Psikolog Singkap Cara Mengakhiri Hubungan Percintaan dengan Pelaku Kekerasan

Keluar dari hubungan percintaan tak sehat seperti yang diliputi oleh kekerasan bukanlah hal mudah. Tak jarang korban merasa terhimpit dengan banyaknya pertimbangan.

oleh Diviya Agatha diperbarui 29 Jun 2022, 14:00 WIB
Ilustrasi kekerasan (Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta Bagi beberapa orang, keluar dari hubungan percintaan tak sehat seperti yang diliputi oleh tindak kekerasan bukanlah hal mudah. Tak jarang korban merasa terhimpit dengan banyaknya pertimbangan.

Hati korban bisa luluh oleh sebuah janji akan adanya perubahan sikap dari pasangan yang melakukan tindak kekerasan. Alhasil, tak sedikit korban yang legowo untuk memberikan kesempatan kedua usai kekerasan berlangsung dalam hubungan.

Berkaitan dengan hal tersebut, psikolog anak, remaja, dan keluarga Universitas Kristen Maranatha Bandung, Efnie Indriani mengungkapkan bahwa sebenarnya perilaku kekerasan bukanlah suatu hal yang dapat sembuh dengan sendirinya.

Sehingga permintaan maaf dan janji tak akan mengulangi perbuatan kekerasan pun sebenarnya tidaklah cukup.

Namun bila korban memiliki keinginan untuk berpisah, maka Efnie menyarankan untuk memberikan jeda lebih dulu pada pelaku usai tindak kekerasan berlangsung. Artinya, hubungan dapat diakhiri dalam kesempatan berbeda demi mencegah adanya kekerasan lebih lanjut pada waktu yang bersamaan.

Serta, untuk mencegah pula adanya rayuan maut dari pelaku kekerasan agar tidak mengulangi perbuatannya, yang seringkali dapat membuat hati korban luluh.

"Jika ingin mengakhiri sebaiknya tidak dilakukan langsung usai kejadian, karena sang pelaku biasanya akan menolak dan terkadang berjanji tidak mengulangi, meskipun janji tersebut tidak selalu ditepati," ujar Efnie pada Health Liputan6.com, Selasa (28/6/2022).

"Berikan jeda terlebih dahulu dan setelah itu atur kembali jadwal bertemu untuk membicarakan perpisahan," tambahnya.


Konsisten pada Keputusan untuk Berpisah

Lebih lanjut Efnie menjelaskan bahwa saat hendak membicarakan perpisahan dengan pelaku kekerasan, pastikan mental korban telah siap lebih dulu untuk mengutarakannya. Hal tersebut lantaran korban harus sepenuhnya konsisten dengan keputusan tersebut.

"Agar bisa betul-betul konsisten dan tidak terpengaruh oleh rayuan kembali. Mengapa? Karena sekali berbuat kekerasan, jika tidak melalui proses terapi sang pelaku akan sulit untuk pulih atau mengubah perilakunya," ujar Efnie.

Minta Pendampingan Orang Terdekat

Jika hendak mengakhiri hubungan, Efnie juga menyarankan adanya orang terdekat yang mendampingi di tempat untuk mengantisipasi tindak kekerasan lanjutan.

Di sisi lain, korban kekerasan juga bisa mendapatkan pertolongan lebih cepat jika pelaku kembali melakukan tindak kekerasan di momen perpisahan tersebut.

"Cara yang aman adalah jika didampingi oleh orang terdekat. Hal ini untuk mengantisipasi apabila kekerasan dilakukan kembali. Orang terdekat bisa berada di posisi yg masih mengawasi dan tidak duduk bersama secara langsung," pungkasnya.


Faktor Pemicu Tindak Kekerasan

Ilustrasi kekerasan (dok. Pexels/Josie Stephens)

Dalam kesempatan yang sama, Efnie mengungkapkan bahwa perilaku kekerasan bukanlah suatu hal yang dapat terjadi secara kebetulan. Terdapat faktor pemicu lain mengapa seseorang dapat melakukan kekerasan termasuk pada pasangannya.

"Biasanya, sang pelaku memang sudah memiliki kecenderungan untuk melakukan agresi pada orang lain," kata Efnie.

Kecenderungan untuk melakukan tindak kekerasan tersebut sebenarnya sudah dapat terbentuk sejak kecil lewat pengalaman yang terjadi dalam hidup seseorang. Salah satunya bisa disebabkan oleh lingkungan yang mencontohkan hal tersebut.

"Hal ini (kekerasan) terbentuk sejak dari kecil. Beberapa hal yang bisa membentuk sso atau watak menjadi agresi diantaranya sejak kecil ia berada dalam lingkungan yang memberikan contoh demikian," kata Efnie.

"Misalnya, ada kekerasan yang dilakukan dalam keluarga, lingkungan tempat tinggal memberikan contoh kekerasan, efek dari menonton film yg memiliki adegan kekerasan, game yang mengandung unsur kekerasan, dan lain-lain," sambungnya.


Pelaku Kekerasan Sulit Pulih Tanpa Terapi

Ilustrasi seseorang yang mendampingi korban kekerasan seksual. (Sumber foto: Pexels.com).

Tak hanya itu, Efnie menyebutkan bahwa pelaku kekerasan sebenarnya akan sulit untuk pulih terutama jika tidak melakukan psikoterapi untuk perubahan perilaku.

"Jika hal ini (kekerasan) terjadi, maka yang bersangkutan (pelaku) butuh mendapatkan psikoterapi yang bertujuan untuk mengubah pola berpikir tentang kekerasan, termasuk membentuk habit baru yang lebih positif. Hal ini sangat penting, mengingat karena melakukan perilaku kekerasan tidak akan pulih dengan sendirinya," ujar Efnie.

Sedangkan dalam sisi korban, Efnie menyebutkan bahwa biasanya yang membuat korban kesulitan untuk keluar dari hubungan adalah pola pikir tertentu dan logika yang sedang tidak dalam kondisi jernih.

Sehingga menurut Efnie, penting untuk mengubah pola pikir lebih dulu apabila seseorang ingin keluar dari hubungan yang tidak sehat dan diliputi oleh tindak kekerasan.

"Jika pola pikir ini tidak diubah maka meskipun sudah menerima perlakuan kekerasan berkali-kali maka sang korban akan memaafkan dan tidak mengakhiri hubungan," Efnie menuturkan.

 

Infografis Macam-Macam Bahasa Cinta. (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya