Liputan6.com, Jakarta - Korea Utara kini sedang dihadapkan oleh epidemi usus yang tidak diketahui penyebabnya. Kondisi ini terjadi di saat negara tersebut tengah memerangi COVID-19.
Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un dan pejabat senior lainnya dikabarkan telah menyiapkan bantuan untuk dikirimkan pada 800 keluarga yang mengalami epidemi usus.
Advertisement
Pada minggu ini, Korea Utara melaporkan bahwa negaranya tengah menghadapi "epidemi enterik akut" selama berminggu-minggu belakangan. Pihaknya belum menjelaskan tentang penyakit tersebut, namun enterik sendiri mengacu pada saluran pencernaan.
"Para pejabat... menyiapkan obat-obatan, bahan makanan, dan kebutuhan sehari-hari yang diperlukan untuk memberikan bantuan pada orang-orang di Kota Haeju dan Kabupaten Kangryong (Provinsi Hwanghae Selatan)," ujar keterangan Kantor Berita Pusat Korea (Korea Central News Agency/KCNA) dikutip Channel News Asia pada Jumat, (17/6/2022).
Provinsi Hwanghae Selatan sendiri merupakan wilayah pertanian utama Korea Utara. Sehingga terjadinya wabah tersebut ditakutkan dapat menambah kurangnya pangan kronis di tengah gelombang COVID-19 di sana.
Kim Jong-un meminta para pejabat pemerintahan untuk melakukan tugasnya termasuk dalam meringankan persoalan yang tengah dihadapi warga Korea Utara tersebut.
Hingga saat ini, Korea Utara juga belum menyebutkan secara pasti berapa banyak warganya yang tengah menghadapi epidemi usus tersebut.
Pada Kamis, 16 Juni 2022, pejabat di Kementerian Unifikasi Korea Selatan yang menangani urusan antar Korea juga mengungkapkan bahwa Seoul sedang memantau wabah tersebut yang sejauh ini masih diduga sebagai kolera atau tifus.
Gejala yang Dihadapi
Berdasarkan keterangan sementara, Korea Utara hanya melaporkan bahwa para pasien mengalami gejala demam. Namun tidak diketahui lebih jelas apakah demam tersebut terkait penyakit yang mana, COVID-19 atau epidemi usus.
Hal tersebut lantaran Korea Utara memang tidak melaporkan secara jelas terkait kasus COVID-19 di sana karena keterbatasan untuk melakukan testing.
Menurut laporan KCNA, terdapat lebih dari 23.160 orang yang melaporkan tengah mengalami gejala demam di Korea Utara. Sehingga sejak akhir April, jumlah total orang yang melaporkan gejala di sana sudah di atas 4,58 juta.
Diketahui, pasien yang terdeteksi meninggal dunia akibat wabah tersebut sudah mencapai 73 jiwa.
Korea Utara juga sempat mengungkapkan bahwa lebih dari 99 pasien demam telah pulih dan gelombang COVID-19 telah menunjukkan tanda mereda.
Namun di sisi lain, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) justru mengklaim pada awal bulan ini bahwa mereka ragu akan hal tersebut.
WHO menilai bahwa Pyongyang (daerah dengan kasus COVID-19 tertinggi) justru sedang mengalami situasi yang semakin buruk.
Advertisement
Sempat Menolak Vaksin COVID-19
Pada bulan Mei lalu, Korea Utara dikabarkan sedang mengalami kekurangan stok vaksin COVID-19 dan memilih untuk menangani pandemi tersebut dengan antibiotik dan obat rumahan.
Bahkan, media pemerintah Korea Utara sempat menyarankan warganya untuk mengobati COVID-19 beserta gejalanya dengan obat penghilang rasa sakit dan penurun demam.
Seperti ibuprofen, amoksisilin, dan antibiotik lainnya, yang sebenarnya biasa digunakan untuk mengobati infeksi bakteri, bukan untuk melawan virus.
Korea Utara memang menjadi salah satu negara yang belum menggencarkan vaksinasi COVID-19. Korea Utara juga sempat menyatakan bahwa negaranya terbebas dari virus SARS-CoV-2 tersebut.
Sebelumnya, negara yang dipimpin oleh Kim Jong Un ini juga sempat mengecilkan vaksinasi sebagai salah satu penangkal COVID-19 dengan menyebutkan bahwa tidak ada obat yang mujarab untuk menangani penyakit tersebut.
Cadangan obat-obatan juga tidak dapat mencukupi pasien. Sehingga negara tersebut akhirnya memerintahkan korps medis tentara untuk membantu menstabilkan pasokan obat-obatan, terutama di Pyongyang.
Dibantu WHO untuk Tangani COVID-19
WHO pun telah mengirimkan beberapa alat kesehatan dan persediaan lainnya ke Korea Utara. Belum diketahui pasti obat COVID-19 apa yang dikirimkan pada negara tersebut.
China dan Korea Selatan juga dikabarkan telah menawarkan untuk mengirim bantuan bila memang Pyongyang memintanya.
Menurut para ahli, Korea Utara memiliki dokter yang terlatih dan pengalaman untuk memobilisasi keadaan darurat kesehatan. Namun saat ini sistem medis di sana juga kekurangan sumber daya. Mengingat kasus di Korea Utara sedang tinggi-tingginya.
Dalam laporan pada bulan Maret lalu, seorang penyelidik hak asasi manusia PBB mengatakan, penanganan COVID-19 di Korea Utara memang terganggu oleh beberapa kondisi.
Seperti kurangnya investasi dalam infrastruktur, tenaga medis, peralatan dan obat-obatan, pasokan listrik yang tidak teratur, dan fasilitas air dan sanitasi yang tidak memadai.
Pihak berwenang Korea Utara mengungkapkan, sebagian besar kematian di sana disebabkan oleh mereka yang mengonsumsi obat-obatan tanpa pengetahuan yang cukup tentang varian Omicron dan metode pengobatannya.
Advertisement