Liputan6.com, Bandung - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat (Jabar) menegaskan, secara kelembagaan, mereka akan seturut dengan ketentuan atau fatwa MUI pusat ihwal wacana legalisasi ganja untuk medis. Meski, secara pribadi, Ketua MUI Jabar, Rachmat Syafe'i, mengakui kekhawatirannya terkait wacana tersebut.
Ia menjelaskan, MUI di daerah harus seturut dengan ketentuan dari pusat lantaran persoalan yang dianggap berskala nasional, termasuk soal legalisasi ini, kewenangannya berada di MUI pusat.
Advertisement
"MUI Jabar pasti mengikuti fatwa dari pusat, ketentuan dalam memberikan fatwa itu jika masalah-masalah nasional itu ada di pusat, tidak parsial tiap MUI kabupaten atau kota, atau provinsi," katanya saat dihubungi, Jumat, 1 Juli 2022.
Di balik itu, secara pribadi, Rachmat mengakui masih menyimpan kekhawatirannya.
"Yang sekarang dilarang saja dilanggar, bagaimana apabila dilegalkan? Itu yang menjadi kekhawatiran," kata Rachmat.
"Saya pribadi, untuk legalisasi atau melegalkan itu sendiri tidak usah," ujarnya.
Jikapun nanti dilakukan, hematnya, kajian oleh para ahli harus dikerjakan dengan sangat hati-hati agar tak ada penyimpangan dan semata demi kemaslahatan umat.
Selama ini, MUI Jabar diakui belum pernah melakukan kajian bersama ahli terkait ganja untuk medis. Pihaknya, kata Rachmat, akan menunggu dan turut mengamati jika nantinya kajian tersebut dilakukan.
"Kalau MUI Jabar melihat bahwa putusan itu agak berbeda dalam kajian pasti akan dikomunikasikan," ujarnya.
"Bagi saya pribadi, pasti saya dengan kawan-kawan, akan kembali membahas, menanyakan pada ahlinya. Terserah ahlinya, kalau kata ahlinya tetap memabukkan maka tidak bisa dilegalkan. Kalau kata ahli memang ini ada manfaatnya tapi mudaratnya banyak dan itu tetap tidak bisa dilegalkan. Tapi kan belum ada kajian," ia melanjutkan.
Sepengetahuan Rachmat, dari sumber-sumber terbatas yang ia akses, ganja diakui sebagai salah satu alternatif untuk keperluan medis. Namun, ia mengatakan, pemerintah sepatutnya bisa mencari obat yang jauh dari risiko kemudaratan.
"Jangan dekat-dekat dengan yang merusak. Pemerintah wajib mencari alternatif obat yang tidak membahayakan, alternatif yang terbaik," tandasnya.
Dalam pandangan agama yang ia yakini, lanjut Rachmat, sesuatu yang mulanya dinyatakan dilarang boleh saja digunakan untuk kepentingan darurat, sejauh tak ada alternatif lain.
"Dibolehkan apabila tidak ada lagi pilihan obat-obatan yang bisa mengganti itu, begitu yang dimaksud darurat itu. Yang namanya halal itu adalah yang manfaat dalam keadaan normal, apabila manfaat dalam keadaan darurat itu haram, dibolehkan hanya karena darurat," dia menandaskan.
Simak video pilihan berikut ini: