal mencapai Rp 84,2 triliun. Penghimpunan dana itu dari penawaran saham perdana (IPO), rights issue dan penerbitan surat utang.

Sebelumnya, BEI kantongi 43 perusahaan dalam proses IPO dengan perkiraan total dana yang dihimpun Rp 14,1 triliun. Kemudian terdapat 33 perusahaan yang akan melakukan aksi korporasi itu hingga 3 Juni 2022. Perkiraan dana yang akan dihimpun dari rights issue mencapai Rp 25,2 triliun.

Selanjutnya pada pipeline pencatatan efek bersifat utang dan sukuk terdapat 36 emisi yang akan diterbitkan oleh 30 perusahaan dengan perkiraan total dana yang akan dihimpun Rp 44,9 triliun

Kepala Riset Praus Capital Marolop Alfred Nainggolan menilai baik dari sisi emiten, selaku pihak yang membutuhkan dana, maupun investor selaku penyedia dana, akan mengacu pada seberapa besar pertumbuhan ekonomi pada paruh kedua tahun ini.

"Karena dengan kondisi pertumbuhan ekonomi yang terus berlanjut, emiten akan berani ekspansi sehingga akan mencari pendanaan di pasar modal. Sementara dari sisi investor dengan kondisi ekonomi yang baik maka dana yang mereka berikan baik melalui penawaran saham maupun obligasi bisa digunakan oleh emiten secara produktif. Sehingga investasi investor berjalan dengan baik,” ujar Alfred kepada Liputan6.com, Rabu (8/6/2022).


Dibayangi Dampak Kenaikan Suku Bunga

Pejalan kaki melintas dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di kawasan Jakarta, Senin (13/1/2020). IHSG menguat 0,34 persen atau 21 poin ke level 6.296 pada penutupan perdagangan Senin (13/1) sore ini. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Memang, Alfred mencermati ekonomi Indonesia di semester II ini akan diperhadapkan pada dampak kenaikan suku bunga. Namun, pihaknya melihat belum ada dampak atau tekanan yang besar yang bisa menghambat pertumbuhan ekonomi, konsumsi, maupun belanja masyarakat.

Ia menilai, Indonesia memiliki modal nilai tukar yang kuat, berkaca pada performa nilai tukar Rupiah secara year to date (ytd) yang masih kuat di tengah sentimen kenaikan suku bunga The Fed.

“Sentimen ini menjadi ukuran bagaimana pasar global masih optimis dengan ekonomi Indonesia in line dengan kondisi inflasi, pertumbuhan ekonomi, surplus neraca perdagangan, dan sentimen harga komoditi,” ujar dia.

Tak hanya itu, sentimen lainnya seperti aksi beli investor asing juga dinilai memberikan kepercayaan diri bagi investor lokal untuk masuk ke pasar modal, baik melalui pembelian instrumen saham maupun obligasi.

Di sisi lain, Alfred mengatakan stabilitas politik di semester II juga relatif kondusif. Sehingga perhitungan pasar sepenuhnya akan fokus kepada respon ekonomi terhadap kenaikan suku bunga, dan konflik geopolitik yang eksposurenya sudah semakin menurun.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya