Liputan6.com, Jakarta - Perusahaan rintisan atau Startup belakangan ini banyak menjadi perbincangan, mulai dari isu PHK massal dan juga sistem bakar uang untuk menarik konsumen. Umumnya, startup ini mendapat sokongan dana dari berbagai investor yang sering digunakan untuk bakar uang, lantas apakah bakar uang di kalangan perusahaan startup itu negatif?
Menurut Akademisi dan praktisi bisnis Rhenald Kasali, bakar uang ini bisa merupakan sebuah tolak ukur bagi perusahaan terutama adalah investor yang memang tujuannya adalah untuk valuasi naik.
Advertisement
“Setelah naik, lalu kemudian jika dananya habis, founder perusahaan akan cari lagi dana dari pihak-pihak lain dan nanti mereka bisa bernafas sekitar 3 sampai 4 tahun karena dana baru muncul. Kemudian valuasi juga berubah,” ujar Rhenald di akun YouTubenya, dikutip Selasa (28/6/2022).
“Burn rate yang tinggi bisa berarti perusahaan tengah meraih banyak customer yang tentu saja butuh biaya atau acquisition upfront sampai kemudian perusahaan menjadi stabil,” lanjut Rhenald.
Bakar Uang Berbeda dengan Marketing
Selain itu, Rhenald mengomentari perusahaan startup yang melakukan iklan di media fantastis yang menurutnya itu bukanlah bakar uang, melainkan marketing.
“Jadi, jangan samakan bakar uang dengan iklan. Bakar uang ini terkait dengan pricing dan di dalam terminologi pricing kita sering kali bicara disebut predatory pricing,” kata Rhenald.
“Contohnya, Anda beli barang dengan pokoknya 100, normalnya Anda ambil keuntungan dong dari 100 itu. Tetapi, kalau dia bakar uang, itu jadi masalah, artinya bakar uang beli 100 kemudian dia jual Rp 1 atau dijualnya Rp 10. Mengapa begitu? Karena Anda ingin menyingkirkan kompetitor, sehingga dalam pasar tidak terjadi kompetisi,” lanjut dia.
Akibat dari hal tersebut menurut Rhenald Kasali kompetitor akan keluar dan customer tidak punya pilihan.
“Nah bakar uang seperti itu, jadi harga kita modal 100 kita jual di bawah harga dengan tujuan menghapuskan persaingan. Tetapi startup ini bukan soal menghilangkan persaingan. Mereka menciptakan sesuatu yang baru, makanya disebut disrupsi. Jadi mereka ingin membakar lemak-lemak perekonomian,” tutur Rhenald.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Mencari Penjualan yang Lebih Tinggi
Jadi, para startup itu membidik kurva permintaan yang paling bawah. Kemudian jika ingin melihat soal bakar uang, kata Rhenald bisa melihat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dengan membeli minuman melalui marketplace.
"Jika kita beli di marketplace A, harganya 130 ribu jadi 119 ribu karena ada diskon yang lumayan. Anak-anak muda lebih pandai bisa mencari yang lebih murah. Teori ekonomi mengatakan jika ada produk serupa dan lebih murah konsumen akan bergeser,” ujar Rhenald.
Pihak-pihak yang lebih murah ini, itulah pihak yang sedang bakar uang dan contohnya sudah ada dimana-mana. Bakar uang bisa dilakukan siapa saja, di era disruptif ini perusahaan akan mencari cara bagaimana mencapai penjualan yang lebih tinggi. Setelah itu mereka akan monitor apakah sudah stabil atau tidak.
“Jika belum stabil investor yang mempunyai rencana untuk valuasi lebih tinggi mereka akan bakar uang terus dan ada tingkatnya berapa persen per bulan dan mereka ingin ada pertumbuhan,” kata Rhenald.
Maka dari itu, menurut Rhenald, bakar uang ini bisa menjadi alat untuk melihat apakah konsumen sudah stabil.
Advertisement
Dua Jenis Perusahaan
Adapun Rhenald menuturkan, dewasa ini ada dua jenis perusahaan yaitu perusahaan kemarin yang dibawa pada hari ini.
“Ini adalah perusahaan yang kita pakai accounting, dengan accounting itu kita lihat data historis nya. Oleh karena itu, bakar uang ini berbahaya di perusahaan ini karena bisa merusak the bottom line. Dalam hal ini, ada paradigma Cash is King,” tutur Rhenald.
Kemudian ada perubahan paradigman yang mulanya Cash is King menjadi Growth at any cost. Perusahaan seperti ini, mereka tidak melihat profit yang dilihat adalah pertumbuhan eksponensial.
"Jadi seperti YouTube, beberapa ojek online apakah di sini atau di negara lain berkelakuan seperti itu sampai kemudian datanglah investor baru dan begitu mereka mencapai kondisi yang stabil, atau mendekati monopoli dalam industrinya, barulah mereka monetize di sana,” ucap Rhenald.
"Jadi ini bukanlah pendekatan lama, tapi pendekatan masa depan yang didukung dengan investor yang modalnya modal bakar uang sampai suatu ketika pelaku-pelakunya sudah stabil barulah mereka make money,” pungkas dia.
Startup Ramai-Ramai PHK Karyawan, Ada Masalah Apa?
Sebelumnya, belakangan ini banyak perusahaan rintisan atau startup di Tanah Air yang telah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi karyawannya.
Setidaknya ada 6 startup yang melakukan PHK. PHK yang terjadi pada startup ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Beberapa startup internasional juga melakukan PHK besar-besaran tahun ini, seperti Netflix dan Robinhood.
“Fenomena yang dihadapi startup saat ini bukanlah semata permasalahan tidak adanya pendanaan, bahkan kondisi ekonomi masyarakat pun terbilang cukup baik dan kondisi pasar semakin pulih. Kendala justru terletak dari penggunaan dana operasional masing-masing startup," kata CEO Grant Thornton Indonesia Johanna Gani, Selasa (21/6/2022).
Sejumlah perusahaan teknologi rintisan (startup) Indonesia juga tengah menghadapi permasalahan yang dikenal sebagai fenomena bubble burst.
Mengutip laman Investopedia, fenomena ini merupakan kondisi bisnis yang cepat mengalami kenaikan, tetapi cepat juga mengalami penurunan.
Adanya fenomena pecahnya gelembung tersebut dikarenakan saat ini perusahaan startup sulit untuk mendapatkan pendanaan serta tidak mempunyai aset.
Padahal, untuk meraih pengguna kebanyakan dari startup harus melakukan strategi bakar uang, seperti promosi melalui televisi, baliho, digital, program cashback, hingga diskon besar-besaran.
Advertisement
Kebijakan The Fed
Ditambah lagi dengan The Fed yang juga melakukan kebijakan menaikkan suku bunga, sehingga investor-investor luar negeri cenderung menarik dana mereka dan memilih untuk menyimpan uang mereka daripada berinvestasi ke industri teknologi di Indonesia.
Hal ini berimbas pada semakin selektifnya investor dalam memberikan pendanaan kepada perusahaan rintisan (startup). Menurut Ketua Dewan Pengawas Asosiasi Fintech Indonesia (AFTEC) Rudiantara, saat ini banyak modal ventura yang mulai beralih fokus di mana mulai melihat kinerja keuangan perusahaan dibanding melihat traction dari para startup ini.
Traction ialah melihat seperti jumlah pengguna atau pengunduh dan loyalitas pengguna terhadap jasa atau produk startup tersebut. Di mana, terkadang untuk mencapai traction yang bagus, para startup ini melakukan berbagai cara. Salah salah satunya adalah dengan melakukan strategi bakar uang.
Dana yang disuntik besar bahkan hingga triliunan rupiah, namun hasilnya nihil, venture capital (VC) pun enggan menyuntikkan dananya lagi. Alhasil, tsunami besar pemutusan hubungan kerja (PHK) di startup pun mulai menghantui.
Gaya Bisnis Startup
Gaya bisnis startup yang mengedepankan pertumbuhan dengan arus kas dan/atau profit negatif tidak akan bisa bertahan. Pada akhirnya, bisnis yang sehat harus punya arus kas dan profit yang positif.
“Perusahaan startup disarankan menggunakan protokol finansial internal, sesederhana dimulai dengan evaluasi keuangan dan memperbarui informasi kondisi finansial secara rutin. Dengan menjaga arus informasi keuangan, potensi kesalahan perencanaan dapat diantisipasi jauh hari sebelum keadaan keuangan semakin memburuk,” saran Johanna.
Selain strategi manajemen keuangan yang baik tentu juga diperlukan strategi keseluruhan yang matang agar startup tidak hanya dapat bertahan namun juga tumbuh, pertimbangkan inovasi dari sisi produk dan model bisnis serta di era post-pandemic ini.
"Perhatikan juga situasi dan kebiasaan target market yang mungkin berubah. Mungkin saja ada strategi bisnis yang perlu disesuaikan untuk mengejar pertumbuhan optimal,” ucap Johanna.
Advertisement