Paradigma Ekonomi Politik Bung Karno, Tekankan Manusia Makhluk Sosial

Direktur Eksekutif Megawati Institute Arif Budimanta mengulas pembahasan dengan merujuk pada pelidoi 'Indonesia Menggugat' yang disampaikan Bung Karno pada 18 Agustus 1930 di Pengadilan Landraad, Bandung.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 27 Jun 2022, 01:34 WIB
Patung Presiden ke-1 RI Soekarno terpajang di Gedung Kementerian Pertahanan, Jakarta, Minggu (6/6/2021). Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto meresmikan patung Soekarno atau Bung Karno di Gedung Kementerian Pertahanan. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Megawati Institute menggelar diskusi bertajuk, Diskusi Pemikiran Ekonomi Bung Karno secara virtual. Pada kesempatan itu, Direktur Eksekutif Megawati Institute Arif Budimanta mengulas pembahasan dengan merujuk pada pelidoi 'Indonesia Menggugat' yang disampaikan Bung Karno pada 18 Agustus 1930 di Pengadilan Landraad, Bandung.

"Bung Karno melihat manusia ya dalam kehidupan, dalam sistem ekonomi, bukan hanya sebagai individu semata, tapi juga sebagai makhluk sosial. Jadi sejak awal Bung Karno dalam perspektif ekonomi menentang, dalam tindakan ekonomi itu paham individualisme. Sama juga Bung Hatta, menentang paham individualisme. Kita harus membedakan apa individualita, apa yang dimaksud indivualisme," tutur Arif dalam diskusi virtual, Minggu (26/6/2022).

Menurut dia, isme dalam individualisme bermakna nafsu, yang juga diistilahkan oleh Bung Karno sebagai paham imperialisme dan kapitalisme. Sementara makna lita dalam individualita artinya memiliki batas atau limitasi tertentu dalam konteks pemenuhan kehidupan berbasis individu.

"Kemudian yang kedua, posisi manusia sebagai makhluk ekonomi, Bung Karno lebih menekankan manusia kepada makhluk sosial dan sekaligus makhluk Tuhan, dibanding sebatas individu yang mengambil tindakan ekonomi hanya sebatas insentif material," jelas dia.

Arif menyatakan, manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk Tuhan merupakan gagasan penting Bung Karno dari segi ekonomi. Sementara dalam perspektif ekonomi modern, kebanyakan meletakkan manusia sebagai individu yang bergerak dalam aktivitas ekonomi apabila ada insentif, khususnya insentif material.

"Nah Bung Karno nggak bisa begitu. Karena itu adalah jalan menuju individualisme, jalan menuju kapitalisme, jalan menuju imperialisme. Kira-kira dalam pemahaman Bung Karno dalam pleidoi Indonesia Menggugat begitu," katanya.

Dalam Indonesia Menggugat, lanjut Arif, Bung Karno melihat dan memahami, pasar pada 1930 bukanlah sebuah titik keseimbangan atau titik pertemuan antara permintaan dan penawaran, namun sebagai arena sosial sekaligus arena politik, kontestasi, pertarungan, bagi kaum tani kecil, kaum pedagang kecil, kaum pelayar kecil, kaum kromo, hingga kaum marhaen.

"Pada 1930 itu berhadapan dengan surplus kapital yang datang dari luar Indonesia, yang ingin mencari lapangan untuk penanaman kapital, dan pasar barang dan jasa. Jadi Bung Karno melihat bagaimana surplus kapital di suatu tempat itu bergerak mencari di tempat lain, arena lain, sekaligus juga untuk menguasai pasar barang dan jasa suatu wilayah. Jadi pasar dalam pemahaman atau perspektif Bung Karno adalah suatu arena politik, arena kontestasi, terutama kontestasi antara kekuasaan dan modal," ujar Arif.

 


"Penjebolan"

Arif menyebut, ketika menghadapi situasi pasar yang asimetrik antara mereka yang surplus kapital dengan yang less kapital atau tidak memiliki kapital, maka penyusunan tenaga dalam upaya penjebolan pasar dengan paradigma individualisme, imperialisme, dan kapitalisme harus dilakukan.

"Penjebolan apa? Penjebolan dalam cara pikir, cara pandang, mengenai individualisme, mengenai imperialisme, mengenai kapitalisme. Sehingga kemudian corak perekonomian nasional itu harus jauh dari corak individualisme, harus jauh dari corak imperialisme, dari corak kapitalisme. Karena itu adalah suatu paham, suatu nafsu yang kemudian akan menghasilkan sebuah proses penjajahan," terangnya.

Kembali ke pleidoi Indonesia Menggugat, Bung Karno mengatakan bahwa ada yang disebut dengan energi rakyat, yang menjadi urat saraf penolak daya imperialisme. Kekuatan tersebut berasal dari tenaga kaum tani kecil, kaum buruh kecil, kaum pedagang kecil, kaum pelayar kecil, kaum kromo, hingga kaum marhaen.

"Kalau kita transformasikan dalam kondisi saat ini, mereka ini adalah kelompok-kelompok kalau dia pedagang kecil kita bisa sebut dengan kelompok usaha mikro, kaum tani kecil bisa dia buruh tani atau pun petani yang memiliki lahan kurang dari 0,3 hektare atau kurang dari 3 ribu meter persegi. Kaum buruh kecil juga sama, mungkin yang tamat SD, SMP, yang bergerak hanya dalam pusaran upah minimun dari waktu ke waktu. Kaum pelayar kecil ini kaum nelayan kecil yang bergerak dengan kapal kurang dari 30 Gt, bergerak mungkin dari pantai untuk mencari ikan hanya berjarak 5 mil laut atau 2 mil laut," bebernya.

 


Membangun

Arif mengatakan, setelah upaya penjebolan maka selanjutnya adalah membangun, yakni mentransformasikan paradigma imperialisme dan kapitalisme menjadi perspektif ekonomi nasional, ekonomi yang berkeadilan sosial, ekonomi yang mandiri, ekonomi yang berdikari, ekonomi yang berdaulat.

"Nah ekonomi berdikari, berdaulat, itu berbasis apa? Berbasis kepada energi rakyat. Apa itu energi rakyat, balik lagi ke kaum tani kecil, kaum buruh kecil, kaum pedagang kecil, kaum pelayar kecil, kaum kromo, kaum marhaen, atau disebut ekonomi kerakyatan," tuturnya.

Lebih lanjut, energi rakyat perlu ada dalam kerangka persatuan nasional, senada dengan Bung Karno yang selalu menggunakan kata kaum diikuti kelompok usahanya. Artinya ada keinginan untuk melakukan perhimpunan, yang dalam perspektif ekonomi disebut sebagai koperasi.

Mulai dari koperasi produksi, koperasi distribusi, koperasi konsumen, koperasi simpan pinjam, koperasi jasa bagi kaum tani kecil, kaum buruh kecil, kaum pedagang kecil, kaum pelayar kecil. Hal tersebut akan membangun proses interkoneksi, sebagaimana penekanan Bung Karno bahwa manusia dari sisi ekonomi adalah makhluk sosial yang harus berjejaring satu dengan lainnya dalam mengelola sumber daya bangsa, demi mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

"Jadi inti dari pemikiran Bung Karno kalau kita lihat saat ini, arahnya adalah keadilan ekonomi yang berbasiskan gotong royong," Arif menandaskan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya