Liputan6.com, Jakarta Masalah subsidi energi masih menjadi masalah pelik. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun kembali menyampaikan permasalahan beban subsidi energi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terlalu besar, yaitu Rp 502,4 triliun lebih.
Bahkan menurut Jokowi alokasi subsidi energi ini lebih besar dibandingkan dengan biaya pembangunan Ibukota Negara (IKN) baru sejumlah Rp 446 triliun, dan alokasi anggaran untuk pembangunan dan pemberdayaan desa dan masyarakat desa selama kurun waktu 2015-2020 sejumlah Rp 332,32 triliun.
Advertisement
Artinya, Presiden masih memiliki komitmen untuk upaya pengurangan subsidi energi yang di luar kewajaran, sebab permasalahan ini merupakan janji politik saat kampanye pemilihan Presiden.
Masalahnya kemudian, kenapa tidak ada perubahan dalam kebijakan alokasi subsidi energi yang dijalankan oleh pemerintah?
Dimanakah letak sumbatannya ( bottle neck) sehingga beban subsidi energi terus membengkak dan besar kemungkinan tidak tepat sasaran atau tidak diberikan kepada kelompok miskin yang memang berhak.
Ekonom Konstitusi Defiyan Cori memaparkan, data yang dipublikasikan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membuktikan , bahwa realisasi subsidi energi yang diberikan untuk masyarakat pada tahun 2021 telah mencapai Rp 131,5 Triliun. Realisasi ini mengalami kenaikan sebesar 37,41 persen dibandingkan tahun 2020 sekitar Rp 95,7 triliun.
"Jumlah realisasi subsidi energi tersebut pun telah melampaui sasaran (target) yang ditetapkan sejumlah Rp 110,5 triliun atau angka realisasinya lebih besar Rp 21 triliun," kata dia, dikutip Sabtu (25/6/2022).
Rincian realisasi subsidi energi itu digunakan sejumlah Rp 47,8 triliun atau 36,35 persen untuk alokasi listrik, serta subsidi untuk energi fosil yaitu Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Liquified Petroleum Gas (LPG) sejumlah Rp 83,7 triliun atau sebesar 63,65 persen.
Jika dibandingkan dengan realisasi subsidi energi pada tahun-tahun sebelumnya, maka porsi subsidi untuk BBM dan LPG meningkat 75,47 persen atau Rp 36 triliun.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Subsidi Listrik
Sebaliknya dengan, subsidi listrik justru mengalami penurunan sebesar 0,42 persen atau Rp 200 miliar. Sementara itu, pemerintah telah menetapkan sasaran (target) subsidi energi untuk Tahun 2022 mencapai Rp 134 triliun. Namun, faktanya berdasarkan data Kementerian Keuangan hingga April 2022 realisasi belanja subsidi energi telah mencapai Rp 34,8 triliun.
"Jumlah itu mengalami kenaikan dari capaian di periode yang sama tahun lalu sejumlah Rp 23,2 triliun, terdapat selisih lebih besar Rp 13,6 Triliun," ungkap Defian.
Atas fakta realisasi subsidi energi itu, maka Kementerian Keuangan pada tahun 2022 menambah alokasinya menjadi Rp 74,9 triliun, dan telah disetujui oleh Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat pada Hari Kamis, 19 Mei 2022. Jumlah itu meliputi alokasi untuk subsidi BBM dan LPG sejumlah Rp 71,8 triliun dan Rp 3,1 triliun untuk subsidi listrik.
Dengan tambahan alokasi itu, maka jumlah anggaran yang ditujukan untuk subsidi BBM dan elpiji yang semula direncanakan sejumlah Rp 77,5 triliun menjadi naik sejumlah Rp 149,3 triliun, dan sisanya untuk subsidi listrik sejumlah Rp 39,6 triliun. Tambahan anggaran itu membuat biaya negara untuk subsidi energi tahun 2022 menjadi Rp 208,9 Triliun atau membengkak sebesar 55,9 persen.
Apabila pada akhirnya angka itu terealisasi sepenuhnya, maka realisasi subsidi energi tersebut merupakan yang tertinggi sepanjang periode pemerintahan Presiden Jokowi, sejak Tahun 2015 hingga sekarang. Adapun realisasi subsidi energi tertinggi sebelumnya di masa pemerintahan Presiden Jokowi terjadi pada Tahun 2018, yaitu mencapai Rp 153,5 triliun.
"Jadi, wajar sekali Presiden sangat khawatir di tengah terjadinya krisis energi yang melanda kawasan Benua Eropa dan potensi impor minyak kemungkinan akan terkendala oleh adanya perang antara Rusia dan Ukraina berpengaruh pada harga keekonomian minyak mentah," jelas Defian.
Advertisement
Percepat Transisi Energi
Presiden Jokowi tentu tidak ingin kasus krisis energi yang dialami oleh negara-negara di belahan benua Eropa menular ke Indonesia sebagaimana halnya pernah dialami pada Tahun 1973 dan 1979, dipicu oleh perang dan konflik kawasan serta kenaikan harga minyak sampai 300 persen.
Beberapa negara Eropa berencana mengaktifkan pembangkit listrik tenaga batu bara pasca terjadinya pemotongan pasokan gas dari Rusia.
Untuk itu, komitmen kementerian terkait sebagai sektor utama ( _leading sector_) harus mampu menerjemahkan kekhawatiran Presiden ini, terutama Kementerian ESDM, Perindustrian, Investasi dan BKPM dan BUMN bekerjasama dan berkoordinasi secara intensif untuk merumuskan peta jalan ( _roadmap_) transisi energi secara optimal.
Di samping itu, Presiden Joko Widodo dapat memainkan peran penting dan krusial untuk mengakhiri perang antara Rusia dan Ukraina di satu sisi. Di sisi yang lain, negara-negara produsen batu bara juga dapat bersama-sama menuntut komitmen energi bersih lingkungan yang telah dicanangkan G7 untuk membantu investasi pengembangannya di negara-negara lainnya, khususnya Indonesia.
Jika komitmen ini dipenuhi, maka krisis keuangan akibat membengkaknya realisasi subsidi energi akan secara bertahap dapat diatasi melalui pengembangan energi alternatif, baru dan terbarukan (EBT).
Dukungan kementerian terkait untuk menjalankan transisi energi ini juga dibutuhkan, sebab sinyalamen terhambatnya pengembangan EBT dilatarbelakangi oleh adanya konflik kepentingan para pembantu Presiden yang sekaligus pengusaha.
"Indonesia seharusnya mempersiapkan kertas kerja yang komprehensif untuk memanfaatkan momentum KTT G7 ini dengan sebaik-baiknya," kata Defiyan
Kebutuhan Pendanaan
Oleh karena terkait dengan pemenuhan kebutuhan pendanaan itu sendiri, secara teori pemerintah hanya memiliki diskresi melalui mekanisme kebijakan fiskal.
Namun, jika pemerintah hanya mengandalkan pendanaan dari ruang fiskal selama ini tampak sekali memiliki keterbatasan. Sebab, secara umum kapasitas maksimal pendanaan APBN dan APBD tak lebih dari 20 persen.
Transisi energi, terutama energi bersih lingkungan ini harus dijalankan pertama kali oleh jajaran pemerintahan khususnya birokrasi supaya menunjukkan komitmen atas kebijakannya.
Penggunaan kendaraan listrik, kompor listrik dan sejenisnya akan mampu mengurangi dampak pencemaran udara sekaligus melakukan penghematan atas penggunaan energi fosil secara berlebihan.
Alasan yang cukup kuat, yaitu lifting minyak Indonesia yang menjadi tanggung jawab Satuan Kerja Khusus Migas (SKK Migas) kinerjanya selama 7 tahun terakhir ini semakin menurun.
Apabila, perilaku jajaran pemerintahan telah beralih ke konsumsi energi bersih lingkungan, khususnya listrik berjalan secara efektif dan efisien, maka akan lebih mudah melakukan percepatan transisi energi kepada masyarakat seperti halnya dahulu transisi kompor minyak tanah ke elpiji (saat ini beban subsidi BBM dan elpiji terbesar).
"Berdasarkan data realisasi subsidi energi tersebut, jelas faktanya bahwa beban subsidi lebih rendah dalam konsumsi energi listrik sehingga pilihan transisi ke tenaga listrik merupakan sebuah opsi yang patut diperhatikan," tutup dia.
Advertisement