Populasi di Kota Seoul Semakin Menurun, Ini Alasannya

Data statistik yang dirilis pemerintah Korea Selatan, Senin (13/06) lalu, menunjukkan 9,49 juta penduduk hidup di kawasan metropolitan Seoul pada 2022, turun dari sekitar 10,97 juta.

Oleh DW.com diperbarui 20 Jun 2022, 19:10 WIB
Kota Seoul, Korea Selatan di tengah pelonggaran aturan COVID-19. (Liputan6.com/ Tanti Yulianingsih)

, Seoul - Jutaan penduduk ibu kota Seoul berbondong-bondong pindah ke kota lain demi kualitas hidup yang lebih baik. Fenomena ini antara lain digerakkan digitalisasi dunia kerja yang mengosongkan pusat-pusat perkantoran.

Eksodus massal penduduk Seoul antara lain disebabkan oleh lonjakan harga properti dan daya pikat lingkungan asri di kota kecil bagi keluarga dengan anak-anak, demikian dikutip dari laman DW Indonesia, Senin (20/6/2022).

Data statistik yang dirilis pemerintah Korea Selatan, Senin (13/06) lalu, menunjukkan 9,49 juta penduduk hidup di kawasan metropolitan Seoul pada 2022, turun dari sekitar 10,97 juta menurut sensus penduduk tahun 1992.

Anjloknya jumlah penduduk ibu kota sudah melampaui batas 10 juta sejak 2016 silam. Menurut laporan Kementerian Dalam Negeri dan Keselamatan, jumlah penduduk di Seoul diprediksi berkisar hanya 7,2 juta orang pada 2050.

Fenomena itu tidak hanya menguras tenaga kerja handal di Seoul, tetapi juga dikhawatirkan bisa mempengaruhi pamor ibu kota Korea Selatan yang berusaha memikat tenaga kerja berkualitas dari Hong Kong dan Cina.

Sejak lama, ibu kota Korea Selatan berambisi menyaingi Tokyo atau Singapura sebagai pusat bisnis teknologi dan keuangan di Asia.

Tersulut Panasnya Pasar Properti

Kim Hyun-jung termasuk yang mengikuti gelombang eksodus warga Seoul ke luar kota. Melalui kepindahannya itu, dia menukar kepadatan di ibu kota dengan lahan hijau terbuka di Provinsi Gangwon, sekitar 2,5 jam berkendara dari Seoul.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Alasan Utama

Kota Seoul, Korea Selatan di tengah pelonggaran aturan COVID-19. (Liputan6.com/ Tanti Yulianingsih)

"Alasan utama kenapa orang pindah adalah harga rumah,” katanya kepada DW.

"Harga kini meningkat cepat dan tidak lagi bisa dijangkau banyak orang di Seoul,” imbuhnya.

Pada Mei 2017, harga rata-rata rumah keluarga di wilayah metropolitan Seoul masih berkisar 341 juta won atau Rp3,7 miliar. Memasuki Maret 2022 lalu, angkanya melejit menjadi rata-rata Rp7,1 miliar.

Lonjakan harga properti ikut berimbas pada pasar sewa. Karena menurut sistem penyewaan rumah di Korea Selatan yang disebut "jeonse,” penyewa tidak membayar sewa bulanan, melainkan membayar uang jaminan senilai hingga 80% dari nilai harga rumah.

Di dalam sistem ini, pemilik properti memetik keuntungan bulanan dari bunga deposito bank, sampai uangnya dikembalikan setelah berakhirnya masa sewa.

Dan Pinkston, seorang guru besar di Universitas Troy, Seoul, mengakui adanya tren kepindahan penduduk. Menurutnya fenomena ini turut digerakkan oleh derasnya pembangunan oleh pemerintah.

"Pemerintah berinvestasi banyak untuk membangun infrastruktur transportasi, terutama menambah jalur kereta cepat dari kota-kota satelit supaya penduduk yang tinggal di kejauhan bisa berpergian ke pusat kota dengan lebih mudah,” kata dia.

 


Serba Modern

Suami istri melihat ponsel mereka ketika mereka duduk di lereng bukit yang menghadap ke cakrawala kota di Seoul, Korea Selatan (2/4). Korea Selatan sedang bersiap untuk meluncurkan jaringan seluler 5G pertama di dunia pada 5 April. (AFP Photo/Ed Jones)

"Kebanyakan menyukai kota-kota baru ini karena dilengkapi fasilitas baru, sekolah dan rumah sakit modern, serta kualitas hidup yang lebih baik, tapi masih bisa bekerja di Seoul.”

Studi yang dibuat ECA Internatonal, sebuah perusahaan konsultan mobilitas dan transportasi, menemukan Seoul sebagai kota kesepuluh paling mahal di dunia untuk kaum ekspatriat. Adapun Hong Kong masih berdiri di urutan teratas, diikuti Tokyo, Shanghai dan Guanghzhou di Cina.

Dampaknya, tidak sedikit perusahaan Korea yang mengaku kesulitan merekrut tenaga kerja berkualitas, terutama untuk bidang sains, teknologi, dan mesin.

 


Budaya Bisnis Baru

Pengunjung berjalan di istana Gyeongbokgung setelah salju turun di pusat kota Seoul (15/2). Istana ini termasuk dari 5 istana besar dan merupakan yang terbesar yang dibangun oleh Dinasti Joseon. (AFP Photo/Jung Yeon-je)

Pinkston mengakui, perusahaan yang mencari sentra bisnis alternatif di Asia Pasifik kemungkinan tidak akan melirik Seoul. Namun, hal ini lebih berkaitan dengan pergeseran tren bisnis yang menjauhi cara-cara "tradisional.”

"Ada banyak perusahaan start-up teknologi yang didirikan oleh anak muda. Mereka biasanya tidak ingin menempuh jalur tradisional dengan berkuliah di sekolah elit dan manjutkan bekerja di perushaan besar di Korea,” kata dia. "Kami mulai menjauhi model tersebut.”

Menurutnya, salah satu keuntungan terbesar perekonomian modern berbasis teknologi adalah bahwa perusahaan tidak lagi harus mengahabiskan uang untuk menyewa kantor mahal di kompleks bisnis mewah. Namun, apa yang baik bagi pelaku usaha, belum tentu berdampak positif bagi kota seperti Seoul.

Hasil Utama KTT Korea Utara-Korea Selatan adalah Perang Korea Berakhir (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya