Kisah Garuda Indonesia, Hampir Bangkrut hingga Akhirnya Siap Terbang Tinggi Lagi

Garuda Indonesia (Persero) berhasil lolos dari ancaman pailit, pasca Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengesahkan proposal perdamaian dalam proses penundaan pembayaran kewajiban utang (PKPU) perseroan.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 20 Jun 2022, 18:00 WIB
Pesawat Garuda berada di landasan pacu Terminal 3, Bandara Soekarno Hatta, Banten, Rabu (17/11/2021). Maskapai Garuda Indonesia akan menutup 97 rute penerbangannya secara bertahap hingga 2022 mendatang bersamaan dengan proses restrukturisasi yang tengah dilakukan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta PT Garuda Indonesia (Persero) berhasil lolos dari ancaman pailit, pasca Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengesahkan proposal perdamaian dalam proses penundaan pembayaran kewajiban utang (PKPU) perseroan.

Pada tahap pemungutan suara pada Jumat (17/6/2022) lalu, 347 dari 365 kreditur atau 95,07 persen menyetujui proposal damai yang diajukan perseroan.

Opsi PKPU diambil lantaran utang dan kerugian yang diderita maskapai pelat merah tersebut makin membesar. Total utang Garuda Indonesia yang dicatat dan diakui Tim Pengurus PKPU mencapai Rp 142 triliun.

Beban utang memang bukan hal baru bagi Garuda Indonesia. Perusahaan penerbangan plat merah ini telah melalui berbagai kasus utang dari waktu ke waktu, hingga diliputi sejumlah kontroversi.

Merujuk informasi resmi yang diberikan perseroan, Senin (20/6/2022), Garuda Indonesia pertama kali mengudara pada periode 1940-an dalam era pendudukan Belanda. Pada saat itu maskapai masih bernama Indonesian Airways sejak 26 Januari 1949, dengan pesawat pertamanya yang bernama Seulawah atau Gunung Emas.

Pada awalnya Garuda Indonesia merupakan hasil kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan Koninklijke Luchtvaart Maatschappij (KLM), yang merupakan maskapai Belanda yang kemudian semua sahamnya dimiliki oleh Indonesia pada 1953.

Periode 1990-an jadi masa dimana perseroan akrab dengan berbagai masalah. Mulai dari bencana pada 13 Juni 1996, saat pesawat dari Fukuoka, Jepang menuju Jakarta meledak dan terbakar, sehingga menewaskan 3 dari 275 penumpang.

 


Kecelakaan 1997

Maskapai Garuda Indonesia secara resmi melayani penerbangan khusus kargo Denpasar – Narita mulai 2 Februari 2022. (Dok Garuda)

Peristiwa lainnya terjadi pada 26 September 1997, saat pesawat Airbus A300-B4 jatuh di Desa Buah Nabar, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.

Dalam peristiwa itu, seluruh penumpang yang berjumlah 222 orang dan 12 awak tewas seketika. Ini merupakan kecelakaan pesawat terbesar dalam sejarah penerbangan Indonesia.

Karena dua peristiwa tersebut membuat Garuda Indonesia kesulitan ekonomi. Hal ini ditambah dengan dampak Krisis Finansial Asia yang sedang dialami Indonesia membuat Garuda sama sekali tidak melakukan penerbangan ke Eropa maupun Amerika.

Badai krisis moneter yang terjadi di akhir dekade tersebut bahkan membuat Garuda Indonesia hampir bangkrut, lantaran beban utang yang terlampau berat. Hingga Agustus 1998, utang perseroan berada di kisaran Rp 828 miliar plus USD 377 juta kepada 50 bank pemerintah dan asing.

Secara angka, jumlah tersebut relatif lebih kecil dibanding utang yang tercatat saat ini. Namun patut dicatat, kurs rupiah kala itu masih jauh lebih kecil dibanding sekarang.

Seusai masa waktu tersebut, Garuda Indonesia pada 2000 melakukan ekspansi bisnis dengan membentuk anak perusahaan bernama Citilink. Maskapai baru ini menawarkan penerbangan dengan biaya murah ke kota-kota di Indonesia.

Namun, bukan berarti Garuda Indonesia luput dari masalah keuangan. Sejumlah kejadian besar seperti Bom Bali I dan Bom Bali II, wabah SARS, hingga Bencana Tsunami Aceh 26 Desember 2004 membuat perseroan harus kembali bergulat dengan masalah keuangan.

 


Sanksi Uni Eropa

Pesawat Garuda berada di landasan pacu Terminal 3, Bandara Soekarno Hatta, Banten, Rabu (17/11/2021). Maskapai Garuda Indonesia akan menutup 97 rute penerbangannya secara bertahap hingga 2022 mendatang bersamaan dengan proses restrukturisasi yang tengah dilakukan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Hal ini diperparah dengan sanksi Uni Eropa yang melarang semua pesawat maskapai Indonesia menerbangi rute Eropa.

Setelah kembali menata diri pasca krisis keuangan, Garuda Indonesia memutuskan untuk mencatat penawaran perdana saham atau IPO di Bursa Efek Indonesia pada 11 Februari 2011. Saat itu harga yang ditawarkan sebesar Rp 750 per lembar saham.

Namun, harga perdana tersebut menjadi polemik. Banyak kalangan menilai jika harga perdana yang ditawarkan terlalu mahal. Sejumlah kalangan menyebut harga saham Garuda ini bisa di kisaran Rp 560-Rp 850 per lembar.

Imbasnya, penjualan saham Garuda Indonesia sepi dari kejaran investor. Perseroan hanya mampu menyerap dana sebesar Rp 2,5 triliun. Padahal, yang ditawarkan ke pasar sebanyak 6,33 miliar lembar saham setara Rp 4,75 triliun.

Kerugian finansial pun tampak bukan jadi sesuatu yang asing bagi Garuda Indonesia selama dekade tersebut. Tak hanya mencatat kerugian, pihak maskapai juga diliputi sejumlah kontroversi.

Ketika perusahaan berada di bawah kendali Direktur Utama Ari Askhara, jajaran direksi sempat membuat gempar lewat manipulasi laporan keuangan pada 2018, dari seharusnya masih rugi menjadi untung.

Itu bermula dari laporan keuangan GIAA yang telah diaudit berbalik untung USD 809,846 pada 2018. Padahal, perseroan masih mencatat rugi pada periode September 2018, dan dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar USD 114,08 juta.

Bukan hanya masalah uang, Garuda Indonesia juga diliputi kabar kontroversial soal penyelundupan suku cadang motor gede (moge) merek Harley Davidson dan sepeda lipat Brompton di pesawat baru Airbus 330-900NEO pada 17 November 2019.

Makin mengejutkannya, aksi penyelundupan seharga ratusan juta itu dilakukan langsung oleh Ari Askhara selaku orang nomor satu di Garuda Indonesia.

 


Erick Thohir Turun Tangan

Menteri BUMN Erick Thohir saat rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI di Kompleks DPR/MPR RI, Jakarta, Selasa (25/1/2022). Rapat kerja membahas progres penanganan permasalahan PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk serta progres restrukturisasi BUMN dan Holding BUMN. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Erick Thohir yang baru saja menjabat jadi Menteri BUMN kala itu segera turun tangan, dan mengklaim bahwa kasus itu dijalankan secara sistematis oleh jajaran pegawai hingga pimpinan puncaknya.

Setelah kasus tersebut, nama Garuda Indonesia makin kerap disandingkan dengan kabar utang yang menumpuk. Situasi ini menggerakkan Chairul Tanjung yang juga sebagai wakil komisaris utama perusahaan.

CT Group melalui PT Trans Airways akan menambah modal pada pada PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA). Saat ini kepemilikan perusahaan milik pengusaha Chairul Tanjung ini di Garuda sebesar 28,26 persen.

Chairul Tanjung selaku CEO CT Corp menilai, penambahan modal akan dilakukan setelah proses restrukturisasi utang Garuda Indonesia rampung. "Kalau proses restrukturisasi selesai, nanti rencananya kita itu akan menambah kembali modal untuk memperkuat permodalan. Nanti rencananya dalam penambahan modal itu, kita juga akan menggandeng investor strategis," ungkapnya.

Infografis Krisis Kepak Sayap Garuda Indonesia (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya