Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia menyampaikan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Surat tersebut dilayangkan menyusul anjloknya harga tandan buah segar atau TBS sawit.
Dalam isi suratnya, Ketua Umum Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia M.A.Muhamadyah mengatakan, sejak Presiden Jokowi mencabut larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya pada 23 Mei lalu, harga TBS petani sawit terus menunjukkan penurunan yang sangat drastis.
Advertisement
Sebagai contoh, untuk periode II Januari 2022, harga TBS sawit umur 3 tahun Rp 2.471,25 persen kg dan untuk sawit umur 25 tahun Rp 2.953,19 per kg. Sementara saat ini harga TBS turun ke bawah Rp1.000 per kg. Per 26 Juni 2022, harga TBS di 10 provinsi wilayah anggota SPKS berkisar Rp 500-Rp 1.070 per kg.
"(Ini) Akibat efek domino pelarangan ekspor CPO dan turunannya pada 28 April-22 Mei 2022," kata dia
Imbasnya, lanjut Muhamadyah, petani sawit mengalami kerugian sekitar Rp 1,5 juta-Rp 2 juta per ha per bulan. Bahkan untuk kerugian petani sawit swadaya seluruh Indonesia dari bulan April-Juni ini ditaksir mencapai Rp 50 triliun.
Dia menjelaskan, penyebab dari jatuhnya harga TBS - yang berdampak pada tingkat kesejahteraan petani sawit - diakibatkan oleh beberapa kebijakan yang inkonsisten pemerintah, antara lain peraturan tentang DMO (domestic market obligation) dan DPO (domestic price obligation) yang gagal menjadi solusi malah diberlakukan kembali pasca pencabutan pelarangan ekspor oleh Presiden Jokowi.
"Menyebabkan penumpukan CPO yang jumlahnya jutaan ton di PKS-PKS yang belum bisa terjual akibat pemberlakuan kebijakan DMO dan DPO yang justru mempersulit ekspor CPO," tutur dia.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Pungutan Ekspor
Selain itu, penerapan pajak pungutan ekspor CPO yang tinggi menyebabkan jatuhnya harga tandan buah segar petani sawit dimana total pajak ekspor dan levy yang dibayarkan pelaku usaha sawit mencapai USD 575 per ton CPO yang diekspor.
Beban yang besar ini pada akhirnya juga akan ditanggung oleh petani sawit karena harga TBS tidak akan pernah bisa pararel dengan harga CPO di pasar internasional.
"Dalam sejarah, mungkin sawit satu-satunya komoditas yang dipaksa untuk menanggung beban pungutan hingga setengah harga barangnya yang ujung-ujungnya dibebankan ke petani,” jelasnya.
Selain harga yang masih rendah, penjualan TBS petani sawit masih susah dan bernilai rendah akibat kebijakan kebijakan DMO dan DPO yang justru mempersulit ekspor CPO untuk masuk ke pabrik dan harus mengantre 2-3 hari karena beberapa pabrik masih menerapkan pembatasan pembelian TBS untuk petani swadaya.
"Kami APPKSI mendesak dan meminta Presiden Jokowi untuk turun tangan agar bisa mengembalikan harga TBS pada harga kewajaran sesuai harga CPO dunia dengan mencabut aturan DMO (domestic market obligation) dan DPO (domestic price obligation) agar ekspor CPO dapat dipermudah untuk mengurangi tumpukan CPO di tangka tangki penimbunan CPO di PKS," tutur dia.
"Sebab jika tidak dilakukan akan terus berdampak buruk pada harga TBS petani plasma sawit yang pada akhirnya menyebabkan petani kesulitan untuk membayar angsuran pinjaman untuk membangun kebun plasma pada bank dan akan juga menyebabkan petani sulit untuk membeli pupuk," lanjutnya.
Advertisement
Keran Ekspor
Dia menambahkan, harga TBS Anjlok saat ini berada di kisaran Rp 500-Rp 1.000 per kg meski keran ekspor sudah mulai dibuka.
Penyebabnya adalah Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 98/PMK.010/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.010/2022 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.
Dalam aturan itu, Minyak Sawit atau Crude Palm Oil (CPO) yang akan dikirim ke Luar negeri dikenakan pajak yang sangat tinggi yakni 32,5 persen hingga 49.9 persen.
Angka ini sangat jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara tetangga yaitu Malaysia yang memungut pajak hanya 6-8 persen.
"Itulah kenapa harga TBS Kelapa sawit di Sana mahal Rp 4.000-Rp 5.000 per kg," katanya singkat.
Percepat Ekspor CPO
Selain itu, petani sawit juga minta pemerintah untuk mempercepat ekspor CPO, dipermudah agar harga TBS bisa cepat normal. Juga perlu dimaksimalkan pengawasan di pabrik-pabrik kelapa sawit yang beralasan tangkinya penuh supaya petani tidak menjadi korban dimana ini merupakan kondisi darurat.
"Kalau perusahaan yang besar-besar tentu masih tenang, dia menyelamatkan PKS-nya sendiri. Menyelamatkan TBS-nya sendiri. Nggak terima lagi TBS pihak ketiga. Jadi, korban kebijakan pemerintah ini, DMO dan DPO ini adalah petani," ungkapnya.
Terakhir dan tak kalah penting, pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi melalui Menteri Perdagangan harus segera menghapus kebijakan DMO dan DPO yang dinilai sebagai biang kerok persoalan minyak sawit dan merugikan petani sawit
Petani mengungkapkan setiap bulan produksi minyak sawit Indonesia mencapai 4 juta ton, ekspor 3 juta ton, di mana stok akhir akan sekitar 2-3 juta ton.
"Itu kondisi alamiahnya. Tapi, karena ada DMO dan DPO, apalagi dengan rasio 1:5, dimana DMO 300 ribuan ton. Berarti yang bisa diekspor adalah 1,5 jutaan ton. Artinya, ada akumulasi penumpukan di tangki CPO. Kepenuhan, PKS pun mengurangi pembelian TBS, akhirnya petani merugi," tutup Muhamadyah.
Advertisement