Diversifikasi Portofolio Investasi di Tengah Kenaikan Inflasi hingga Suku Bunga

Pada pekan ini, bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed) memutuskan menaikkan suku bunga 75 basis poin yang merupakan kenaikan terbesar sejak 1994.

oleh Agustina Melani diperbarui 19 Jun 2022, 15:12 WIB
Pekerja melintas di depan layar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di BEI, Jakarta, Senin (3/1/2022). Pada pembukan perdagagangan bursa saham 2022 Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) langsung menguat 7,0 poin atau 0,11% di level Rp6.588,57. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Investor dinilai untuk diversifikasi portofolio investasi yang terbukti memiliki kombinasi pengembalian risiko lebih baik ketimbang berkonsentrasi pada volatilitas. Hal ini di tengah sentimen kenaikan inflasi dan suku bunga acuan bank sentral.

Pada pekan ini, bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed) memutuskan menaikkan suku bunga 75 basis poin yang merupakan kenaikan terbesar sejak 1994.

Kenaikan suku bunga acuan tersebut mendorong suku bunga acuan 1,5 persen-1,75 persen. The Fed memberi sinyal kenaikan suku bunga signifikan lainnya pada bulan depan. Ketua The Fed Jerome Powell menuturkan, kenaikan 75 basis poin dan 50 basis poin kemungkinan akan terjadi pada pertemuan the Fed berikutnya.

The Fed prediksi kenaikan suku bunga signifikan pada 2022, 3,4 persen pada Desember dan 3,8 persen pada akhir 2023. Itu kenaikan terbesar dari 1,9 persen dan 2,8 persen pada perkiraan Maret 2022. Langkah ini mengejutkan seiring bank sentral Swiss untuk pertama kali sejak 2007 menaikkan suku bunga acuan 50 basis poin seiring inflasi yang meningkat.

Mengutip riset PT Ashmore Asset Management Indonesia, ditulis Minggu (19/6/2022) menyebutkan pertanyaan apakah the Fed melakukan hal benar atau tidak?

Sebelum keputusan itu, ekonom Mohamed El-Erian menulis bankir perlu melakukan lebih dari sekadar menaikkan suku bunga 75 basis poin untuk mengembalikan kredibilitas.

"Langkah-langkah yang diperlukan termasuk membuat orang merasa lebih baik tentang keterampilan the Fed prediksi dan terdengar lebih keras pada inflasi," demikian mengutip riset PT Ashmore Asset Management Indonesia.

 

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Tingkatkan Uang Tunai

Layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di BEI, Jakarta, Rabu (16/5). Sejak pagi IHSG terjebak di zona merah. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Konsensus yakin the Fed memicu resesi untuk hentikan inflasi. Powell menuturkan itu bukan bidikannya yang terdengar agak dovish.

"Volatilitas jangka pendek tidak dapat dihindari seperti yang telah kita lihat pada minggu terakhir, terutama pada aset pendapatan tetap. Namun, sejauh ini kita telah melihat saham relatif tahan terhadap inflasi faktor yang tertanam di dalam,” tulis Ashmore.

Adapun Ashmore mempersiapkan turbulensi dengan meningkatkan posisi uang tunai bulan lalu seiring inflasi tidak menunjukkan tanda melambat.

"Kami terus sorot dan merekomendasikan klien untuk meningkatkan diversifikasi portofolio yang terbukti memiliki kombinasi pengembalian risiko lebih baik daripada konsentrasi terhadap volatilitas. Dalam waktu dekat buy on weakness saat saham di Indonesia koreksi,” demikian mengutip riset Ashmore.


Ada Rotasi Saham, Indonesia Bakal Jadi Pilihan Investor

Aktivitas pekerja di depan layar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di BEI, Jakarta, Senin (3/1/2022). Pada pembukan perdagagangan bursa saham 2022 Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) langsung menguat 7,0 poin atau 0,11% di level Rp6.588,57. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Indonesia dinilai tetap memiliki kemampuan lebih baik dari pada negara berkembang lainnya di tengah volatilitas yang terjadi imbas kenaikan harga energi dan inflasi.

Mengutip riset PT Ashmore Asset Management Indonesia, kebijakan intervensi strategis menjadi sorotan. Pada awal tahun saat pandemi COVID-19 melanda telah meningkatkan ketimpangan pendapatan, ditambah masalah yang dihadapi dengan krisis energi global menyebabkan harga bahan bakar naik.

Saat tarif Indonesia lebih baik ketimbang rekan lainnya mengingat status sebagai eksportir komoditas, kenaikan harga minyak goreng mempengaruhi sebagian besar masyarakat yang mendorong pemerintah mengambil risiko dengan larang ekspor crude palm oil (CPO) pada akhir April 2022.

Sementara itu, neraca perdagangan tetap surplus hingga April 2022. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Neraca Perdagangan Indonesia (NPI) mengalami surplus berturut-turut selama 2 tahun terakhir. Per April 2022, NPI mencetak surplus sebesar USD 7,56 miliar.

Di sisi lain, cadangan valuta asing turun signifikan selama sebulan, sehingga mempertanyakan kemungkinan ketidakpastian atas kebijakan. Pemerintah pun mengeluarkan kebijakan akhiri larangan ekspor minyak goreng mulai efektif 23 Mei 2022.

“Kebijakan lain yang kami soroti sebelum liburan adalah potensi kenaikan Pertalite dan LPG. Pemerintah juga memastikan dua sumber energi yang banyak digunakan masyarakat ini tidak akan ikuti kenaikan,” demikian mengutip riset tersebut, Minggu, 22 Mei 2022.


Inflasi di Indonesia Bakal Terkendali

Pekerja melintas di dekat layar digital pergerakan saham di Gedung BEI, Jakarta, Rabu (14/10/2020). Pada prapembukaan perdagangan Rabu (14/10/2020), IHSG naik tipis 2,09 poin atau 0,04 persen ke level 5.134,66. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Dengan demikian, inflasi Indonesia dinilai akan relatif terkendali dengan meningkatkan cadangan valuta asing yang memungkinkan rupiah lebih stabil. Sepanjang Mei 2022, rupiah sedikit di atas Rp 14.500.

"Dikombinasikan dengan penghapusan larangan ekspor, kami melihat surplus perdagangan akan meningkat pada Mei 2022," demikian mengutip dari laporan itu.

Selain itu, dengan harga komoditas dan harga minyak juga naik akan menjadi kekuatan ekonomi makro dari Indonesia untuk dapat menahan volatilitas saat ini.

"Kami melihat Indonesia terus memiliki kemampuan ini lebih baik dari pada negara berkembang lainnya dan oleh karena itu tetap menjadi salah satu tujuan utama untuk rotasi di pasar saham bagi investor,”

Ashmore pun menilai investor dapat mengambil kesempatan untuk masuk ke pasar saat koreksi.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya