Liputan6.com, Jakarta Pemerintah dan Komisi II DPR RI sepakat, formasi aparatur sipil negara (ASN) berupa PNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di tiga daerah otonomi baru (DOB) Papua akan diisi oleh 80 persen orang asli Papua.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia mengatakan, dirinya telah berkomunikasi dengan pihak representatif di pemerintah daerah setempat. Menurutnya, mereka tidak lagi mempersoalkan apakah pemekaran ini diterima atau tidak diterima.
Advertisement
Yang jadi catatan, orang asli Papua ingin punya kursi lebih besar di tiga instansi daerah baru tersebut, yakni Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan.
"Mereka berharap, pemekaran ini bisa menggaransi keberadaan orang asli Papua terhadap posisi itu. Mereka mengharapkan tidak terjadi migrasi besar-besaran ketika ini membuka peluang formasi-formasi baru dalam pemerintahan daerah di sana," kata Doli dalam Rapat Kerja Komisi II DPR RI, Selasa (28/6/2022).
Doli mengatakan, 80 formasi ASN untuk orang asli Papua sudah tercantum dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) soal pemekaran di tiga provinsi Papua.
"Sudah tertera bahwa setiap pengisian formasi di Papua itu sudah dibuatkan maksimal harus memperhatikan 80 persen orang asli Papua. Tapi dari hasil diskusi, kami ambil inisiatif, untuk pengadaan ASN ini perlu pembicaraan serius," ungkapnya.
"Sekarang formasi yang ada di Papua itu seluruhnya sekitar 20.000. kalau nanti terjadi pemekaran, pasti juga ada penambahan formasi," dia menambahkan.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Beri Pelayanan
Kendati demikian, Menteri PANRB ad interim Mahfud MD menekankan, seluruh ASN yang bekerja untuk melayani masyarakat tetap harus memenuhi persyaratan.
Mahfud mengatakan, penilaian yang dilakukan diberikan secara objektif sesuai kompetensi, kualifikasi, kebutuhan instansi, dan persyaratan lain.
"Pengadaan calon ASN diadakan agar ASN memiliki karakteristik pribadi selaku penyelenggara pelayanan publik, dan mampu jadi perekat NKRI. Memiliki intelegensia yang tinggi, serta memiliki keterampilan, keahlian, dan perilaku sesuai dengan tuntutan jabatan," paparnya.
"Diharapkan dengan prinsip dan tujuan tersebut, diharapkan kualitas dan kuantitas ASN bisa menjadi lebih terukur dan terstandar di seluruh Indonesia. Termasuk di Provinsi Papua dan daerah otonomi baru," ujar dia.
Advertisement
Nasib Pegawai Non-PNS Terkatung-katung, Apa Solusinya?
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, menegaskan tidak perlu mencari siapa yang salah dalam polemik pegawai non-aparatur sipil negara atau Pegawai non-PNS.
Saat ini, pemerintah pusat dan daerah harus fokus mengatur strategi menata pegawai di instansi pemerintah untuk percepatan transformasi sumber daya manusia tanpa menghilangkan sisi kemanusiaan dan meritokrasinya.
"Tidak perlu kita mencari siapa yang salah. Tapi kita harus selesaikan masalah ini bersama," tegas Mahfud MD yang menjabat sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) ad interim.
Penegasan itu disampaikan dalam Rapat Koordinasi Pembahasan Penyelesaian Tenaga Non-PNS di Jakarta, Jumat (24/6/2022).
Mahfud menerangkan, Peraturan Pemerintah Nomor 49/2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) telah memberikan ruang untuk pengalihan status kepegawaian non-ASN yang beragam menjadi PNS maupun PPPK.
Tentu, dengan syarat atau ketentuan yang sudah diatur berdasarkan UU Nomor 5/2014 tentang ASN beserta peraturan pelaksanaannya.
Instansi pemerintah pusat dan daerah diminta untuk melakukan pemetaan terkait pegawai non-ASN yang bisa diikutsertakan dalam seleksi PNS maupun PPPK sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Namun, pegawai non-ASN juga bisa diatur melalui skema alih daya atau outsourcing oleh pihak ketiga bagi yang kualifikasi tidak memenuhi syarat sebagai PNS.
Pegawai yang bisa masuk dalam tenaga alih daya ini diantaranya adalah pengemudi, tenaga kebersihan, dan satuan pengamanan. Skema ini dibuat untuk memberikan kepastian hukum, status kepegawaian, serta kepastian penghasilan.
"Menyusun langkah strategis penyelesaian pegawai non-ASN yang tidak memenuhi syarat dan tidak lulus seleksi Calon PNS maupun Calon PPPK sesuai ketentuan peraturan peundang-undangan sebelum batas waktu tanggal 28 November 2023," ungkap Mahfud.
Sanksi
Bagi Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) yang tidak mengindahkan amanat peraturan perundang-undangan dan tetap mengangkat pegawai non-PNS, akan diberikan sanksi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengangkatan itu dapat menjadi bagian dari objek temuan pemeriksaan bagi pengawas internal maupun eksternal pemerintah.
Salah satu sanksi bagi PPK atau kepala daerah yang masih melakukan perekrutan non-ASN, berarti yang bersangkutan dipandang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana Pasal 67 huruf b UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah yaitu menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan.
Di sisi lain, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12/2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Pasal 36 diatur lebih rinci terkait sanksi administratif yang dapat dikenakan kepada kepala daerah dan wakil kepala daerah apabila melakukan pelanggaran administratif.
"Berdasarkan ruang lingkup pembinaan umum tersebut, kepala daerah yang melakukan penolakan terhadap penghapusan pegawai honorer dapat dilakukan pembinaan oleh Menteri Dalam Negeri selaku pembina umum dalam lingkup kepegawaian pada perangkat daerah," tuturnya.
"Namun sebelum dilakukan pembinaan perlu dilakukan klarifikasi kepada kepala daerah yang bersangkutan," pungkas Mahfud.
Advertisement