Liputan6.com, Jakarta - Penerapan Single Identity Number (SIN) dalam data perpajakan disebut mampu menekan tindak korupsi di sektor perpajakan. Mantan Dirjen Pajak, Hadi Poernomo menyampaikan sejumlah catatan untuk penerapan SIN terutama regulasi dan sinkronisasi data.
Hadi Poernomo menilai, belum terwujudnya kebijakan SIN lantaran ada inkonsistensi regulasi. Undang-undang mengenai transparansi melalui SIN Pajak sendiri telah disahkan pada 2007 melalui UU 28/2007, namun aturan pelaksanaannya baru terbit pada 2012.
Advertisement
"2007 diundangkan, 2011 belum juga dilaksanakan. Akhirnya saya ke BPK. Akhirnya 2012 baru diterbitkan (PP), tapi tidak bisa langsung dilaksanakan karena memang tidak konsisten,” kata Hadi di Jakarta, ditulis Minggu (26/6/2022).
Inkonsistensi tersebut, misalnya dalam Pasal 35A UU KUP jelas diatur dengan penggunaan frasa “diatur dengan Peraturan Pemerintah” yang menurut ketentuan yang diatur dalam Angka 203 Bab II Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan memiliki arti bahwa pendelegasian pembentukan peraturan turunan Pasal 35A UU KUP diberikan kepada peraturan setingkat Peraturan Pemerintah.
Namun, pada kenyataannya pasal tersebut diatur dengan didelegasikan kembali ke tingkat peraturan menteri. Akibatnya tujuan dan sasaran dari UU yang mengaturnya tidak dapat terlaksana dengan baik. Sehingga perlu executive review atau revisi atas peraturan oleh lembaga eksekutif secara lengkap dengan melakukan review atau mengubah atau mengganti beberapa peraturan yang inkonsisten.
“Butuh mungkin dalam waktu satu minggu aturan pelaksanaan nya bisa diluruskan. Tergantung pejabat setingkat yang memperbaiki sesuai perintah undang-undang,” ujar Hadi.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Sinkronisasi Data
Di sisi lain, ada yang masih perlu dikaji yakni terkait sinkronisasi data itu sendiri. Untuk menjamin kerahasiaan data, Hadi mengatakan pemerintah mesti mengacu pada UU 19/2001 pada 14 November 2001 mengenai konsep transparansi yang semula tertuang dalam Perppu 2/1965.
“Kalau memang disatukan datanya, tidak mungkin semua orang bisa memegang rahasia orang lainnya. (kalau tidak diatur) nanti jadi conflict of interest,” kata dia.
Merujuk beleid tersebut, DJP kemudian melakukan penandatanganan MoU dengan pihak terkait baik dari Pemerintah Pusat maupun Daerah, Lembaga, Swasta dan Pihak-pihak lain untuk membuka data baik yang non rahasia, data finansial maupun non finansial, dan menyambungkan data tersebut secara sistem ke DJP.
MoU tersebut memberi kewajiban semua pihak terkait untuk saling membuka dan menyambung sistem ke pajak yang non rahasia baik yang finansial maupun non finansial ke DJP. Meskipun masih adanya beberapa hambatan terkait masih diperbolehkannya rahasia pada UU lain, seperti UU mengenai perbankan.
SIN adalah konsep di mana satu nomor identitas merangkum berbagai data, baik data keuangan, kekayaan maupun kesehatan. Penerapan SIN ini digadang-gadang mampu menekan tindak korupsi di sektor perpajakan. Hal itu diungkapkan Hadi dalam disertasinya, “Eksistensi Single Identity Number Dalam Bank Data Perpajakan Sebagai Upaya Hukum Pencegahan Tindak Pidana Korupsi” yang mengacu pada konsep transparansi.
Advertisement
Pentingnya Single Identity Number demi Tingkatkan Penerimaan Pajak
Sebelumnya, Mantan Dirjen Pajak, Hadi Poernomo, menilai bahwa pemanfaatan Single Identity Number (SIN) akan mendorong penerimaan pajak lebih tinggi dan maksimal. Secara teknis, SIN sebagai bank data perpajakan dapat menghitung total pajak Wajib Pajak (WP) karena seluruh data transaksinya tersedia di pusat data atau sistem.
Mekanisme seperti ini akan dapat membuat penerimaan pajak tercapai. Hal tersebut karena tidak ada lagi celah bagi WP untuk menyembunyikan sesuatu, atau aparat pajak bermain-main karena seluruh celah kecurangan akan dapat diketahui dengan mudah melalui mekanisme pencocokan data di pusat data.
"Dengan terwujudnya SIN, akan dapat dipastikan penerimaan perpajakan akan meningkat secara sistemik. Dan secara nyata, SIN akan membuka jalan bagi pajak untuk membuat Indonesia tangguh dan tumbuh sebagaimana yang telah dicanangkan," kata Hadi dalam webinar Hukum Bisnis - Pajak dan Masyarakat pada Selas (31/8/2021).
Pemanfaatan SIN Pajak hingga saat ini belum berjalan sebagaimana mestinya. Pemanfaatannya harus lebih baik mengingat tax ratio Indonesia dalam 5 tahun ke belakang terus mengalami koreksi.
Rasio Perpajakan
Data dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat rasio perpajakan terhadap produk domestik bruto (PDB) atau tax ratio mengalami penurunan dalam lima tahun terakhir. Tercatat sebesar 10,37 persen pada 2016, lalu merosot ke level 9,89 persen pada 2017, naik tipis ke 10,24 persen pada 2018, pada 2019 kembali turun ke posisi 9,76 persen dan merosot menjadi 8,33 persen pada 2020.
Menurutnya, hal tersebut bertolak belakang dengan prestasi penerimaan perpajakan selepas terjadinya krisis moneter yang meluluhlantakkan perekonomian Indonesia pada 1998. Saat itu penerimaan perpajakan terus mengalami mengalami peningkatan, tercatat tax ratio pada 2005 mencapai 12,6 persen.
"Sehingga tax ratio pada 2005 setinggi 12,6 persen, sekarang turun menjadi 8,33 persen pada 2020," tutur Hadi.
Pencapaian kala itu, katanya, tidak didapat seperti membalikkan telapak tangan. Perlu kerja keras dari DJP untuk memastikan penerimaan perpajakan tersebut sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Pemerintah secara konsisten menjalankan program integrasi data dalam sebuah SIN Pajak melalui MoU ke berbagai instansi, baik instansi pemerintah maupun swasta sebagai bagian dari reformasi perpajakan.
Advertisement