Liputan6.com, Berlin - Sekjen PBB Antonio Guterres mengatakan dunia menghadapi “risiko nyata” berbagai kelaparan akut tahun ini, dan bahwa tahun 2023 bisa lebih buruk lagi. Hal ini disampaikannya dalam konferensi internasional tentang ketahanan pangan global di Berlin pada Jumat (24/6).
“Perang di Ukraina telah menambah masalah yang telah muncul selama bertahun-tahun – gangguan iklim, pandemi COVID-19 dan pemulihan ekonomi yang sangat tidak merata,” ujar Guterres melalui pesan video.
Advertisement
Ditambahkannya, kenaikan harga bahan bakar dan pupuk secara dramatis telah menimbulkan dampak pada petani di seluruh dunia. “Semua panen akan terdampak, termasuk beras dan jagung, yang mempengaruhi miliaran orang di seluruh Asia, Afrika dan Amerika,” ujar Guterres.
“Masalah akses pangan tahun ini bisa menjadi kekurangan pangan global tahun depan," tambahnya sebagaimana dikutip dari VOA Indonesia, Minggu (26/6/2022).
Invasi Rusia ke Ukraina 24 Februari lalu ke Ukraina telah mengganggu ketersediaan pangan dan rantai pasokan. PBB mengatakan lebih dari 36 negara mendapatkan setengah atau lebih pasokan gandum mereka dari wilayah Laut Hitam.
Selain menghancurkan dan mencuri sebagian biji-bijian Amerika, militer Rusia telah memblokir kota pelabuhan Odesa di bagian selatan negara itu, mencegah ekspor lebih dari 20 juta ton gandum Ukraina. Kremlin juga menahan sebagian produksi gandum dan pupuknya sendiri dari pasar global, dengan mengklaim sanksi Barat telah menghalani ekspor mereka.
“Tidak ada – tidak ada yang mencegah akanan dan pupuk meninggalkan Rusia,” ujar Menteri Luar Negeri Amerika Antony Blinken tentang sanksi tersebut. “Dan hanya ada satu negara yang menghalangi makanan dan pupuk meninggalkan Ukraina, yaitu Rusia.”
Menteri Luar Negeri Jepang Yoshimasa Hayashi mengatakan statistik Rusia sendiri menujukkan ekspor gandumnya telah berlipat ganda pada Mei lalu dibanding tahun lalu. “Meskipun demikian Rusia menyebarluaskan disinformasi sebaliknya.”
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Rusia Kecam Uni Eropa Gandeng Ukraina dan Moldova sebagai Anggota
Rusia pada Jumat (24/6) mengatakan keputusan para pemimpin Uni Eropa (EU) untuk memberikan status calon anggota EU kepada Ukraina dan Moldova akan menimbulkan konsekuensi negatif.
Rusia juga mengatakan pemberian status tersebut bisa berarti "memperbudak" negara-negara tetangga EU.
Juru bicara kementerian luar negeri Rusia Mariz Zakharova menyebut langkah EU tersebut sebagai upaya untuk merangsek ke lingkup pengaruh Rusia di Persemakmuran Negara-negara Independen (CIS), yang terdiri dari negara-negara bekas Soviet.
"Dengan memutuskan untuk memberikan status kandidat kepada Ukraina dan Moldova, Uni Eropa menegaskan terus secara aktif mengeksploitasi CIS pada tingkat geopolitik, menggunakannya untuk 'menahan; Rusia," katanya melalui pernyataan sebagaimana dikutip dari Reuters, dikutip dari Antara, Sabtu (25/6/2022).
"Mereka tidak memikirkan konsekuensi negatif yang timbul dari langkah seperti itu," ujarnya.
Dengan memperluas keanggotaan ke Ukraina dan Moldova --dua republik bekas Soviet, Zakharova mengatakan EU sedang mengorbankan ideologi demokratik melalui "ekspansi tak terkendali serta perbudakan politik dan ekonomi pada negara-negara tetangganya."
Proses yang dijalani sebuah negara untuk menjadi anggota Uni Eropa bisa memakan waktu bertahun-tahun.
Kendati demikian, keputusan EU untuk menerima Ukraina dan Moldova sebagai calon anggotanya merupakan simbol niat kelompok negara Eropa tersebut untuk menjangkau lebih dalam ke bekas Uni Soviet.
Moskow mengatakan pihaknya perlu mengirimkan pasukan ke Ukraina, sebagian, untuk mencegah wilayah negara itu digunakan untuk menyerang Rusia.
Negara-negara Barat maupun pemerintah Ukraina mengatakan pernyataan Rusia itu merupakan alasan tak berdasar untuk membenarkan perampasan tanah.
Advertisement
Makedonia Utara dan Albania Masih Menunggu
KTT Uni Eropa masih belum sepakat untuk meningkatkan status Makedonia Utara dan Albania, yang sejak lama mengajukan permohonan keanggotaan. Kedua negara diberi status kandidat resmi masing-masing pada 2005 dan 2014, namun perundingan keanggotaan saat ini terhenti.
Perdana Menteri Makedonia Utara Dimitar Kovacevski menyatakan kecewa karena kurangnya kemajuan dalam proses keanggotaan negaranya. "Apa yang telah terjadi merupakan pukulan serius bagi kredibilitas Uni Eropa," kata Kovacevski pada konferensi pers setelah KTT.
Kanselir Jerman Olaf Scholz berharap, proses keanggotaan bisa dipercepat. "Selama hampir 20 tahun, negara-negara dan warga Balkan Barat telah menunggu kesempatan untuk menjadi anggota Uni Eropa," kata Olaf Scholz menjelang KTT di Brussel. Dia menyebutkan bahwa Makedonia Utara bahkan telah berganti nama untuk melanjutkan aspirasinya bergabung dengan Uni Eropa.
Keputusan penerimaan anggota baru di Uni Eropa memang harus disetujui dengan suara bulat oleh semua negara anggota. Sebuah negara baru bisa resmi diterima menjadi anggota baru, jika tidak ada anggota Uni Eropa yang menyatakan keberatan.