Ekonom: Inflasi Terkendali, Jadi Alasan BI Pertahankan Suku Bunga Acuan

Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita, mendukung keputusan Bank Indonesia yang masih mempertahankan suku bunga

oleh Tira Santia diperbarui 01 Jul 2022, 15:31 WIB
Ilustrasi Bank Indonesia (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita, mendukung keputusan Bank Indonesia yang masih mempertahankan suku bunga, dibanding menaikkannya.

“Saya mendukung keputusan BI untuk menunggu sinyal yang lebih jelas lagi, terutama tingkat inflasi inti, walaupun alasan saya tidak terlalu sama dengan BI,” kata Ronny kepada Liputan6.com, Jumat (1/7/2022).

Dia menjelaskan, saat ini inflasi pada Juni 2022 tercatat 0,61 persen dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Inflasi tahun kalender adalah 3,19 persen. Secara tahunan (year-on-year/yoy), inflasi Juni 2022 berada di 4,35 perse. Lebih tinggi dibandingkan Mei 2022 yang 3,55 persen sekaligus jadi yang tertinggi sejak Juni 2017.

Kemudian, inflasi inti mencapai 2,63 persen dan harga yang diatur pemerintah 5,33 persen serta yang bergejolak 10,3 persen. Sementara itu, the Fed sudah lebih dulu menaikan suku bunga acuan Amerika 75 basis point beberapa waktu lalu. 

“Sehingga dengan torehan tingkat inflasi Indonesia dan kenaikan FFR tersebut dijadikan alasan oleh beberapa pihak untuk mempertanyakan sikap BI yang masih mempertahankan suku bunga acuan. Diyakini,  akam terjadi capital outflow di satu sisi dan pelemahan mata uang di sisi lain,” ujarnya.

Menurutnya, terdapat beberapa alasan BI mempertahankan suku bunga. Pertama, inflasi Indonesia secara komparatif masih jauh lebih rendah dibanding negara lainya.  

Kedua, inflasi di Indonesia utamanya bukan disebabkan oleh kelimpahan liquiditas alias bukan karena naik tajamnya jumlah uang beredar sehingga BI tak harus melakukan pengetatan moneter saat ini.

Ketiga, nominal GDP nasional masih terbilang tinggi secara komparatif di satu sisi dan belum overheating karena peningkatan aggregate demand di sisi lain, yang berarti BI sebaiknya masih mempertahankan kebijakan moneter expansionary, bukan contractionary, yang berpeluang menggangu raihan pertumbuhan nasional.

 


Suku Bunga Sudah Tinggi

Tumpukan mata uang Rupiah, Jakarta, Kamis (16/7/2020). Bank Indonesia mencatat nilai tukar Rupiah tetap terkendali sesuai dengan fundamental. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Keempat,  sebenarnya "real interest rate" sudah tinggi.  Median suku bunga perbankan yang berlaku di pasaran sudah tinggi.  Bunga deposit rerata antara 4-5 persen dan suku bunga kredit 8-12an.

“Jika kita ambil angka medianya,  real interest rate di perbankan sudah berada pada kisaran 6 - 8,5 persen, alias sangat contractionary jika dihadapkan pada nominal GDP nasional.  Karena itu,  sekalipun memakai pendekatan hukum Taylor (Taylor's law), real interest rate (6-8,5) kita sudah berada di atas inflasi (4 persen) sehingga BI belum perlu menaikan suku bunga karena akan semakin mencekik likuiditas,” jelasnya.

Kelima,  dari sisi exchange rate juga belum ada sinyal signifikan untuk pelemahan rupiah, terutama terhadap dollar. Inflasi di Amerika jauh lebih tinggi dibanding Indonesia. 

Dalam kacamata teoritik,  terutama PPP (purchasing power paritiy)  rupiah,  justru semestinya rupiah menguat terhadap dollar,  walaupun teori ini kurang populer dan kurang aplikatif.  Begitu pula dengan suku bunga. 

 


Perbandingan Inflasi AS dan Indonesia

Ilustrasi Konsep Inflasi Credit: pexels.com/pixabay

Inflasi di Amerika 8 persen dan suku bunga saat ini 1,75 persen, sementara inflasi di Indonesia 4 persen dan suku bunga 3,5 persen.  Artinya,  rupiah semestinya bisa diekspektasikan secara teoritik untuk menguat sekira 2,25 persen terhadap dollar, bukan sebaliknya.

Demikian, katakanlah memaakai pendekatan Mundell-Fleming model, misalnya,  jika suku bunga domestik lebih rendah dari suku bunga internasional,  akan terjadi capital outflow. 

Artinya, sudah jelas terlihat bahwa suku bunga BI masih di atas suku bunga internasional The Fed. Karena itulah Rupiah tidak terlalu tergoncang dan belum ada capital outflow masif setelah The Fed menggerek suku bunga 75 basis point pertengahan bulan lalu.

“Jadi, menurut saya kenaikan suku bunga saat ini justru belum memiliki justifikasi rasional,  justifikasi konstektual,  dan justifikasi teoritik.  Karena itu keputusan BI untuk menahan suku bunga perlu didukung,” pungkasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya