Pakar Hukum: Pengajuan PK Bisa Lebih dari Sekali Selama Ada Temuan Bukti Baru

Persoalan pembatasan peninjauan kembali (PK) dinilai akan menjadi polemik, sepanjang kepastian keadilan belum diterima oleh masyarakat pencari keadilan.

oleh Liputan6.com diperbarui 25 Jun 2022, 21:14 WIB
Diskusi bertema “Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) Dalam Perspektif Keadilan dan Hak Asasi Manusia?” yang digelar di Gedung IPTEK Kampus Universitas Hasanudin, Tamanlarea, Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (25/6/2022) (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Persoalan pembatasan peninjauan kembali (PK) dinilai akan menjadi polemik, sepanjang kepastian keadilan belum diterima oleh masyarakat pencari keadilan. Menanggapi hal tersebut Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Aswanto, SH, MH, DFM mengatakan, keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai “The guardian of human rights” adalah memastikan adanya jaminan terhadap perlindungan hak asasi di negara yang menganut supremasi hukum.

“Masyarakat sangat membutuhkan lembaga yang bisa memberikan perlindungan hukum sekaligus bisa memberikan keadilan hukum,” kata Aswanto saat diksusi bertema “Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) Dalam Perspektif Keadilan dan Hak Asasi Manusia?” yang digelar di Gedung IPTEK Kampus Universitas Hasanudin, Tamanlarea, Makassar, Sulawesi Selatan, seperti dikutip dari siaran pers diterima, Sabtu (25/6/2022).

Aswanto menambahkan, MK sudah mengeluarkan putusan nomor 34/PPU-XI/2013 untuk mempertegas bahwa pengajuan PK pada perkara pidana seharusnya tidak dibatasi. Menurut dia, dalam memutuskan suatu perkara, setiap hakim tidak hanya harus mempertimbangkan perspektif keadilan dari sisi pelaku tetapi juga harus mengakomodir perspektif keadilan bagi korban. Dia mengingatkan, negara telah menjadi wakil dari korban sehingga putusan hakim harus mempertibangkan banyak hal.

"Pengajuan PK boleh dilakukan berkali-kali sepanjang ada temuan bukti baru (novum) yang bisa saja saat hakim menolak PK yang pertama memang belum ditemukan novum atau novum muncul belakangan usai hakim menolak PK yang pertama,” jelas Prof Aswanto.

Sedangkan dalam pandangan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Judhariksawan, S.H, M.H, ada dua doktrin paradoks yang bisa dijadikan rujukan jika persoalan pengajuan PK didebat dengan beragam argumentasi.

Menurut dia, jika di ranah “finalitas” pengajuan PK harus bersandar kepada adanya kepastian hukum mengingap setiap perkara harus ada akhirnya atau azas litis finiri oportet.

“Belum lagi dalam menjalankan kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka terdapat asas yang bersifat universal yaitu asas res judicata pro veritate habetur yang artinya putusan hakim harus dianggap benar,” sebut Judhariksawan dalam acara diskusi yang sama.

Judhariksawan pun menyatakan, harus diakui jika merujuk dotrin falibitas, hakim adalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan sehingga terhadap semua vonis yang dijatuhkan masih bisa dilakukan langkah korektif.

Selain itu, sambung Judhariksawan, dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, dalam artikel 14 ayat 6 disebut, menjadi hak setiap terpidana untuk medapatkan keadilan yang hakiki sehingga keputusan pengadilan tertinggi sekalipun bisa dilakukan langkah koreksi.

“Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 memberi peluang bagi para pencari keadilan untuk pengajuan PK lebih dari satu kali, asalkan berdasarkan novum baru yang selama ini ini tidak tergali atau belum ditemukan,” yakin Judhariksawan.

Sehingga, Judhariksawan menegaskan, dengan novum yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi seperti test DNA, digital forensik serta criminal forensik, maka semakin memperkuat untuk pengajuan PK.


Apa Itu Peninjauan Kembali?

PK atau Peninjauan Kembali merupakan salah satu bagian dari upaya hukum luar biasa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pada esensinya, PK merupakan sarana bagi terpidana atau ahli warisnya untuk memperoleh keadilan dan melindungi kepentingan terpidana. Mengingat pentingnya PK sebagai upaya mencari keadilan bagi terpidana, akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No. 34/PUU-XI/2013 yang mempertegas bahwa pengajuan peninjauan kembali pada perkara pidana tidak seharusnya dibatasi jumlah pengajuannya.

Melalui putusan ini, MK menyatakan Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang menguraikan permintaan PK hanya dapat dilakukan satu kali saja tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Infografis Jaksa Agung dan Wacana Kajian Hukuman Mati Koruptor. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya