Liputan6.com, Jakarta Era COVID-19 dan berbagai masalah kehidupan dapat menjadi alasan terganggunya kesehatan mental. Ahli memaparkan bahwa kondisi mental yang terganggu dapat mengganggu kualitas hidup sehari-hari.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa COVID-19 meningkatkan prevalensi kecemasan global sebesar 25 persen.
Advertisement
“Informasi yang kami miliki sekarang tentang dampak COVID-19 pada kesehatan mental dunia hanyalah puncak gunung es,” kata Direktur Jenderal WHO, Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus.
“Ini adalah peringatan bagi semua negara untuk lebih memerhatikan kesehatan mental dan melakukan pekerjaan yang lebih baik dalam mendukung kesehatan mental populasi mereka,” imbuhnya mengutip keterangan pers WHO Jumat (4/3/2022).
Lantas, apa saja yang dapat dilakukan guna memulihkan kondisi kesehatan mental yang sudah terganggu?
Terkait pertanyaan tersebut, dokter spesialis kedokteran jiwa di Rumah Sakit Pondok Indah Bintaro Jaya, Ashwin Kandouw menyebutkan beberapa cara agar kesehatan mental kembali pulih.
Cara-cara tersebut yakni:
-Membiasakan hidup sehat
-Makan makanan sehat
-Tidur cukup
-Olahraga
-Membiasakan diri berpikir lebih positif
-Hadapi dan selesaikan masalah yang ada
-Lebih bersyukur
-Usahakan punya support system yang baik
-Cari pertolongan profesional (psikiatri/psikolog) jika diperlukan.
Sebaliknya, jika kondisi kesehatan mental dibiarkan terganggu maka dapat memicu gangguan yang lebih serius. Seperti dikatakan Ashwin, setiap orang memiliki potensi menjadi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
“Semua orang memiliki potensi menjadi ODGJ. Gangguan jiwa adalah gangguan fungsi otak, jadi semua orang punya potensi menjadi ODGJ,” kata Ashwin kepada Disabilitas Liputan6.com melalui pesan teks ditulis Sabtu (25/6/2022).
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
3 Faktor Gangguan Jiwa
Ashwin menambahkan, ada tiga faktor yang membuat seseorang menjadi ODGJ. Ketiga faktor itu adalah faktor biologis, faktor psikologis, dan faktor sosial.
“Secara biologis semua hal yang bisa mempengaruhi fungsi otak seperti infeksi, trauma, genetik dapat membuat seseorang menjadi ODGJ.”
Sedangkan, faktor psikologis terkait dengan hal-hal seperti trauma akibat perang, perkosaan, bencana alam, near death experience, pandemi yang dapat memengaruhi fungsi otak.
“Faktor sosial seperti bullying dan pola asuh yang salah juga dapat mempengaruhi fungsi otak.”
Ia juga menggarisbawahi, orang yang terlihat memiliki gangguan mental tak serta-merta bisa langsung ditetapkan sebagai ODGJ yang harus dirawat di rumah sakit jiwa. Ada beberapa kriteria tertentu yang merujuk pada kondisi tersebut.
Kriteria-kriteria yang dimaksud termasuk memiliki sekumpulan gejala yang khas untuk gangguan jiwa tertentu (seperti yang dimuat di pedoman diagnosis gangguan jiwa).
“Gejala-gejala tersebut menyebabkan penderitaan dan gangguan fungsi kehidupan. Namun, untuk menegakkan diagnosis ODGJ dibutuhkan kemampuan profesional seperti psikiatri/dokter spesialis kedokteran jiwa,” kata Ashwin.
Advertisement
Kelompok Rentan COVID-19
Sebagaimana penyandang disabilitas lainnya, ODGJ yang merupakan disabilitas mental juga digolongkan sebagai kelompok rentan COVID-19.
Menurut Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) dr. Diah Setia Utami, SpKJ selain rentan terinfeksi, ODGJ juga rentan menularkan virus ke orang sekitar.
“Risiko kematian ODGJ juga meningkat dua kali lipat dibandingkan kelompok masyarakat lain,” ujar Diah mengutip Sehatnegeriku, Jumat (7/1/2022).
Berdasarkan data lapangan yang terhimpun dari Asosiasi Rumah Sakit Jiwa dan Ketergantungan Obat Indonesia (ARSAWAKOI), sebanyak 18 Rumah Sakit Jiwa (RSJ) telah menyediakan 1.383 tempat tidur di ruang isolasi dan 95 tempat tidur di ruang ICU.
Terkait jumlah kasus, ODGJ yang terpapar COVID-19 di 2020 telah menyentuh angka 1.105 jiwa dan untuk tahun 2021 ada sebanyak 829 jiwa.
Diah menambahkan, penanganan COVID-19 pada ODGJ cenderung lebih komprehensif ketimbang penanganan pada masyarakat umum.
“Dalam penanganannya, dokter tidak hanya memikirkan penanganan untuk menyembuhkan dari COVID-19 tapi juga memperhatikan kondisi Kejiwaannya. Maka dari itu penanganan terhadap ODGJ yang terkena COVID-19 menjadi lebih intensif dan komprehensif,” katanya.
Vaksinasi ODGJ
Salah satu cara yang telah ditempuh oleh Kementerian Kesehatan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian pada ODGJ adalah dengan cara pemberian vaksinasi COVID-19.
Dalam keterangan yang sama, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza dr. Siti Khalimah, SpKJ., MARS mengatakan bahwa pelaksanaan vaksinasi COVID-19 untuk penyandang disabilitas mental sudah dimulai sejak 1 Juni 2021.
Pencanangan vaksinasi ODGJ dilakukan di RSJ Marzoeki Mahdi yang juga dihadiri oleh Menteri Kesehatan.
Sebanyak 28 Provinsi di Indonesia telah melaksanakan vaksinasi ODGJ. Pelaksanaan vaksinasi penyandang disabilitas dilakukan oleh puskesmas di Kabupaten/Kota bekerja sama dengan RSJ setempat untuk menjadi sentra vaksinasi.
“Selain itu, penyelenggaraan vaksinasi pun dilakukan dengan metode ‘jemput bola’ dimana Puskesmas mendatangi rumah ODGJ untuk memberikan pelayanan vaksinasi COVID-19,” katanya.
Tahun lalu, Kementerian Kesehatan sudah memastikan bahwa orang dengan gangguan jiwa di rumah sakit jiwa seluruh Indonesia telah vaksinasi COVID-19.
Namun, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Kesehatan Jiwa dan NAPZA Kemenkes RI, dr Celetinus Elgya Munthe SpKJ, belum bisa menyebutkan secara rinci jumlah ODGJ yang sudah vaksinasi COVID-19 tersebut.
"Untuk data pastinya, saya akan tanyakan berapa yang sudah terkumpul pada masing-masing rumah sakit jiwa. Tapi seluruh rumah sakit jiwa kita telah memberikan vaksinasi untuk orang dengan gangguan jiwa," ujar Celestinus dalam diskusi virtual Kesetaraan dalam Kesehatan Jiwa untuk Semua pada Rabu, 6 Oktober 2021.
Advertisement