Pajak Karbon Batal Dieksekusi 1 Juli 2022, Ini Alasan Sri Mulyani

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan alasan ditundanya penerapan pajak karbon. Semula, pajak karbon akan diterapkan mulai 1 Juli 2022 mendatang.

oleh Arief Rahman H diperbarui 27 Jun 2022, 16:03 WIB
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (19/1/2022). Rapat kerja tersebut terkait evaluasi APBN tahun 2021 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021 serta rencana PEN 2022. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan alasan ditundanya penerapan pajak karbon. Semula, pajak karbon akan diterapkan mulai 1 Juli 2022 mendatang.

Sebelumnya, pajak karbon direncanakan berlaku mulai 1 April 2022. Kemudian, diundur lagi penerapannya pada 1 Juli 2022, kali ini pemerintah kembali menunda kebijakan ini.

"Kita di dalam peraturan dan regulasinya tetap kita susun, karena itu penting bahwa climate change merupakan concern yang penting bagi dunia dan terutama bagi kita sendiri," kata dia dalam Rapat Kerja dengan Badan Anggaran DPR RI, Senin (27/6/2022).

Artinya, ia mengungkap penerapan ini akan melihat waktu yang tepat baik dari sisi dalam negeri maupun global. Salah satunya dipengaruhi dengan kondisi meningkatnya harga komoditas di sektor energi.

Ia menuturkan, pemerintah perlu menghitung penerapan pajak karbon tersebut. Sri Mulyani memandang penerapan kebijakan ini perlu membawa dampak yang positif.

"Hal-hal seperti ini harus kita kalkulasi secara sangat hati-hati terhadap policy-policy yang menyangkut energi termasuk di dalamnya pajak karbon. Kita akan terus rumuskan," terangnya.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Hambat Laju Ekonomi

Emisi karbon merupakan kunci penting untuk menghindari perubahan iklim saat ini. Solusinya adalah mesin penghisap karbon di Swiss. (Pixabay)

Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menjelaskan, alasan penundaan penerapan pajak karbon karena lonjakan harga komoditas energi dan pangan dalam beberapa waktu ini. Kenaikan harga ini menghambat laju pertumbuhan ekonomi global.

"Saat ini, fokus utama pemerintah adalah menjaga perekonomian nasional dari rambatan risiko global yang salah satunya adalah peningkatan harga komoditas energi dan pangan global seiring terjadinya perang di Ukraina yang menyebabkan peningkatan inflasi domestik," ujar Febrio dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (24/6/2022).

Meski demikian, Pajak karbon tetap akan dikenakan pertama kali pada badan yang bergerak di bidang PLTU batu bara dengan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi pada tahun 2022 sesuai amanat UU HPP. Pajak Karbon diharapkan dapat mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon.

Selain itu, Pemerintah juga tetap menjadikan penerapan Pajak Karbon pada tahun 2022 sebagai capaian strategis (deliverables) yang menjadi contoh dalam pertemuan tingkat tinggi G20. Di antaranya melalui mekanisme transisi energi (Energy Transition Mechanism/ETM) fen9 memensiunkan dini PLTU Batubara (phasing down coal).

"Dan di sisi lain mengakselerasi pembangunan energi baru dan terbarukan (EBT) dengan tetap mempertimbangkan dampak sosial dan ekonominya," jelas Febrio.

 


Prioritaskan Fungsi APBN

Ilustrasi emisi karbon (unsplash)

Lebih lanjut, Febrio memastikan pemerintah akan memprioritaskan fungsi APBN untuk memastikan ketersediaan dan stabilisasi harga energi dan pangan di dalam negeri, termasuk memberikan subsidi dan berbagai bentuk perlindungan sosial untuk melindungi masyarakat miskin dan rentan dari dampak kenaikan harga.

APBN sebagai peredam guncangan (shock absorber) menjadi instrumen sentral dalam menjaga dan melindungi perekonomian dan rakyat dari dampak kenaikan harga pangan dan energi global.

Kemudian, Pemerintah terus menguatkan upaya penanggulangan perubahan iklim dalam rangka melaksanakan komitmen jangka pendek, menengah, dan panjang.

Sebagaimana dimaklumi, dalam jangka menengah, Pemerintah telah menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam kerangka komitmen yang telah ditetapkan (Nationally Determined Contributions-NDC) sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030.

 


Mitigasi Perubahan Iklim

Kondisi hutan bakau di pesisir kawasan Marunda, Jakarta, Selasa (27/8/2019). Tutupan hutan tersebut berakibat bertambahnya emisi karbon dioksida hingga 4,69 kilo ton. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Dalam jangka panjang, di tahun 2021, Pemerintah telah menetapkan Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim (Long-Term Strategy For Low Carbon Climate Resilience/LTS-LCCR) di tahun 2050 dan target Emisi Nol Bersih (Net Zero Emission) pada tahun 2060 atau lebih cepat.

"Pemerintah memiliki target mitigasi perubahan iklim yang jelas dalam jangka pendek hingga panjang. Untuk mencapai berbagai komitmen tersebut, Pemerintah telah melakukan berbagai upaya yang dibutuhkan termasuk melalui bauran kebijakan (policy mix). Upaya ini juga terus diakselerasi untuk dapat mencapai target penanggulangan perubahan iklim lebih cepat," tutupnya.

Infografis Angin Segar Diskon Pajak dan DP 0 Persen Kendaraan Baru. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya