Kisah Rasulullah SAW Wudhu di Sumur Tempat Buang Bangkai Anjing dan Kotoran Haid

'Ya Rasulallah itu sumur dulu zaman sebelum engkau datang, sebelum ada Islam di sini, dipakai pembuangan bangkai anjing dan kotoran orang haid'

oleh Liputan6.com diperbarui 01 Jul 2022, 10:00 WIB
Banyak desa di Indonesia yang masih membutuhkan air bersih, mari bersama membangun bak penampung dan pipanisasi melalui Mata Air Indosiar. (Ilustrasi: i.huffpost.com)

Liputan6.com, Cilacap - Persoalan-persoalan baru dalam masalah Fikih (masaailul fiqhiyyah al haditsah) selalu saja ada. Salah satunya ialah perihal kesucian air PDAM.

Dari sinilah kemudian menuntut para ulama untuk melakukan ijtihad atas permasalahan-permasalahan yang baru tersebut.

Perihal hukum air telah dibahas oleh para ulama mazhab dalam kitab-kitabnya. KH Ahmad Bahaudin Nursalim atau Gus Baha mengawali pembahasannya dengan mengutip pandangan dari Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i tentang air yang suci dan mensucikan.

“Saya jelaskan ya, cara mazhab Abu Hanifah air tidak bisa najis. Pokoknya semua air itu mensucikan, tidak bisa najis,” terang Gus Baha dikutip dari kanal YouTube Santri Official, Kamis (30/06/2022).

Lain halnya dengan Imam Syafi’i yang mensyaratkan air harus mencapai dua kulah, yakni ukuran 1 meter persegi dan jika dikonversi pada ukuran liter, maka setara dengan 270 liter air, maka jika terkena apapun yang sifatnya najis, hukumnya tetap suci asalkan tidak berubah warna dan berbau.

Tapi kalau dalam madzhab Syafi’i itu, air yang tidak sampai dua qullah. Dua kulah itu kira-kira ukuran satu meter persegi. Berarti kiri, kanan, atas, bawah semua berukuran 1 meter, itulah ukuran dua kulah. Menurut Imam Syafi’i jika air tidak mencapai dua kulah, bila terkena najis sedikit itu berubah atau tidak berubah hukumya najis. Tapi, kalau air itu banyak (lebih dari dua qullah) meskipun terkena apapun tetap tidak najis. Kecuali jika air itu berubah. Misalnya ada limbah, ada kubangan besar itu yang beribu-ribu liter. Tapi kubangan itu sudah berubah cokelat, kaya air tinja itu maka dihukumi najis,” kata Gus Baha.

 

 

Saksikan Video Pilihan Ini:


Nabi SAW Wudhu di Sumur di Madinah

Gus Baha juga mengatakan bahwa terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama madzhab tentang masalah air. Meskipun berbeda, Gus Baha meyakinkan bahwa itu pendapat ulama mazhab yang memiliki otoritas keilmuwan yang sudah tidak diragukan.

Lebih lanjut Gus Baha mengutip Hadis Nabi SAW yang termaktub dalam kitab Musnad Ahmad perihal Nabi pernah memakai air sumur untuk berwudhu yang dahulu sebelumnya pernah menjadi tempat pembuangan bangkai dan kotoran.

“Kalau teks hadisnya begini. Jadi di Madinah, ini hadis dalam kitab Musnad Ahmad. Di Madinah itu ada sumur. Bukan sungai ya tapi saya ulangi lagi sumur. Kalau sungai itu konotasinya luas, panjang dan mengalir. Kalau ini sumur, benar-benar sumur,” terang Gus Baha.

“Ada sumur yang besarnya tidak seberapa. Nabi SAW itu wudhu di situ, lalu diingatkan, 'Ya Rasulallah itu sumur dulu zaman sebelum engkau datang, sebelum ada Islam di sini, dipakai pembuangan bangkai anjing dan kotoran orang haid',".

Lalu saat itu Nabi SAW bersabda:

اَلْمَاءُ طَهُوْرٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ

artinya: “Yang namanya air itu mensucikan, tidak bisa pernah kena najis.” imbuhnya.

Kemudian Nabi SAW wudlu.

"Ya sudah begitu. Kalian tidak usah berpikir jauh. Syukur alhamdulillah hadisnya mengatakan demikian,” tandas Gus Baha meyakinkan.

 

 


Bolehkan Berwudlu dengan Air PDAM

Ilustrasi keran air/credit: pexels.com/nithih

Gus Baha juga membagikan pengalamannya ketika mendapat pertanyaan dari seseorang yang tinggal di daerah perkotaan, di mana orang tersebut sehari-hari menggunakan air PDAM, termasuk untuk bersuci (wudlu).

“Makanya saya sering ditanya oleh orang-orang Jakarta, Gus saya ini punya air langganan PDAM, itu dikelola dari sungai ini. Padahal sungai ini mulai tinja sampai septic tank ya sampai ke situ semua dan tidak bau karena dicampur kaporit. Itu gimana gus? Suci apa tidak? Saya tanya, kamu pakai tidak? Dia menjawab: “ya sudah saya pakai, tapi saya tanya hukumya,” ucap Gus Baha

“kalau menurut Imam Syafi’i dua qullah pun tidak ada pengaruhnya (tetap najis, pen), kalau terlalu banyak bahan najis. Contohnya limbah itu najis. Kalau kotoran sapi kan masih ada perbedaan pendapat dalam mazhab. Ada ulama yang mengatakan: “kotoran hewan suci itu suci, sedangkan kotoran manusia itu lebih kriminal karena tidak ada mazhab yang mengatakan tidak najis,” lanjut Gus Baha.

Melihat perbedaan pandangan tentang hukum air dan juga menerangkan tentang perbedaan hukum perihal kotoran hewan yang tidak najis seperti kotoran sapi, kambing dan lain sebagainya maka terkait air yang suci Gus Baha menyimpulkan bahwa selama tidak terlalu terlihat najis dan tidak bau kotoran, maka hukumnya suci.

Hal ini berlaku juga untuk air PDAM, meskipun asal muasalnya air PDAM tersebut dari sungai yang kotor dan keruh.

“Menurut saya, asal tidak terlalu terlihat najis, seperti air PDAM tadi asal tidak bau kotoran maka hukumnya suci. Sudah gitu saja,” tutup Gus Baha.

Penulis: Khazim Mahrur

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya