Liputan6.com, Jakarta - Ketua Federal Reserve atau The Fed Jerome Powell mengaku jika belum mengetahui secara jelas apakah ekonomi Amerika Serikat akan kembali ke status pra-pandemi Covid-19.
Hal itu dia sampaikan dalam sebuah forum bank sentral di Portugal pada Rabu (29/6/2022), yang juga dihadiri oleh Presiden Bank Sentral Eropa Christine Lagarde dan Gubernur Bank Sentral Inggris, Bank of England Andrew Bailey.
Advertisement
Para kepala bank sentral itu membahas bagaimana "kekuatan baru" telah mengubah dinamika inflasi dan lanskap ekonomi global, yang mungkin untuk selamanya.
"Ekonomi didorong oleh kekuatan yang sangat berbeda. Apa yang kita tidak tahu adalah apakah kita akan kembali ke sesuatu yang terlihat seperti, atau sedikit seperti, apa yang kita miliki sebelumnya," kata Powell, dikutip dari CNN Business, Kamis (30/6/2022).
Senada dengan Powell, Presiden Bank Sentral Eropa Christine Lagarde juga melihat ekonomi kawasannya tidak akan kembali ke periode inflasi rendah.
"Saya tidak berpikir kita akan kembali ke periode inflasi rendah (pra-Covid-19)," ujar Lagarde, mencatat bahwa perang Rusia-Ukraina akan mengubah gambaran dan lanskap ekonomi global.
Seiring dengan gangguan rantai pasokan karena pandemi Covid-19, Powell juga mengatakan perang Rusia-Rusia telah menambah tekanan pada ketersediaan pangan dan inflasi.
Diketahui bahwa negara-negara Barat yakni AS, Inggris, dan kawasan Eropa sedang berjuang melawan lonjakan inflasi pada ekonomi mereka yang terhantam Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina.
The Fed mengawali tahun ini dengan menaikkan suku bunga dan memerangi inflasi AS terburuk sejak 1980-an.
Awal bulan ini, bank sentral AS tersebut memilih untuk menerapkan kenaikan suku bunga tertinggi sejak tahun 1994.
Diramal Resesi, Ekonomi AS Susut 1,6 Persen di Kuartal I 2022
Ekonomi Amerika Serikat (AS) menyusut pada tingkat yang sedikit lebih cepat dari perkiraan sebelumnya selama kuartal pertama. Penurunan ini semakin menambah kekhawatiran resesi negara itu.
Dilansir dari CNN Business, badan statistik Bureau of Economic Analysis (BEA) mengatakan bahwa produk domestik bruto riil AS turun pada tingkat tahunan sebesar 1,6 persen dari Januari hingga Maret 2022.
Perkiraan BEA sebelumnya yang dirilis pada bulan April menunjukkan kontraksi sebesar 1,4 persen. Kemudian pada Juni 2022, prediksi direvisi menjadi penurunan 1,5 persen.
Kinerja PDB AS di kuartal pertama, yang dicatat BEA mencakup beberapa efek tak terukur dari pandemi Covid-19 dan lonjakan varian Omicron, berbeda dengan kuartal keempat 2021, ketika ekonomi tumbuh pada tingkat 6,9 persen dari kuartal sebelumnya.
BEA mengaitkan penurunan terbaru ekonomi AS sebesar 0,1 poin persentase dengan pertumbuhan belanja konsumen yang lebih lambat dari perkiraan, meskipun telah sebagian diimbangi oleh keuntungan dalam investasi inventaris swasta.
Diketahui bahwa inflasi AS telah melonjak ke tingkat yang tidak terlihat dalam beberapa dekade di tengah tantangan rantai pasokan, kenaikan biaya untuk komoditas dan tenaga kerja serta lonjakan harga minyak.
Kuartal pertama 2022, yang melihat pecahnya perang Rusia-Ukraina, memicu badai pada ekonomi dan rantai pasokan global, serta pasar makanan, keuangan, hingga energi.
Ekonomi di perusahaan jasa keuangan AS Wells Fargo, yakni Shannon Seery memprediksi resesi ringan akan terjadi pada kuartal kedua tahun 2023, meskipun keuangan rumah tangga kuat dan neraca konsumen serta bisnis solid.
Advertisement
Ramalan Miliarder Investor: AS Sulit Berkelit dari Resesi
Sebagian besar pasar Amerika Serikat berfokus pada kenaikan suku bunga Federal Reserve yang agresif di tengah kekhawatiran akan resesi melanda negara tersebut.
Tetapi co-founder dan co-chairman Carlyle Group David Rubenstein, seorang investor miliarder sekaligus filantropis AS, mengatakan ekonomi negara itu mungkin berada di luar kendali bank sentral.
Dilansir dari CNBC International, Selasa (28/6/2022) Rubenstein mengatakan bahwa upaya The Fed untuk memerangi inflasi dengan suku bunga yang lebih tinggi "bisa jadi sulit untuk diketahui bagaimana cara kerjanya".
"Tidak ada yang tahu bagaimana langkah itu akan berhasil," ujar Rubenstein dalam sebuah wawancara dengan CNBC dari Aspen Ideas Festival.
Namun demikian, dua masalah ekonomi yang paling signifikan menurutnya adalah kebijakan Covid-19 di China yang menyebabkan ekonomi global semakin melambat, dan lamanya perang Rusia-Ukraina yang berdampak pada pasar energi.
"Saya pikir ada kesulitan untuk menghindari resesi, tetapi bukan berarti tidak bisa dihindari," kata Rubenstein.
Dengan perang Rusia-Ukraina yang menyebabkan lonjakan harga dan kekhawatiran kekurangan energi di Eropa, Rubenstein melihat transisi energi untuk menggantikan bahan bakar masih membutuhkan waktu dan tidak dapat tercapai secara singkat.
"Semua orang menginginkan lebih banyak energi ramah iklim, tentu saja, tetapi tidak mudah untuk mencapainya. Apa yang kami pelajari dari perang Rusia-Ukraina adalah bahwa dunia masih sangat bergantung pada energi karbon, dan saat ini, dunia sedang berjuang untuk mendapatkan lebih banyak energi karbon," jelasnya.
"Dunia menyadari bahwa Anda tidak dapat pergi ke kebijakan netral karbon dalam semalam; itu akan memakan waktu cukup lama," pungkasnya.