Aliran Dana Asing Sentuh Rp 61,1 Triliun, Bagaimana Potensi Semester II 2022?

Aliran dana investor asing yang masuk ke pasar modal Indonesia mencapai Rp 61,1 triliun hingga penutupan perdagangan Kamis, 30 Juni 2022.

oleh Elga Nurmutia diperbarui 01 Jul 2022, 19:41 WIB
Pekerja tengah melintas di layar pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (18/11/2019). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup pada zona merah pada perdagangan saham awal pekan ini IHSG ditutup melemah 5,72 poin atau 0,09 persen ke posisi 6.122,62. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Analis menilai potensi dana asing masuk ke pasar modal Indonesia pada semester II 2022 masih kondisional seiring mencermati sentimen global.

Mengutip data Bursa Efek Indonesia (BEI), aliran dana investor asing yang masuk ke pasar modal Indonesia mencapai Rp 61,1 triliun hingga penutupan perdagangan Kamis, 30 Juni 2022.

Berdasarkan data RTI, sejumlah saham yang dibeli investor asing secara year to date antara lain saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) senilai Rp 7,8 triliun, PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) sebesar Rp 6 triliun, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) sebesar Rp 5,6 triliun, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) sebesar Rp 4 triliun, dan PT Astra International Tbk (ASII) sebesar Rp 4 triliun.

Lalu bagaimana potensi aksi beli investor asing pada semester II 2022?

"Kondisional, tentunya juga mengamati sentimen-sentimen global,” ujar Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas, M Nafan Aji Gusta saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (1/7/2022).

Dia menambahkan, investor asing mencermati faktor sentimen yang berkembang saat ini salah satunya resesi global.

"Para pelaku pasar asing tentunya mencermati terkait adanya faktor sentimen-sentimen yang berkembang saat ini, untuk saat ini para pelaku pasar mengamati faktor kekhawatiran mengenai resesi global yang memang berpotensi terjadi," ungkapnya.

Selain itu, Nafan juga mengungkapkan, pelaku pasar juga mengamati faktor dinamika perang Rusia-Ukraina.

"Perang Rusia-Ukraina yang menyebabkan faktor supply chain disruption, yang menyebabkan terjadinya krisis energi dan pangan di negara-negara terutama ekonomi maju terkena impact, itu menyebabkan terjadinya dorongan peningkatan inflasi," ujar Nafan.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Faktor yang Bayangi Pasar Modal Indonesia

Karyawan melihat layar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (22/1/2021). Sebanyak 111 saham menguat, 372 tertekan, dan 124 lainnya flat. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Sebelumnya, Pasar modal di Indonesia dinilai semakin optimistis pada tahun pemulihan ekonomi 2022. Hal itu tak terlepas dari kondisi ekonomi domestik yang kian pulih setelah krisis akibat pandemi COVID-19 dan Indonesia mendapatkan rating satu tingkat di atas investment grade sehingga semakin menarik untuk tujuan investasi.

Praktisi pasar modal Vicella Tjhin memaparkan faktor-faktor yang mendorong optimisme tersebut. Salah satunya yakni tingkat inflasi yang terjaga di kisaran 3,5 persen, masih di bawah konsensus yaitu 3,6 persen.

Bahkan, kata dia, dibandingkan dengan rerata inflasi Indonesia selama 25 tahun terakhir yang sekitar 8,9 persen, persentase tersebut tergolong kecil. Persentase itu pun masih sesuai dengan apa yang dicanangkan oleh pemerintah maupun Bank Indonesia (BI) yaitu 3 plus minus 1.

"Kalau selama masih dalam range itu seharusnya masih oke. Kalau inflasi masih dalam batas-batas yang bisa diterima oleh pemerintah, oleh seperti yang dicanangkan pemerintah itu harusnya masih bagus untuk pertumbuhan. Karena pertumbuhan ekonomi kita paling 5-6 persen. Kalau inflasi di atas itu sudah tidak bagus. Dan rata-rata inflasi ini di dunia 9,2 persen ya sampai bulan April kemarin," kata Vicella dalam acara Investment Talk bertema “Market di Persimpangan Tren” yang diselenggarakan secara daring oleh D'ORIGIN Financial & Business Advisory bekerjasama dengan IGICO Advisory, ditulis Senin, 6 Juni 2022.

 


Sentimen Lainnya

Pejalan kaki melintas dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di kawasan Jakarta, Senin (13/1/2020). IHSG menguat 0,34 persen atau 21 poin ke level 6.296 pada penutupan perdagangan Senin (13/1) sore ini. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Kemudian dengan tingkat inflasi terjaga, BI pun masih menetapkan suku bunga di 3,5 persen. Bahkan persentase itu sudah bertahan 15 bulan sejak Februari 2021. Persentase suku bunga itu pun menjadi yang terendah.

Di sisi lain langkah Bank Indonesia menaikkan giro wajib minimum, menurut dia sebagai strategi tepat ketika tren inflasi global meningkat. Hal itu membuat likuiditas di masyarakat tidak berlebihan.

Seperti Juni 2022, giro wajib minimum yang tadinya 5 persen dinaikan menjadi 6 persen. Sedangkan pada Juli akan dinaikkan lagi menjadi 7,5 persen. Hingga September 2022 targetnya menjadi 9 persen.

Faktor berikutnya adalah Indonesia mendapatkan rating satu tingkat di atas investment grade. Hal itu menjadi acuan fund manager asing berinvestasi di Indonesia. Hal itu terlihat dari dana asing yang masuk lagi dalam jumlah besar pasca momentum Lebaran.

 


Penutupan IHSG pada Jumat 1 Juli 2022

Layar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di BEI, Jakarta, Rabu (4/3/2020). IHSG kembali ditutup Melesat ke 5.650, IHSG menutup perdagangan menguat signifikan dalam dua hari ini setelah diterpa badai corona di hari pertama pengumuman positifnya wabah corona di Indonesia. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok pada perdagangan Jumat (1/7/2022). Seluruh sektor saham tertekan yang dipimpin indeks sektor saham transportasi.

Mengutip data RTI, pada penutupan perdagangan, IHSG merosot 1,7 persen ke posisi 6.794,32. Indeks LQ45 turun 1,78 persen ke posisi 974,32. Seluruh indeks acuan kompak tertekan. 

Memasuki Juli 2022, IHSG sempat berada di level tertinggi 6.940,98 dan terendah 6.777,31. Sebanyak 435 saham berada di zona merah sehingga menekan laju IHSG. 123 saham menguat dan 133 saham diam di tempat.

Total frekuensi perdagangan 1.130.483 kali. Total volume perdagangan saham 17,8 miliar. Nilai transaksi harian Rp 10,8 triliun. Posisi dolar Amerika Serikat terhadap rupiah di kisaran 14.851.

Seluruh sektor saham tertekan memasuki akhir pekan ini. Indeks sektor saham IDXtransportasi tergelincir 4,31 persen, dan catat koreksi terbesar. Diikuti indeks sektor saham IDXindustry susut 3,02 persen, indeks sektor saham IDXbasic melemah 2,99 persen, indeks sektor saham IDXfinance merosot 2,05 persen, dan indeks sektor saham IDXenergy susut 1,75 persen.

 

 


Kata Analis

Pekerja melintasi layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di BEI, Jakarta, Rabu (16/5). Meski terjebak di zona merah, IHSG berhasil mengakhiri perdagangan di level 5.841. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Vice President PT Infovesta Wawan Hendrayana menuturkan, koreksi IHSG terjadi seiring kekhawatiran investor terhadap kenaikan inflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi tahunan year on year pada Juni menjadi 4,35 persen. Inflasi itu tertinggi dalam dua tahun terakhir.

"Walau bisa dilihat sebagai aktivitas masyarakat meningkat, namun berarti efek kenaikan harga energi dan bahan baku mulai terasa,” ujar dia saat dihubungi Liputan6.com.

Ia menambahkan, inflasi tinggi dapat berarti dua hal. Pertama, memperlambat pertumbuhan ekonomi terutama bila suku bunga terkerek ikut naik. Kedua, menurunkan daya beli masyarakat. "Hal ini yang membuat IHSG terkoreksi hari ini. Semakin tinggi inflasi, semakin besar kemungkinan suku bunga naik, ” kata dia.

Saat ditanya mengenai potensi kenaikan suku bunga acuan, Wawan menilai potensi selalu ada tetapi pertimbangan menaikkan suku bunga adalah menurunkan inflasi dengan kurangi likuiditas di masyarakat. “Saat ini itu belum urgent,” ujar Wawan.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya