Imbas Covid-19, Bisnis China Kembali Melambat di Kuartal Kedua

Bisnis di China mulai dari layanan hingga manufaktur melaporkan perlambatan pada kuartal kedua akibat pembatasan Covid-19.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 29 Jun 2022, 14:17 WIB
Seorang perempuan mengendarai sepedanya dengan seorang anak duduk di kursi belakang melewati Kota Terlarang di Beijing, China, Selasa (7/6/2022). Pemerintah melonggarkan beberapa pembatasan Covid-19 dengan sebagian besar museum gedung bioskop, dan pusat kebugaran diizinkan beroperasi hingga 75 persen dari kapasitas. (WANG Zhao / AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Bisnis di China mulai dari layanan hingga manufaktur melaporkan perlambatan pada kuartal kedua dari kuartal pertama, menunjukkan dampak berkepanjangan dari pembatasan Covid-19.

Hal itu diungkapkan oleh China Beige Book, riset yang berbasis di Amerika Serikat (AS). China Beige Book dalam studinya melakukan mewawancarai hingga 4.300 orang di China pada akhir April dan hingga 15 Juni 2022.

"Sementara sebagian besar lockdown tinggi dilonggarkan pada Mei 2022, data Juni tidak menunjukkan pembangkit tenaga listrik bangkit kembali ke titik yang diharapkan," demikian laporan itu, dikutip dari CNBC International, Rabu (29/6/2022). 

Laporan tersebut menambahkan, antara kuartal pertama dan kedua, perekrutan di China juga menurun di semua sektor manufaktur kecuali untuk pemrosesan makanan dan minuman.

Hal serupa juga diungkapkan oleh Direktur Pelaksana China Beige Book Shehzad H. Qazi. Ia menyebut, situasi ketenagakerjaan kemungkinan tidak akan mulai membaik sampai China lebih merangsang ekonominya di musim gugur. 

Sejauh ini, hanya ada sedikit tanda bahwa stimulus telah dimulai, terutama di bidang infrastruktur, ungkap Shehzad H. Qazi yang berbabsis di New York.

"Transportasi, perusahaan konstruksi tidak memberi tahu bahwa mereka mendapatkan produk baru," bebernya.

"Mereka memberi tahu Anda bahwa mereka telah memperlambat investasi, proyek baru mereka sebenarnya telah melambat," ungkap Qazi.

Diketahui bahwa Shanghai, kota terbesar di China memberlakukan lockdown untuk mencegah Covid-19 pada bulan April hingga Mei 2022.

Beijing dan kota besar lainnya di negara itu juga memberlakukan beberapa pembatasan Covid-19 untuk menahan wabah virus terburuk di China sejak awal pandemi pada tahun 2020.

Pembatasan Covid-19 yang ketat di China memperlambat aktivitas ekonomi di negara itu, serta menyumbat pasokan global.


Pesanan untuk Konsumsi Domestik dan Ekspor Luar Negeri China Menurun di Kuartal Kedua

Dokter menangani warga setempat di sebuah rumah sakit keliling di Distrik Chang'an, Provinsi Hebei, 12 Maret 2020. Sebuah rumah sakit pengobatan tradisional China keliling menyediakan layanan kesehatan bagi penduduk setempat di tengah perang melawan virus corona COVID-19. (Xinhua/Liang Zidong)

Akibat lockdown Covid-19, barang yang tidak terjual menumpuk, kecuali mobil.

Pesanan untuk konsumsi domestik dan ekspor luar negeri China sebagian besar juga turun pada kuartal kedua dari kuartal pertama. Pesanan untuk tekstil dan pemrosesan bahan kimia termasuk yang paling terdampak Covid-19, menurut laporan China Beige Book.

Satu-satunya produk China yang melihat kemajuan di dalam negeri adalah IT dan elektronik konsumen, yang melihat pesanan meningkat selama pandemi.

Pesanan untuk ekspor China tumbuh di tiga dari tujuh kategori manufaktur, di antaranya adalah elektronik, otomotif, dan pemrosesan makanan dan minuman.

Pesanan domestik yang lemah dan persediaan yang meluas menunjukkan perkiraan peningkatan kuartal kedua akan tidak menyenangkan," kata laporan China Beige Book.

Para penulis laporan itu mencatat sektor jasa melihat pembalikan terbesar. Setelah mengalami percepatan pertumbuhan pada kuartal pertama, bisnis jasa di China kembali mengalami penurunan pendapatan, volume penjualan, belanja modal, dan laba pada kuartal kedua.


China Janji Menolong Ekonomi 4 Negara di Tengah Krisis Covid-19, Ada Rusia

Presiden China Xi Jinping menyatakan akan membantu meningkatkan ekonomi di empat negara anggota BRICS meski masih menghadapi krisis Covid-19 di dalam negeri. (AP Photo/Kin Cheung). (AP Photo/Kin Cheung)

Presiden China Xi Jinping menyatakan akan membantu meningkatkan ekonomi di empat negara meski masih menghadapi krisis Covid-19 di dalam negeri, dan dampak dari perang Rusia-Ukraina.

Dilansir dari VOA News, Senin (27/6/2022) Xi Jinping menyampaikan pernyataan itu pekan lalu di di KTT BRICS virtual yang diselenggarakan oleh Beijing.

Keempat negara yang akan dibantu China itu adalah Brazil, Rusia, India dan Afrika Selatan, yang bersama-sama dengan China membentuk kelompok yang dikenal dengan BRICS.

Laporan kantor berita Xinhua menyebut, Xi Jinping menganjurkan kerja sama BRICS dalam pembayaran lintas batas dan peringkat kredit. Dia lebih lanjut juga merekomendasikan fasilitasi perdagangan, investasi dan pembiayaan.

Xi Jinping, sebagai tuan rumah KTT ke-14 kelompok negara itu juga menyampaikan bahwa pihaknya akan bekerja dengan negara-negara BRICS untuk mendukung pembangunan global yang lebih kuat, lebih hijau dan lebih sehat.

Selain itu, Xi Jinping juga mengajak negara-negara lainnya untuk bergabung dengan New Development Bank, pemberi pinjaman lunak yang didirikan oleh negara-negara BRICS pada tahun 2015.

Dia juga menyerukan untuk meningkatkan mekanisme bantuan neraca pembayaran darurat negara kelompok BRICS, Contingent Reserve Arrangement, Xinhua menambahkan.

Ekonomi China telah melampaui negara lain setelah beberapa dekade mengencangkan ekspor manufakturnya. 

Tetapi ekonomi negara itu tengah tertatih-tatih tahun ini karena lockdown untuk menahan lonjakan Covid-19 – yang juga menghambat rantai pasokan global.


Ekonom : Covid-19 Masih Jadi Hambatan Untuk China Penuhi Target BRICS

Seorang perempuan mengenakan masker berjalan di sepanjang concourse kosong di pusat perbelanjaan yang biasanya sibuk pada akhir pekan, setelah banyak bisnis diperintahkan untuk tutup sebagai bagian dari pembatasan COVID-19 di distrik Chaoyang di Beijing, Sabtu, 14 Mei 2022. China dengan tegas menolak kritik terhadap kebijakan "nol-COVID" tanpa kompromi. (AP Photo/Mark Schiefelbein)

Namun, menurut ekonom di unit perbankan swasta bank CIMB Malaysia, yakni Song Seng Wun, kemajuan substantif pada target China pada negara anggota BRICS kemungkinan akan memakan waktu, mengingat masalah di dalam dan luar negeri, termasuk Covid-19.

"Pada tingkat tertinggi, ada sedikit diskusi, yang kemudian dapat mengarah pada peluang lebih lanjut untuk terlibat lebih jauh," kata Song Seng Wun, yang berbasis di Singapura.

Rusia, yang juga anggota BRICS Rusia tengah menghadapi sanksi ekonomi dari Barat atas perang di Ukraina, yang telah memicu kekurangan pangan dan inflasi.

Di tambah lagi, China juga masih menghadapi tarif atas barang yang dikirim ke Amerika Serikat, akibat dari sengketa perdagangan bilateral.

Adapun Stuart Orr, kepala Sekolah Bisnis di Melbourne Institute of Technology di Australia, mengatakan bahwa negara-negara berkembang, termasuk di antara BRICS, dapat dengan mudah beralih ke Jepang, Uni Eropa dan alternatif lain dari China untuk dukungan ekonomi.

Menurutnya, pilihan-pilihan itu akan memperlambat ambisi China untuk menabur kerja sama BRICS karena negara-negara berkembang memilih untuk tidak terlalu bergantung pada Beijing.

"Ada banyak pembicaraan tetapi mungkin tidak begitu banyak kemajuan nyata dalam hal itu dan saya menduga hal-hal lain mungkin akan berakhir seperti didorong kembali ke pertemuan BRICS berikutnya untuk kemajuan lebih lanjut setelah masalah selesai," kata Orr.

China masih "berjuang dengan masalah kesehatan" sementara saingan politik bersejarahnya, Amerika Serikat, menemukan pemasok dan pelanggan baru untuk ekspor kedelai, beber Orr.

Infografis Gejala dan Pencegahan Covid-19 Subvarian Omicron BA.4 dan BA.5. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya