Liputan6.com, Denpasar - Tak ada manusia yang benar-benar bisa merelakan sebuah kehilangan. Terlebih karena adanya pertalian emosi yang telah terjalin. Di satu sudut waktu Liswindio Apendicaesar, ingin meneriakkan rasa sepinya lewat puisi. Dari situlah ANICCA terlahir. Serupa bentuk pemaknaan kembali tentang arti sebuah arti melepaskan dan memaknai ketidakkekalan.
"Dalam menulis puisi saya temukan kenyamanan pun keluwesan. Puisi juga menyediakan ruang bebas bagi diri saya untuk mengekspresikan emosi dengan berbagai perumpamaan dan majas," kata pria yang akrab dipanggil Dio pada Liputan6.com beberapa waktu lalu.
Advertisement
Mengapa Memilih Puisi
Selain ruang bebas untuk mengekspresikan emosi, Dio menilai kalau puisi bisa dihadirkan dengan ragam kreativitas yang lebih pendek dari cerpen pun novel.
"Puisi juga bisa lebih implisit dibanding prosa, sehingga memungkinkan bagi saya mengekspresikan perasaan-perasaan yang sulit diutarakan secara lugas melalui puisi, tanpa perlu menyebutkan saya bersedih," sambungnya.
Eksplorasi tulisan lewat puisi akan tetap dilakukan pria kelahiran Bogor itu. Dia pun telah berencana menulis tema-tema yang berbeda untuk ke depannya. Ada rencana untuk menyiapkan naskah puisi berbahasa Inggris. Tapi sebelumnya masih akan coba menyelesaikan naskah kumpulan cerpen terlebih dahulu.
"Terpikir juga untuk menulis novel. Tapi karena perlu komitmen besar jadi mesti diyakini dulu ada energinya apa nggak," dia mengatakan.
Advertisement
Melepas Nama dan Rupamu
"Di pesisir, kau akan menemukan perahu mengantarmu ke pantai seberang, jauh dari kami yang tak mampu merelakan. Ayahmu telah mengajariku dengan baik; di kehidupan berikutnya, aku akan melupakan air mata ini, dan semua kembali menemukan satu sama lain. Tapi manusia tetaplah manusia dan semua doa adalah kenangan yang bergemuruh. Melepas nama dan rupamu".
Penggalan puisi ANICCA itu menjadi perlambang nyata tentang pergulatan batin seorang Dio saat ditinggalkan oleh Edo Widyananda, sahabatnya.
"Edo pergi tanpa sebab. Sehari sebelumnya dia baru pulang dari Boyolali menghadiri acara. Malamnya dia masih mengecek ke kamar Vani adiknya sekitar jam 10 malam. Sekadar memastikan apakah adiknya sudah tidur atau belum. Lalu, Edo pun menuju kamarnya dan tertidur. Dia enggak bangun lagi. Kami baru tersadar setelah jam setengah tiga sore," katanya mengingat hari yang tak perlu luput dari benak.
Sepasang Sosok Manusia Pembawa Makna
Liswindio (Dio) amat menghormati ayah Edo, Pak Lilik namanya. Mengikuti kelas agama beliau membuat Dio memahami tentang manajemen emosi.
"Kami belajar mengendalikan emosi. Bagaimana agar kita tetap termotivasi untuk berbuat baik, menyiapkan diri untuk rela melepaskan orang-orang yang suatu hari akan berpisah dengan kita," kata pria kelahiran kota Bogor itu.
"Semuanya disampaikan Pak Lilik dengan cara yang sangat manusiawi, bukan nasihat-nasihat relijius yang easier said than done, tapi penuh pemakluman atas keterbatasan kita, dan perlunya untuk terus melatih diri untuk mengembangkan kapasitas diri kita," dia menambahkan.
"Ada bagian diri saya yang iri dengan Edo. Pak Lilik tak pernah memaksa anaknya, Edo pun adiknya untuk pintar akademik. Hanya satu kali saya melihat Pak Lilik menaikkan nada suaranya dan itu pun langsung diturunkannya lagi. Saya beberapa kali bertemu anggota keluarga inti Pak Lilik, dan semuanya seperti memiliki kepribadian yang serupa dengan Pak Lilik. Ada bagian diri saya yang berharap Pak Lilik adalah orang tua saya agar saya memiliki sikap lembut dan sabar seperti beliau,” suara hati Dio mengagumi ayah sahabatnya.
Advertisement
Inspirasi Diksi dan Tahapan Menulis Puisi ANICCA
Dia menyebutkan beberapa nama penulis senior yang menginspirasi diksinya. Penyair Indonesia seperti Avianti Armand, Goenawan Mohammad, Norman Erikson Pasaribu, Jokpin, Sapardi, Adhimas Prasetyo, Dea Anugerah, Mario F Lawi. Pun penyair luar seperti Chen Chen, Aiden Heung, Rodrigo Dela Peña Jr, Ocean Vuong, William Shakespeare. Dari para penyair itu, Dio mendapat banyak inspirasi diksi, bentuk, perumpaan, dan alusio (kiasan).
"Saya tidak memfokuskan pada naskah, tapi saya memfokuskan diri untuk menulis puisi per puisi, sesuai dengan perkembangan kemampuan menulis saya dan pengalaman hidup sehari-hari yang menjadi inspirasi dan dorongan menulis. Meskipun cara ini agak riskan karena ketika menjadi satu kesatuan naskah bisa jadi puisi-puisi yang ada tidak memiliki kesinambungan, tapi cara ini memungkinkan saya menulis secara jujur dan tanpa keterpaksaan target," dia mengatakan.
Dio belajar menulis puisi sejak 2018. Puisi-puisi dalam naskah ANICCA merupakan puisi-puisi yang ditulisnya sekitar tahun 2019 sampai 2022. Meskipun ada satu puisi yang awalnya ditulis sekitar 2018 ketika awal dia belajar menulis puisi, tapi kemudian dieditnya lagi di akhir tahun 2021 agar kualitasnya bisa setara dengan puisi-puisi yang ditulis Dio setelah di tahun 2020.
Pesan dari Buku Puisi ANICCA
Hiduplah sebagaimana adanya. Belajarlah untuk melatih diri melepaskan.
"Buku ini dan semua puisi-puisi di dalamnya tak lain merupakan perenungan dan juga pengingat bagi diri sendiri bahwa melepas adalah hukum alam. Kemudian saya mulai berlatih untuk melepaskan. Mau tak mau, suka tak suka, suatu saat saya harus bisa melepas semua hal dan orang yang saya kasihi," Dio memungkasi.
Advertisement