Liputan6.com, Jakarta - Polisi turut berkomentar terkait aksi pasangan suami istri (pasutri) Santi Warastuti dan Sunarta yang berjalan kaki ke Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat pada Hari Anti Narkotika Internasional, Minggu, 26 Juni 2022 kemarin.
Saat itu Santi dan suaminya berjalan kaki sambil menenteng satu poster bertuliskan "Tolong anakku butuh ganja medis".
Baca Juga
Advertisement
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Endra Zulpan mengatakan, kepolisian dalam bertindak selalu mengacu pada undang-undang yang berlaku di Indonesia.
"Kalau kepolisian bekerja menggunakan undang-undang. Itu amanat dari pada yang ada diberikan negara," ujar Zulpan di Polda Metro Jaya, Senin (27/6/2022).
Menurut Zulpan, kepolisian sebagai aparat penegak hukum tentunya tak berwenang mengubah isi undang-undang. Adapun dalam kaitan Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diuraikan bahwa ganja termasuk narkotika golongan satu.
"Ganja tetap dilarang, tidak bisa digunakan, kalau mau mengubah undang-undang kewenangannya bukan di kita, (tapi) di DPR," jelas Zulpan.
Sebelumnya, Hari Antinarkotika Internasional yang jatuh pada 26 Juni 2022 dimaknai pasangan suami-istri Santi Warastuti dan Sunarta sebagai sebuah harapan.
Mereka menanti keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) berkenaan dengan uji materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Mereka berharap ganja yang masuk dalam daftar narkotika golongan 1 itu dapat digunakan untuk kepentingan medis.
Santi bersama dua rekannya yakni Dwi Pertiwi, dan Novi menggugat Pasal 6 ayat 1 huruf H, Pasal 8 ayat 1 ke Mahkamah Konstitusi pada November 2020 silam.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Belum Juga Dikabulkan
Namun, selama hampir dua tahun lamanya tidak ada kabar kelanjutannya lagi. Padahal, Santi bersama dengan pemohon lain telah menjalani hampir delapan kali sidang.
"Saya menunggu kepastian dari Mahkamah Konstitusi, sudah dua tahun sejak mengajukan permohonan Undang-Undang Narkotika belum ada kepastian hukum sampai sekarang," kata Santi saat berbincang, Minggu 26 Juni 2022.
Keputusan MK sangatlah penting untuk keberlangsungan hidup anak semata wayangnya yang bernama Pika Sasikirana. Apalagi, jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan melegalkan tanaman ganja untuk kepentingan medis.
Keinginan Santi untuk mendesak putusan ini semakin besar ketika mengingat Musa, anak dari salah satu pemohon bernama Dwi meninggal dunia di tengah proses persidangan pada 26 Desember 2020, setelah 16 tahun berjuang melawan penyakit Cerebral Palsy. Santi tak ingin anaknya bernasib sama seperti Musa.
"Beberapa minggu terkahir ini, ada beberapa teman kita yang meninggal tanpa sakit tanpa nge-drop, jadi kan sebagai ibu saya khawatir," ujar dia.
Minggu pagi kemarin, bersama suami dan anak, Santi berjalan kaki dari Jalan Sudirman-Thamrin menuju ke Mahkamah Konstitusi. Santi mau menyuarakan aspirasi di Hari Anti Narkoba Internasional yang jatuh pada Minggu, 26 Juni 2022. Selain itu, hari ini merupakan ulang tahun pernikahannya dengan suami.
Santi melangkah sambil menenteng satu poster bertuliskan "Tolong anakku butuh ganja medis". Sementara suaminya, mendorong kursi roda yang diduduki anaknya, Pika.
Advertisement
Surat Ditolak MK
Aksinya tak ayal menyedot perhatian pengguna jalan. Salah satu pernyanyi tanah air bernama Andien yang kebetulan sedang berolahraga di kawasan Car Free Day (CFD) ikut menghampiri memberikan dukungan moril.
"Eskpresi saya pertama menangis. Apalagi saat dia support dan ikut mendoakan. Saya bersyukur banyak orang yang ternyata mendukung saya," ujarnya.
Santi tiba di Gedung Mahkamah Konsitusi. Niat mau menyerahkan surat yang ditujukkan kepada Hakim MK. Isi surat itu pada intinya mendesak MK memberikan kepastian hukum.
Namun, Santi harus gigit jari karena tak ada satu pun perwakilan MK menemuinya. Bahkan, ketika mau menyerahkan surat dan poster itu ke petugas sekuriti, mereka menolak.
"Tadi saya maunya kasih ke sekuriti dan supaya besok disampaikan ke berwenang. Tapi mereka tidak mau terima yaudah saya bawa pulang lagi," kata Santi.
Pika Sasikirana, anaknya mengidap Cerebral Palsy sejak usia 6 tahun. Pelbagai cara telah ditempuh demi mengobati si buah hati. Salah satunya ke Rumah Sakit Islam Yogyakarta.
Tapi, kesehatan tak kunjung membaik. Menurut dia, penderita Cerebral Palsy rentan mengalami kejang. Dan itu pasti berdampak buruk pada perkembangan kesehatan si penderita.
"Anak-anak Cerebral Palsy pasti hampir semua ada riwayat kejang. Kalau sudah kejang pasti ada kemunduran, misal terapi dan sudah mulai bisa tengkurep ketika ada kejang tidak bisa tengkurep lagi. Itu tuh yang ditakutkan sama ibu-ibu anak-anak berkebutuhan khusus," ujar dia.
Santi mencari informasi ke sana ke mari. Ia juga berkomunikasi dengan sejumlah orangtua yang mempunyai anak dengan kondisi serupa.
Bisa Mengurangi Gejala Kejang
Ternyata ada metode lain untuk mengobati Cerebral Palsy khususnya mengurangi gejala kejang.
"Saya buka google ternyata informasi di luar negeri sudah banyak pakai itu (ganja). Untuk atasi kejang. Banyak yang akhirnya tidak kejang. Itu berita bagus buat ibu-ibu punya anak seperti Pika," ujar dia.
Namun, metode ini ilegal di Indonesia karena pengobatan menggunakan tanaman ganja. Santi sendiri tak berani mencoba-coba pengobatan itu ke anaknya karena masih terganjal aturan hukum di Indonesia.
"Otomatis saya punya keinginan itu untuk anak saya tapi kan di sini masih belum legal. Kalau menggunakan itu saya melanggar hukum. Nanti saya yang salah. Saya maunya tetap di jalur hukum," ujar dia.
Santi berharap ganja dilegalkan untuk keperluan medis. Karena kalau memang berhasil bukan cuma anaknya saja yang merasakan kebahagian, tapi juga anak-anak lain yang bernasib serupa dengan Pika.
"Saya bukan menginginkan ganja legal untuk semua orang. Tapi ganja untuk medis yang terawasi oleh pihak medis, diatur pihak medis. Bukan yang bebas untuk semua orang. Saya memohon kepada MK segera memberikan kepastian kepada kami," pinta Santi.
Advertisement