Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencecar mantan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi terkait proses awal pengadaan megaproyek e-KTP. Gamawan diperiksa di Gedung KPK Merah Putih pada, Rabu 29 Juni 2022.
Gamawan dimintai keterangan sebagai saksi dalam perkara korupsi terkait pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis Nomor Induk Kependudukan secara Nasional (KTP Elektronik) dengan tersangka Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra Paulus Tanos.
Baca Juga
Advertisement
"Gamawan Fauzi (Mantan Menteri Dalam Negeri RI), hadir dan dikonfirmasi oleh tim penyidik antara lain terkait dengan proses pengadaan e-KTP saat masih menjabat Menteri Dalam Negeri," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Kamis (30/6/2022).
Gamawan Fauzi sudah bolak balik ke Gedung KPK menjadi saksi dalam perkara ini. Pasalnya, saat proyek ini berjalan, Gamawan Fauzi merupakan Mendagri.
Diberitakan sebelumnya, KPK bakal langsung berkoordinasi untuk memanggil dan memeriksa Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra Paulus Tanos. Koordinasi dilakukan usai adanya perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura.
KPK berharap otoritas Singapura membantu memudahkan dalam memeriksa tersangka megakorupsi e-KTP itu.
"Terkait dengan perjanjian ekstradisi ini, kami nanti akan koordinasi lebih lanjut dengan Kemenkumham, Kementerian Luar Negeri, bagaimana kemudian penanganan perkara yang sedang kami lakukan penyidikan ini diharapkan bisa selesai," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya dikutip Rabu (26/1/2022).
Ali berharap dengan perjanjian ektradisi ini bisa memudahkan KPK dalam memanggil Tanos dan saksi lainnya yang berada di Singapura. KPK selama ini kesulitan dalam memeriksa tersangka maupun saksi di Singapura lantaran belum adanya perjanjia ektradisi.
"Bagaimana kemudian tersangka juga bisa dilakukan pemeriksaan ataupun saksi-saksi yang tidak berada di Indonesia juga nanti bisa dikoordinasikan lebih lanjut," kata Ali.
KPK Kembali Bongkar Skandal Megakorupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bakal kembali membongkar skandal megakorupsi proyek e-KTP di persidangan.
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, tim jaksa penuntut umum pada KPK telah melimpahkan berkas dakwaan Direktur Utama Perum Percetakan Negara RI (PNRI) sekaligus ketua Konsorsium PNRI Isnu Edhi Wijaya dan Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan KTP Husni Fahmi.
Berkas dakwaan telah dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Berkas tersebut dilimpahkan pada Selasa, 14 Juni 2022 kemarin.
"Jaksa KPK siap buktikan perkara lanjutan pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional (e-KTP)," ujar Ali dalam keterangannya, Rabu (15/6/2022).
Terakhir kali, KPK telah menetapkan empat tersangka baru kasus korupsi proyek e-KTP. Penetapan tersangka terhadap keempat orang ini dilakukan pada Agustus 2019.
Para tersangka e-KTP tersebut adalah mantan anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani, Direktur Utama Perum Percetakan Negara RI (PNRI) sekaligus ketua Konsorsium PNRI Isnu Edhi Wijaya, Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan KTP Husni Fahmi, dan Dirut PT Shandipala Arthaputra Paulus Tanos.
Keempatnya disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Advertisement
7 Tersangka Pertama Skandal E-KTP
Sebelumnya, KPK lebih dahulu menjerat tujuh orang dalam kasus korupsi e-KTP yang merugikan negara Rp 2,3 triliun. Ketujuh orang tersebut sudah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi atas proyek senilai Rp 5,9 triliun.
Mereka adalah dua mantan pejabat Ditjen Dukcapil Kemendagri Irman dan Sugiharto yang masing-masing divonis 15 tahun penjara, mantan Ketua DPR RI Setya Novanto juga divonis 15 tahun penjara, pengusaha Andi Narogong 13 tahun penjara, dan Anang Sugiana Sudihardjo seberat 6 tahun penjara.
Sedangkan Irvanto Hendra Pambudi dan Made Oka Massagung masing-masing 10 tahun penjara. Sementara itu, politikus Partai Golkar Markus Nari divonis 8 tahun penjara dalam tingkat kasasi.
Namun dalam perjalannya, MA menyunat vonis Irman dan Sugiharto. Hukuman Irman dipotong dari 15 tahun menjadi 12 tahun. Sementara Sugiharto dari 15 tahun menjadi 10 tahun.