Liputan6.com, Jakarta Bank Indonesia (BI) memperkirakan kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) tetap baik, sehingga mendukung ketahanan sektor eksternal.
Transaksi berjalan kuartal II 2022 diperkirakan mengalami surplus, melanjutkan capaian surplus pada kuartal sebelumnya.
Advertisement
“Perkembangan ini didukung oleh berlanjutnya surplus neraca perdagangan seiring kinerja ekspor pada sebagian besar komoditas utama yang tetap kuat, ditengah peningkatan defisit neraca jasa seiring dengan meningkatnya jasa transportasi perjalanan ke luar negeri,” kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam Pengumuman Hasil RDG bulan Juni 2022, Kamis (23/6/2022).
Sementara itu, aliran masuk modal asing ke pasar keuangan domestik mencatat net inflows sebesar USD 1,5 miliar AS pada kuartal II-2022 hingga 21 Juni 2022, di tengah peningkatan ketidakpastian pasar keuangan global.
Disisi lain, posisi cadangan devisa Indonesia akhir Mei 2022 tercatat sebesar USD 135,6 miliar setara dengan pembiayaan 6,8 bulan impor atau 6,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
“Kinerja NPI pada 2022 akan tetap terjaga dengan defisit transaksi berjalan yang tetap rendah dalam kisaran 0,5-1,3 persen dari PDB terutama ditopang oleh harga komoditas global yang tetap tinggi,” ujarnya.
Kinerja NPI tersebut juga didukung neraca transaksi modal dan finansial yang diperkirakan tetap surplus meski lebih rendah dari perkiraan sebelumnya, di tengah penanaman modal asing (PMA) yang tetap kuat sejalan dengan iklim investasi dalam negeri yang terjaga.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Kondisi Lainnya
Perry menyampaikan, nilai tukar Rupiah mengalami peningkatan tekanan sejalan dengan mata uang regional lainnya, seiring dengan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global.
“Nilai tukar pada 22 Juni 2022 terdepresiasi 1,93 persen (ptp) dibandingkan akhir Mei 2022,” ujarnya.
Depresiasi tersebut sejalan dengan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global akibat pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif di berbagai negara untuk merespons peningkatan tekanan inflasi dan kekhawatiran perlambatan ekonomi global.
Sementara itu, pasokan valas domestik tetap terjaga dan persepsi terhadap prospek perekonomian Indonesia tetap positif.
Dengan perkembangan ini, nilai tukar Rupiah sampai dengan 22 Juni 2022 terdepresiasi sekitar 4,14 persen (ytd) dibandingkan dengan level akhir 2021, relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lainnya, seperti India 5,17 persen, Malaysia 5,44 persen, dan Thailand 5,84 persen.
Ke depan, Bank Indonesia terus mencermati perkembangan pasokan valas dan memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah sesuai dengan bekerjanya mekanisme pasar dan nilai fundamentalnya untuk mendukung upaya pengendalian inflasi dan stabilitas makroekonomi.
Advertisement
Gubernur BI Blak-blakan Penyebab Utama Stagnasi dan Inflasi Global
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyebut, ada tiga faktor utama yang menyebabkan risiko-risiko stagnasi dan inflasi yang terjadi di berbagai negara.
Pertama, risiko yang berkaitan dengan ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina termasuk juga pengenaan sanksinya yang menyebabkan gangguan pasokan energi dan pangan global serta gangguan mata rantai pasokan global.
"Ini yang kemudian menyebabkan tingginya harga-harga komoditas, harga energi maupun harga pangan global. Misalnya harga minyak kita perkirakan tahun ini bisa mencapai rata-ratanya USD 103 per barel. Demikian juga harga pangan juga meningkat tinggi, ini kemudian dari sisi pasokan menimbulkan resiko perlambatan ekonomi global, dari sisi kenaikan harga menimbulkan resiko dan terjadinya kenaikan inflasi diberbagai dunia," kata Perry dalam Pengumuman RDG bulan Juni 2022, Kamis (23/6/2022).
Faktor kedua, adalah pengetatan kebijakan moneter di Amerika Serikat dan diberbagai negara maju. Pengetatan moneter ditempuh oleh sejumlah bank sentral terutama di negara-negara yang pertumbuhan ekonominya meningkat seperti di Amerika, atau di negara yang inflasinya tinggi, yang disebabkan karena tidak mempunyai ruang fiskal atau menaikkan subsidi di negara-negara tersebut.
Ruang fiskal yang terbatas disejumlah negara menyebabkan kenaikan harga komoditas global, berdampak pada meningkatnya harga-harga di dalam negeri.
Selain itu, sejumlah bank sentral juga menaikkan suku bunga, tidak hanya Amerika serikat saja, melainkan juga terjadi di Brazil, Malaysia, India, maupun sejumlah negara yang lain. Kenaikan suku bunga tentu saja menurunkan permintaan dan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, Kenaikan kasus dan kebijakan zero covid-19 di Tiongkok menyebabkan terjadi perlambatan ekonomi di sana.
Menurut Perry, semua faktor-faktor ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi global beresiko ke bawah. Bank Indonesia memperkirakan yang semula pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2022 ini dapat mencapai 3,4 persen menjadi 3 persen.
"Bacaan kami dengan 3 faktor tadi, menimbulkan resiko bahwa pertumbuhan ekonomi global dapat turun menjadi 3 persen pada tahun 2022 ini meskipun akan naik kembali tahun 2023 menjadi 3,3 persen. Ini menimbulkan kenapa terjadi perlambatan ekonomi global," pungkasnya.