Liputan6.com, Jakarta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan Komite Nasional Indonesia untuk Program Management of Social Transformation (MOST) UNESCO akan mengawal dan menyusun peta jalan riset nasional 2023-2029 untuk meningkatkan peran penyandang disabilitas yang setara dalam pembangunan.
"MOST UNESCO yang ada di BRIN diharapkan mampu mengawal dan menyusun peta jalan yang jelas untuk riset-riset disabilitas sehingga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari riset dan inovasi untuk Indonesia maju," kata Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko, dikutip Antara, Sabtu (2/7/2022).
Advertisement
Selain persoalan data penyandang disabilitas, minimnya bukti ilmiah untuk mendasari penyusunan kebijakan dan perancangan program yang tepat merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kebijakan, program dan layanan penyandang disabilitas belum sepenuhnya inklusif, terpadu, dan memadai.
MOST UNESCO adalah komite ilmu pengetahuan nasional antar pemerintah yang berada di bawah koordinasi BRIN, dan memiliki visi bahwa riset merupakan dasar untuk mencapai kesetaraan, keadilan dan pengarusutamaan disabilitas dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Indonesia.
Handoko mengatakan Konferensi Nasional MOST UNESCO Indonesia melibatkan multipihak untuk menajamkan berbagai fokus riset termasuk pengembangan teknologi yang dibutuhkan masyarakat terutama penyandang disabilitas dan peningkatan peran penyandang disabilitas dalam pembangunan.
MOST UNESCO memiliki misi untuk memastikan hak penyandang disabilitas atas perlindungan sosial maupun hak-hak lainnya, mentransfer bukti penelitian dalam perspektif disabilitas ke kebijakan dan praktik publik serta memastikan inovasi ilmiah, kemandirian dan keberpihakan kepada penyandang disabilitas.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Misi utama dari MOST UNESCO
Ketua Komite Nasional Indonesia untuk Program MOST UNESCO Tri Nuke Pudjiastuti menuturkan misi utama dari MOST UNESCO adalah untuk memperkuat ekosistem riset disabilitas dengan pendekatan interseksional menuju kesetaraan partisipasi penyandang disabilitas dalam pendidikan dan pelatihan.
MOST UNESCO juga mendorong penguatan jejaring yang berfokus pada penyandang disabilitas di forum nasional, regional, dan global.
Komite MOST UNESCO Indonesia terdiri dari 12 organisasi atau lembaga, diantaranya Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI), Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Pusat Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya, dan Pusat Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga.
Kemudian, ada Pusat Studi Layanan Disabilitas Universitas Negeri Surabaya, Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Sebelas Maret, Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia, dan Perkumpulan Prakarsa Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia.
Nuke mengatakan Konferensi Nasional MOST UNESCO merupakan bagian dari program dengan tujuan mengonfirmasi dan mendiskusikan isu strategis sebagai dasar penyusunan peta jalan agenda riset dan inovasi nasional 2023-2029 terkait disabilitas.
Konferensi yang diprakarsai BRIN melalui Komite Nasional Indonesia untuk Program MOST UNESCO bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai masukan untuk menyusun naskah kebijakan bagi para pemangku kepentingan terkait isu strategis pemenuhan hak dan peran disabilitas dalam pembangunan.
Konferensi tersebut juga mewadahi komunikasi awal dan menguatkan relasi antar jaringan, antar mitra dan pemangku kepentingan termasuk organisasi penyandang disabilitas dalam upaya mengawal program-program pemerintah di daerah.
Advertisement
Pemerintah wajib menjamin pengembangan karir disabilitas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, disebutkan bahwa Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah wajib menjamin proses rekrutmen, penerimaan, pelatihan kerja, penempatan kerja, keberlanjutan kerja, dan pengembangan karier yang adil dan tanpa diskriminasi kepada Penyandang Disabilitas. Hal tersebut ditujukan agar dapat membuka kesempatan bagi para Penyandang Disabilitas untuk menjadi mandiri dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan negara.
Untuk mewujudkan komitmen tersebut pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) terus berusaha mengarusutamakan pemberian layanan ketenagakerjaan yang inklusif, yaitu pengelolaan ketenagakerjaan yang mempertimbangkan aspek penghormatan terhadap hak asasi dengan mengikutsertakan dan mengintegrasikan semua orang atas dasar kesetaraan.
“Kementerian Ketenagakerjaan melalui seluruh Dinas yang membidangi ketenagakerjaan baik provinsi maupun kabupaten/kota wajib membentuk Unit Layanan Disabilitas (ULD) Bidang Ketenagakerjaan.” ujar Direktur Bina Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri Kemnaker, Nora Kartika Setyaningrum, dikutip laman BRIN.
Nora menambahkan, selain ULD Bidang Ketenagakerjaan, Kemnaker juga telah melakukan beberapa strategi seperti pelatihan vokasi inklusif bagi tenaga kerja Penyandang Disabilitas dan program link and match yang menghubungkan pencari kerja dengan pemberi kerja.
Dijelaskan Nora, terkait strategi yang telah dilakukan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN RB) dalam rangka meningkatkan akses ketenagakerjaan bagi Penyandang Disabilitas.
Menurut Analis Kebijakan KemenPAN RB, Supardiyana, rekrutmen ASN maupun PPPK sudah menggunakan sistem rekrutmen yang inklusif dengan menyediakan kuota formasi bagi Penyandang Disabilitas sesuai dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2021 Tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil.
Jumlah penyandang disabilitas tinggi di Indonesia
Sementara itu, Anggota Komite Nasional MOST-UNESCO Indonesia, Maftuchan menyampaikan bahwa jumlah penyandang disabilitas di Indonesia cukup tinggi yaitu hampir 10% dari total jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 27 juta orang dengan disabilitas ringan, sedang maupun berat, sehingga akses ketenagakerjaan bagi Penyandang Disabilitas menjadi isu penting dalam pembangunan nasional dan daerah.
“Meskipun kita mengalami kemajuan policy di Indonesia terkait Penyandang Disabilitas, namun program antara Kementerian/Lembaga dengan Pemerintah Daerah masih terjadi overlap dan belum terintegrasi dengan baik.” Jelas Maftuchan.
Menurutnya, hal lain yang juga perlu diperhatikan pemerintah dalam upaya peningkatan hak akses ketenagakerjaan bagi Penyandang Disabilitas yaitu, tingkat pendidikan Penyandang Disabilitas yang masih rendah, penyediaan infrastruktur yang memadai, bantuan dan dukungan kepada perusahaan untuk mempekerjakan Penyandang Disabilitas, serta penyediaan pelatihan yang inklusif.
Senada dengan Maftuchan, Program Officer International Labour Organization, Tendy Gunawan juga menyampaikan bahwa tingkat pendidikan Penyandang Disabilitas di Indonesia jauh lebih rendah dibanding penduduk non-disabilitas sehingga terjadi diskriminasi dalam perekrutan tenaga kerja. Menurutnya Tendy, perlu ada transisi dengan menyediakan pelatihan keterampilan inklusif yang sesuai dengan permintaan pangsa pasar kerja yang setidaknya dapat meningkatkan keterampilan para penyandang disabilitas.
Advertisement