Liputan6.com, Jakarta- Cuplikan video berisi seorang pria yang melakukan tindak kekerasan pada pasangannya baru-baru ini viral di media sosial. Diketahui, kejadian tersebut dilakukan oleh pria berusia 22 tahun berinisial F di Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Dalam banyak video yang beredar, pelaku terlihat melakukan kekerasan pada pasangannya berkali-kali di bagian pipi dan kepala. Bahkan dirinya juga sempat mencekik leher pasangannya.
Advertisement
Kejadian nahas ini berlangsung pada sebuah kafe dan disaksikan secara langsung oleh satu orang yang diduga adalah rekan keduanya. Namun tidak ada tindakan pertolongan apapun yang dilakukan pada korban saat sedang dipukuli.
Ini bukanlah kali pertama kekerasan dalam hubungan terjadi. Terdapat sederet kasus kekerasan lainnya yang juga sempat viral di media sosial.
Sayangnya, beberapa orang masih kerap menyalahkan korban dan melihat tindak kekerasan sebagai suatu hal yang wajar atas dalih emosi. Bahkan ada pula yang mewajarkan tindak kekerasan sebagai suatu kebetulan karena seseorang sedang diliputi oleh emosi.
Padahal kenyataannya, emosi apalagi kebetulan ternyata bukanlah faktor yang menyebabkan seseorang bisa melakukan tindak kekerasan.
Psikolog anak, remaja, dan keluarga Universitas Kristen Maranatha Bandung, Efnie Indriani mengungkapkan bahwa perilaku kekerasan yang dilakukan termasuk saat berpacaran bukanlah sebuah hal yang dapat terjadi secara kebetulan.
"Biasanya, sang pelaku memang sudah memiliki kecenderungan untuk melakukan agresi pada orang lain," ujar Efnie saat dihubungi Health Liputan6.com pada Selasa, (28/6/2022).
Faktor Pemicu Tindak Kekerasan
Lebih lanjut Efnie menjelaskan bahwa kecenderungan untuk melakukan tindak kekerasan sebenarnya dapat terbentuk sejak kecil lewat pengalaman yang terjadi dalam hidup seseorang.
Salah satunya bisa disebabkan oleh lingkungan yang mencontohkan hal tersebut.
"Hal ini (kekerasan) terbentuk sejak dari kecil. Beberapa hal yang bisa membentuk sso atau watak menjadi agresi diantaranya sejak kecil ia berada dalam lingkungan yang memberikan contoh demikian," kata Efnie.
"Misalnya, ada kekerasan yang dilakukan dalam keluarga, lingkungan tempat tinggal memberikan contoh kekerasan, efek dari menonton film yg memiliki adegan kekerasan, game yang mengandung unsur kekerasan, dan lain-lain," sambungnya.
Sedangkan dalam sisi korban, Efnie menyebutkan bahwa biasanya yang membuat korban kesulitan untuk keluar dari hubungan adalah pola pikir tertentu dan logika yang sedang tidak dalam kondisi jernih.
"Biasanya pola pikir enggak tega dan takut kehilangan yang membuat mereka (korban) sulit lepas, sehingga logika yang jernih tidak dipergunakan kembali," ujar Efnie.
Advertisement
Cara Keluar dari Hubungan Tak Sehat
Sehingga menurut Efnie, apabila seseorang ingin keluar dari hubungan yang tidak sehat dan diliputi oleh tindak kekerasan, maka mengubah pola pikir jadi cara yang utama.
"Karena jika pola pikir ini tidak diubah maka meskipun sudah menerima perlakuan kekerasan berkali-kali maka sang korban akan memaafkan dan tidak mengakhiri hubungan," Efnie menuturkan.
Selanjutnya, menurut Efnie, ada baiknya untuk memberikan jeda lebih dulu usai tindak kekerasan berlangsung. Artinya, hubungan bisa diakhiri dalam kesempatan yang berbeda demi mencegah adanya kekerasan lebih lanjut pada waktu yang bersamaan.
Serta, untuk mencegah pula adanya rayuan maut dari pelaku kekerasan agar tidak mengulangi perbuatannya.
"Jika ingin mengakhiri sebaiknya tidak dilakukan langsung usai kejadian, karena sang pelaku biasanya akan menolak dan terkadang berjanji tidak mengulangi, meskipun janji tersebut tidak selalu ditepati," kata Efnie.
"Berikan jeda terlebih dahulu dan setelah itu atur kembali jadwal bertemu untuk membicarakan perpisahan," tambahnya.
Siapkan Mental Jelang Perpisahan
Efnie menjelaskan, saat hendak membicarakan perpisahan, pastikan mental Anda pun telah siap lebih dulu agar bisa benar-benar konsisten dengan keputusan tersebut.
"Agar bisa betul-betul konsisten dan tidak terpengaruh oleh rayuan kembali. Mengapa? Karena sekali berbuat kekerasan, jika tidak melalui proses terapi sang pelaku akan sulit untuk pulih atau mengubah perilakunya," ujar Efnie.
Terlebih jika hendak mengakhiri hubungan, Efnie juga menyarankan adanya orang terdekat yang mendampingi di tempat untuk mengantisipasi tindak kekerasan lanjutan.
"Cara yang aman adalah jika didampingi oleh orang terdekat. Hal ini untuk mengantisipasi apabila kekerasan dilakukan kembali. Orang terdekat bisa berada di posisi yg masih mengawasi dan tidak duduk bersama secara langsung," pungkasnya.
Advertisement