Menelaah Mitos di Balik Fenomena Hewan Peliharaan yang Semakin Dimanjakan di Jepang

Perlakuan yang hampir manusiawi ini telah berkembang, sehingga hewan peliharaan diberikan upacara pemakaman di Jepang.

oleh Asnida Riani diperbarui 29 Jun 2022, 15:37 WIB
Ilustrasi anjing dan kucing peliharaan. (dok. pexels.com/Asnida Riani)

Liputan6.com, Jakarta - Hewan peliharaan di negara kaya semakin dimanjakan. Bahkan, mereka memperlakukan hewan layaknya anggota keluarga yang berharga. Fenomena kontemporer ini bermanifestasi setiap hari, dan salah satunya bisa Anda dapati di jalanan Jepang.

Tidak jarang warga di sana yang mendorong kereta dorong ditempati satu atau lebih anabul yang mengenakan sweater hangat, bahkan mungkin popok. Mengutip Japan Today, Jumat, 17 Juni 2022, perlakuan yang hampir manusiawi ini telah berkembang sejauh ini, sehingga hewan peliharaan diberikan upacara pemakaman yang sebelumnya terbatas pada manusia.

Apakah tidak ada sesuatu dalam doktrin kepercayaan Shinto, atau Buddha yang dapat menjelaskan perlakuan yang lebih "manusiawi" ini di Jepang? Beberapa mitos paling awal di Negeri Sakura memperkenalkan "kami" dalam berburu dan memancing.

Ada juga "kami" yang melindungi manusia dari binatang. Kadang-kadang, binatang muncul sebagai utusan dari "kami." Singkatnya, dalam Shinto, hewan adalah makanan, musuh, atau mereka bekerja untuk Anda.

Bahkan hari ini, ada puluhan ribu kuil yang didedikasikan untuk pemujaan dewa pengendali hewan. Jika pernah mengunjungi Kuil Suwa, Anda telah berkontribusi pada pemeliharaan "kami" berburu. Sebagian besar pengunjung asing telah melihat tujuh dewa keberuntungan dan memperhatikan bahwa yang satu, Ebisu, memiliki ikan besar yang disandang di bahunya.

Singkatnya, menurut mitologi asli Shinto awal, hewan bukanlah teman. Mereka tentu saja tidak mendapat perlakukan layaknya manusia. Jadi, jika ada alasan agama di Jepang yang menawarkan pemakaman hewan peliharaan, itu tidak berasal dari tradisi Shinto.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Bagaimana dengan Pandangan Buddha?

Ilustrasi Kelinci/https://unsplash.com/Janan Lagerwall

Suatu waktu di abad ke-6, praktisi Buddhis mulai mengalir ke Jepang dari benua Asia. Lebih dari seribu tahun sebelumnya di India, ide-ide keagamaan tentang kesucian kehidupan semua makhluk hidup mulai bergema dan akhirnya menyebar melalui wilayah yang sekarang disebut China dan Korea, kemudian ke Jepang.

Beberapa ajaran agama tersebut hadir dalam bentuk sastra dongeng. Artinya, biksu Buddha India akan menceritakan kisah sederhana pada publik sebagai imbalan karena memberi mereka makan dengan harapan mendapatkan pahala yang akan mengarah pada reinkarnasi masa depan yang lebih baik.

Kisah-kisah ini menyampaikan gagasan bahwa akumulasi karma baik melalui tindakan berjasa akan menjamin manusia naik ke inkarnasi berikutnya, seperti halnya karma buruk yang dihasilkan dari tindakan merugikan atau ketidakpedulian terhadap makhluk hidup lain akan menjamin penurunan status dari status manusia mereka saat ini. Beberapa cerita menggambarkan kehidupan yang Buddha sendiri jalani sebagai binatang.

Misalnya, suatu ketika sebagai kelinci, calon Buddha melompat ke dalam api untuk mempersembahkan tubuhnya sebagai makanan pada orang yang kelaparan. Dalam cerita lain, Buddha adalah seorang raja kera yang mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan rombongan keranya dari para pemburu.

Kisah-kisah ini datang ke Jepang dengan para biksu Buddha, yang menyebarkannya pada publik Jepang yang buta huruf. Beberapa biksu Jepang terinspirasi membuat kumpulan cerita Buddhis mereka sendiri untuk digunakan sebagai alat didaktik yang menjelaskan tindakan sehari-hari yang menciptakan karma baik dan buruk.

Salah satu sekte Buddhisme abad pertengahan mempromosikan praktik yang disukainya dalam membaca doa panjang yang disebut Sutra Teratai melalui kumpulan cerita yang memuliakan kekuatannya. Dalam satu cerita, dua kera di pohon mendengar seorang biksu membacakan sutra di bawah mereka.

Monyet-monyet itu mati, tapi bertahun-tahun kemudian, biksu itu dikunjungi dua biksu muda yang mengungkap bahwa merekalah kera-kera itu. Mendengar sutra saja telah membuat mereka segera menuju kehidupan yang lebih baik.


Ritual Buddhis untuk Hewan

Anjing Shiba Inu Jepang tiba untuk hari kedua Crufts 2018 di NEC di Birmingham, Inggris, (9/3). Pertunjukan anjing utama Crufts menarik ribuan pendatang untuk berbagai kompetisi dan acara kepatuhan. (Aaron Chown / PA via AP)

Kuil Buddha secara historis melakukan ritual untuk menyelamatkan hewan. Banyak kuil masih mengadakan upacara tahunan di mana mereka melepaskan hewan tawanan.

Sebagian besar sekte Buddhis selama berabad-abad setidaknya telah mencoba menerapkan pola makan yang tidak memasukkan hewan. Hidangan vegetarian yang sangat populer di restoran Jepang didasarkan pada makanan yang terinspirasi dari Zen yang disebut shojin ryori.

Oleh karena itu, cara tradisional untuk menunjukkan kemunafikan seorang bhikkhu adalah dengan memanggilnya namagusa (berbau seperti daging berdarah). Tentu saja, ada beberapa "kemunduran sejarah" di antara umat Buddha awam yang hanya menahan diri untuk tidak memakan hewan berkaki empat.

Mereka termasuk golongan masyarakat yang mengategorikan kelinci sebagai burung berkaki dua yang bisa dimakan. Lagi pula, kelinci hampir terbang, dan telinga mereka seperti sayap, membuat mereka jadi hidangan yang dapat diterima.

Menurut doktrin Buddhis Jepang dan praktik masa lalu, tidak ada alasan seekor anjing atau kucing harus menerima perawatan yang lebih baik daripada kelinci, monyet, sapi, babi, atau ikan. Namun, mereka melakukannya sekarang.

Secara tradisional bertanggung jawab atas doa pemakaman bagi manusia, para pendeta Buddha jadi semakin bersedia untuk berdoa bagi hewan peliharaan yang sudah meninggal. Doa peringatan kematian hari ke-49 sangat penting untuk reinkarnasi orang mati, yang menurut doktrin dikatakan terjadi pada hari itu.

Selain itu, toko aksesori pemakaman Buddhis kini memiliki bagian khusus untuk barang-barang hewan peliharaan. Kuburan hewan peliharaan untuk penyimpanan tulang yang dikremasi berkembang pesat jumlahnya.


Praktik Keagamaan untuk Kebutuhan Sekuler

Ilustrasi Anjing/https://unsplash.com/Victor Grabarczyk

Jika alasan seekor hewan menerima pemakaman dari seorang pendeta Buddhis bukan karena doktrin, lalu apa? Tentu saja, orang sinis akan menunjuk motif keuntungan, tapi imam yang tulus juga harus makan. Di situlah letak gesekannya. Agama sekarang dan selalu harus ada di dunia yang membutuhkan patronase.

Memberi hewan peliharaan Anda pemakaman tidak bertentangan dengan doktrin karma yang menunjukkan bahwa Pochi-chan yang didorong kereta dorong, memakai sweater, sayang bisa jadi penebusan dosa dari Jun ojisan yang malang, yang meninggal dalam kecelakaan mengemudi dalam keadaan mabuk tepat 49 hari sebelum Pochi-chan dikandung.

Praktik baru ini juga tidak menutup kemungkinan bahwa Pochi-chan yang manis akan mendengar Sutra Teratai suatu hari nanti, dan baik ia maupun Jun ojisan yang ceroboh akan memasuki jalan menuju nirwana. Lebih jauh lagi, menurut doktrin Buddhis Tanah Murni Jepang, Surga Tanah Suci Buddha Amida sudah dihuni hewan-hewan yang indah dan terdengar menyenangkan.

Namun sayangnya, doktrin tersebut tidak menjelaskan bagaimana mereka sampai di sana. (Natalia Adinda)

Infografis 4 Cara Tampil Menawan Saat Foto Pakai Masker Cegah Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya