Liputan6.com, Surabaya - Koordinator Nasional Komunitas Kretek 2010-2016 dan Penulis buku "Membunuh Indonesia", Abhisam Demosa mengungkapkan, Nicotine War merupakan hasil riset dan kajian Wanda Hamilton yang menguliti kepentingan bisnis obat-obatan yang dikenal sebagai Nicotine Replacement Therapy (NRT) dalam agenda global pengontrolan tembakau.
Perang nikotin, sebagaimana digambarkan Wanda Hamilton, sudah nyaris dimenangkan oleh korporasi-korporasi farmasi internasional dengan kesuksesannya melalui kampanye global antitembakau, serta dukungan penuh dari WHO, lembaga kesehatan publik, pemerintahan dan NGO anti tembakau.
Advertisement
“Siasat bermitra dengan pemerintah, otoritas kesehatan publik, dan membuat propaganda kesehatan melalui jaringan media, termasuk secara sistematis mengintervensi para dokter adalah semata untuk mematikan industri tembakau. Tujuannya jelas, nikotin tidak lagi dikonsumsi melalui rokok, melainkan melalui racikan farmasi,” ujarnya, usai bedah buku Nicotine War karya Wanda Hamilton di ASEC Tower Universitas Airlangga, Sabtu (18/6/2022).
Bagi Abhisam, isu antirokok telah berkembang di Indonesia, salah satu agenda besarnya adalah Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) yang terus diperingati di Indonesia setiap 31 Mei.
“Segala kampanye antirokok di Indonesia hari ini adalah duplikasi strategi yang sudah dibongkar Wanda Hamilton dalam Nicotine War," ucapnya.
"Menaikkan cukai tinggi, membuat peraturan yang eksesif, dan sebagainya itu, tak lain adalah untuk mematikan Industri Hasil Tembakau (IHT) dalam negeri, agar leluasa memonopoli peredaran nikotin. Bayangkan, jika IHT ini tumbang, kedaulatan pun turut terancam,” imbuh Abhisam.
Narasumber yang lainnya yang juga merupakan seorang budayawan, penulis buku Saya Jawa dan Islam, Irfan Afifi menambahkan, dirinya menggunakan pendekatan kebudayaan dalam memahami Nicotine War.
Menurutnya, kebijakan dan regulasi IHT dalam negeri yang meniru kerangka kebijakan asing adalah bukti jika bangsa ini sering gamang menentukan sikap dan tidak berdaulat atas dirinya sendiri.
“Ini pernah terjadi di sektor pertanian seperti Kopra. Kesadaran kita tentang kesehatan seringkali diarahkan oleh hasil kampanye masif, bukan karena keyakinan dan kemandirian berpikir sendiri," ujarnya.
"Seperti narasi merokok sebagai sebuah kebiasaan malah menjadi narasi menghisap rokok adalah candu hingga perokok adalah pecandu,” tambah Irfan.
Ketidakmandirian pada level pengetahuan, lanjut Irfan, membuat bangsa Indonesia sering tidak tepat menemukan solusi atas berbagai persoalan.
Masyarakat Indonesia telah lama diintervensi oleh kampanye kesehatan yang masif dan dipaksa mengamini hasil penelitian luar negeri secara mentah-mentah.
“Kita harus menjaga nalar kebudayaan, sebab itulah yang membuat kita masih bekerja membentengi rokok kretek sebagai produk kebudayaan Indonesia,” ucapnya.
Ada Ketidakadilan
Dosen Komunikasi Politik Unair Surabaya Suko Widodo menilai adanya ketidakadilan di dalam penerapan regulasi IHT.
“Sebelum melarang sebaiknya para ahli kesehatan benar-benar melakukan penelitian mengenai manfaat tembakau, karena saya yakin semua yang ada di dunia ini bukan sesuatu yang sia-sia dan pasti memiliki manfaat positif," ujarnya.
"Tembakau atau kretek ini adalah harta karun yang nilainya besar dan harusnya bisa mengangkat perekonomian di negara ini,” imbuh Suko.
Suko membeberkan data, akibat kenaikan tarif cukai pada kurun waktu 2015 -2020 terjadi penurunan produksi rokok dari 348,1 miliar batang menjadi 322 miliar batang atau turun 7,47 persen. Akibat penurunan produksi rokok, serapan tembakau petani menjadi terpengaruh.
“Semua fenomena ketidakadilan itu akan dengan mudah kita pahami jika mau membaca Nicotine War. Cara-cara bagaimana antirokok menepikan industri rokok tidak ada beda,” ucapnya.
Advertisement