HEADLINE: Omicron BA.4 dan BA.5 Belum Tamat, Lepas Masker di Luar Ruangan Harus Cermat

Seiring kenaikan kasus COVID-19, penggunakan masker di luar ruangan kembali diberlakukan.

oleh Dyah Puspita WisnuwardaniBenedikta DesideriaFitri Haryanti Harsono diperbarui 05 Jul 2022, 00:00 WIB
Seorang anak kenakan masker dengan latar belakang mural Indonesia Bisa Stop Corona di Lapangan Bulutangkis, Kampung Kali Pasir, Jakarta, Selasa (7/4/2020). Pesan mural mengajak warga untuk memutus rantai penyebaran Corona Covid-19 dengan diam di rumah. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Liputan6.com, Jakarta - Kasus infeksi baru COVID-19 di Indonesia masih terus bertambah. Hingga Senin, 4 Juli 2022, ada 1.434 kasus baru, berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan RI yang dibagikan oleh Satgas COVID-19.

Dalam beberapa pekan terakhir jumlah infeksi baru COVID-19 di Tanah Air berkisar di angka 1.000 hingga 2.000-an kasus per hari. Penambahan jumlah kasus tersebut dikonfirmasi disebabkan oleh subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 yang disebut memiliki karakteristik daya tular lebih tinggi dari varian-varian sebelumnya. 

Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa Subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 mendominasi 80 persen kasus COVID-19 di Indonesia. Bahkan, lanjut Menkes Budi, kasus COVID-19 di DKI Jakarta 100 persen adalah kedua subvarian Omicron baru tersebut.

"Sekarang di Indonesia, BA.4 dan BA.5 sudah lebih dari 80 persen dari varian yang kita genome sequence, bahkan di DKI Jakarta sudah 100 persen itu adalah BA.4 dan BA.5," kata Budi dalam Siaran Pers Terkait Rapat Terbatas Evaluasi PPKM di Kantor Presiden, Senin, 4 Juli 2022.

Sebelumnya, Budi Gunadi terlebih dulu menyinggung mengenai kenaikan kasus COVID-19 yang terjadi hampir di seluruh dunia. Baik di Eropa, Amerika, maupun negara di Asia.

Berdasarkan data Johns Hopkins University, Senin (4/7/2022), pertumbuhan kasus mingguan virus Corona telah lebih tinggi dari dari Mei dan Juni 2022. Sebanyak 17 juta Kasus COVID-19 di dunia muncul dalam 28 hari terakhir. 

Berikut 10 negara dan kawasan dengan penambahan kasus tertinggi dalam 28 hari terakhir: 

1. Amerika Serikat: 3 juta kasus (total 87,8 juta)

2. Jerman: 1,8 juta kasus (total 28,3 juta)

3. Prancis: 1,5 juta kasus (total 31,4 juta)

4. Taiwan: 1,4 juta kasus (total 3,8 juta)

5. Brasil: 1,3 juta kasus (total 32,4 juta)

6. Italia: 1,2 juta kasus (total 18,7 juta)

7. Australia: 799 ribu kasus (total 8,2 juta)

8. Inggris: 448 ribu kasus (total 22,9 juta)

9. Jepang: 445 ribu kasus (total 9,3 juta)

10. Spanyol: 414 ribu kasus (total 12,8 juta)

Singapura masih mencatat kenaikan kasus tertinggi di Asia Tenggara, yakni 144 ribu kasus dalam 28 hari terakhir (total 1,4 juta). 

Angka kematian dalam 28 hari terakhir di seluruh dunia masih stabil dalam beberapa pekan terakhir. Jumlah angka kematian tidak meningkat seperti tahun lalu.  

 

 


Pelonggaran Lepas Masker di Ruang Terbuka Ditarik?

Infografis Syarat Boleh Lepas Masker di Luar Ruangan. (Liputan6.com/Abdillah)

Kenaikan kasus COVID-19 di Indonesia diprediksi akan mencapai puncaknya pada minggu kedua atau ketiga Juli 2022. Perkiraan tersebut dengan merujuk kasus-kasus yang terjadi di negara lain seperti Australia, Afrika Selatan, dan Portugal yang sudah lebih dulu melampaui puncak kasus BA.4 dan BA.5.

“Berapa tinggi sih mereka puncaknya? Rata-rata mereka berkisar antara 30 sampai 40 persen dari puncak Omicron sebelumnya. Jadi kalau Indonesia kan sebelumnya 58 ribu ya, 30 persennya mungkin di bawah 20 ribu, itu puncak kasus per harinya,” kata Budi usai memberi sambutan dalam acara Simposium Asosiasi Dokter Medis Sedunia (World Medical Association) tahun 2022 di Jakarta, Minggu (3/7/2022).

Perkiraan angka itu jika mengikuti pola kasus yang terjadi di negara-negara lain yang sudah melampaui puncak. Lebih lanjut Menkes Budi Gunadi menyebut, rata-rata kasus subvarian BA.4 dan BA.5 mencapai puncaknya  28 hingga 34 hari sejak ditemukan BA.4 dan BA.5 di negara tersebut.

“Karena di Indonesia ditemukannya sesudah Lebaran, kalau kita mengikuti pola di negara lain maka puncaknya kira-kira di minggu kedua atau minggu ketiga Juli.”

Menyikapi kenaikan kasus COVID-19 di Tanah Air, Wakil Presiden Ma'ruf mengatakan, kelonggaran penggunaan masker di luar ruangan akan ditarik hingga situasi memungkinkan.

"Kalau masker, protokol kesehatan tetap kita ketatkan, masker terutama ya, ada kenaikan terpaksa masker harus dipakai lagi. Jadi kelonggaran itu kita tarik dulu sampai nanti situasinya memungkinkan baru kita buka lagi," tutur Ma'ruf di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Jumat (1/7/2022).

Menurut Ma'ruf, pemerintah tentu memiliki pertimbangan terkait naik turunnya level kewaspadaaan atas penyebaran COVID-19. Keseluruhannya tentu dapat mempengaruhi mobilitas warga setempat.

"Tapi kita berusaha supaya jangan sampai bisa terjadi kenaikan yang sampai levelnya menjadi naik. Karena tidak ingin mengurangi mobilitas masyarakat, sebab itu berpengaruh pada perkembangan ekonomi kita yang sudah baik-baik ini," jelas dia.

Sebelumnya, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pun meminta pemerintah mengkaji kembali aturan boleh melepas masker di ruang terbuka. Hal ini lantaran kehadiran subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 yang memliki karakteristik mudah menular sudah masuk RI.

"Subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 jadi pengingat masih perlunya memperkuat protokol kesehatan," kata kata Ketua Bidang Penanganan Penyakit Menular PB IDI, Agus Dwi Susanto dalam konferensi pers pada Selasa, 21 Juni 2022 di Kantor Pusat PB IDI Jakarta Pusat. 

"Kami merekomendasikan untuk dikaji kembali jika diperlukan," kata Agus.

Penggunaan masker di tempat terbuka disertai dengan penerapan protokol kesehatan yang lain menurut IDI merupakan bentuk kewaspadaan dalam menghadapi kasus COVID-19 yang tengah naik beberapa hari terakhir ini. Apalagi bila melihat data di berbagai belahan dunia, BA.4 dan BA.5 menyebabkan kenaikan kasus. Sehingga perlu respons cepat untuk mencegah penyebarannya.

“Kami meminta kerja sama semua pihak baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat untuk tetap perlu menjalankan berbagai upaya kewaspadaan strategi pencegahan dan sistem pengendalian penularan yang kuat. Penanganan ini tidak bisa dilakukan oleh tenaga medis saja, namun semua pihak secara bersamaan,” kata Ketua PB IDI Adib Khumaidi di kesempatan yang sama mengutip keterangan pers yang diterima Liputan6.com.


Tidak Ada Perubahan Kebijakan Penggunaan Masker

Infografis Pandemi Covid-19 Belum Berakhir, Subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 Mendominasi. (Liputan6.com/Abdillah)

Pemerintah belum mengubah kebijakan terkait penggunaan masker meski kasus virus Corona di sejumlah negara meningkat akibat adanya subvarian BA.4 dan BA.5, termasuk di Indonesia. 

Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyatakan, bahwa hingga kini belum ada perubahan kebijakan terkait pemakaian masker, khususnya di luar ruangan. Masyarakat masih diperbolehkan melepas masker saat berada di luar ruangan.

"Memang belum ada perubahan kebijakan mengenai masker. Terakhir, disampaikan pemerintah, jadi di luar diizinkan tidak menggunakan masker," kata Budi Gunadi di Kantor Presiden Jakarta, Senin (4/7/2022).

Sementara itu, dia mengingatkan masyarakat untuk tetap memakai masker apabila sedang berada di dalam ruangan. Masyarakat juga diminta tetap menggunakan masker di luar ruangan apabila dalam keadaan khusus.

"Misalnya sangat padat sekali, kemudian banyak yang batuk-batuk di dekat kita, diri kita sendiri merasa tidak sehat, sebaiknya menggunakan masker. Tidak ada perubahan mengenai masker," tutur Budi.

Menurutnya, kenaikan kasus COVID-19 di Indonesia masih terkendali sehingga pesan yang disampaikan terkait protokol kesehatan tetap sama. 

Keterangan mengenai aturan penggunaan masker baik di luar maupun di dalam ruangan juga telah disampaikan Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia Mohammad Syahril beberapa waktu sebelumnya. Syahril mengatakan, walaupun Pemerintah membolehkan lepas masker di luar ruang, bila di kerumunan tetap pakai masker.

Masyarakat juga diingatkan, pelonggaran masker bukan berarti bebas masker sepenuhnya. Jika ingin melepas masker, terutama dalam kondisi tidak banyak orang dan orang yang mempunyai komorbid tetap menggunakan masker.

"Kalau ada pelonggaran memakai masker di luar itu bukan berarti bebas tidak memakai masker. Lepas masker ya dengan cara benar. Jadi, ada yang boleh memakai masker dan yang tidak," terang Syahril saat Talkshow Optimalisasi 3T: Upaya Bendung Gelombang Baru yang disiarkan dari Media Center COVID-19, Graha BNPB, Jakarta pada Kamis, 23 Juni 2022.

Ada sejumlah pengecualian yang mengharuskan seseorang memakai masker, antara lain berkegiatan di ruangan tertutup dan di transportasi publik. Masker masih diwajibkan untuk populasi rentan, yakni lansia, memiliki penyakit komorbid, ibu hamil, dan anak yang belum divaksin.

Bagi mereka yang bergejala seperti batuk, pilek, dan demam juga diharuskan memakai masker.

"Saat ini, dengan meningkatnya kasus ya kalau di luar ruang dan banyak orang atau ketemu orang ke suatu tempat ya masker tetap dipakai. Saatnya kita memperketat masker, menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan sehat (PHBS) juga meningkatkan protokol kesehatan," imbuh Syahril.

 


Perbedaan Informasi Bikin Bingung Masyarakat

Infografis Ragam Tanggapan Syarat Boleh Lepas Masker di Luar Ruangan. (Liputan6.com/Abdillah)

Adanya perbedaan suara mengenai penggunaan masker di Pemerintah, dinilai Epidemiolog Centre for Environmental and Population Health Griffith University Australia, Dicky Budiman, membingungkan rakyat.

"Pemerintah justru sekarang berbeda suara soal aturan pelonggaran masker di luar ruangan. Wapres Ma'ruf Amin bilang ditarik sementara, sedangkan Menkes Budi Gunadi malah bilang tidak ada perubahan. Ini jadi membingungkan rakyat," ujar Dicky melalui keterangan pada Health Liputan6.com pada Senin, (4/7/2022).

Dicky menjelaskan, perbedaan tersebut menjadi hal yang begitu disayangkan. Menurutnya, dalam hal strategi komunikasi risiko, konsistensi, kejelasan pesan, dan kesinergian antar pihak atau sektor di pemerintah merupakan hal yang penting.

"Ini membangun kepercayaan dan akan berpengaruh pada program lainnya. Seperti misalnya bicara masker atau bicara pandemi terkendali kemudian memburuk, bukan berarti tidak berpengaruh pada cakupan vaksinasi booster, itu berpengaruh," kata Dicky.

Terlebih menurut Dicky, dengan adanya perbedaan informasi atau pemberian informasi yang terlalu optimis dapat membawa dampak lain, yang mana bukan berujung pada meningkatnya kewaspadaan masyarakat.

"Sekali masyarakat menerima informasi yang terlalu optimis atau yang hanya membawa positif-positif, yang terbangun bukan kewaspadaan. Selain mereka berharap ini selesai, sebagian juga di sisi lain akan menurun kepercayaannya dan itu berbahaya," ujar Dicky.

"Walaupun saat ini memang tahun kedua, tahun ketiga jauh lebih baik komunikasi resikonya dibanding tahun pertama. Tetap harus dijaga terus," Dicky menjelaskan.

Dalam kesempatan yang sama, Dicky juga mengungkapkan bahwa di negara-negara lain biasanya alur informasi yang diberikan oleh pimpinan dan pejabatnya akan selaras.

Para pejabat di negara lain biasanya juga akan mengikuti aturan dari pimpinan atas, bukan sebaliknya.

Dicky juga menyampaikan, ketika masyarakat sudah abai dengan situasi pandemi, maka tanggung jawab pemerintah tetap melindungi kesehatan masyarakat.

Perlindungan ini dapat dilakukan dengan cara membuat regulasi yang meminimalisasi paparan COVID-19 pada masyarakat.

Dia juga mengingatkan akan risiko long COVID yang serius. Long COVID-19 kemudian dapat menjadi beban besar baik bagi negara maupun masing-masing individu akibat penyakit kronis.

Selain masker, adanya kebijakan atau strategi meraih cakupan vaksinasi dosis ketiga secara cepat juga penting ditambah 3T (tracing, testing, treatment) dan 5M (memakai masker, menjaga jarak, menghindari kerumunan, mencuci tangan, mengurangi mobilitas).


Alasan Kasus Melandai di Indonesia

Pemerintah menilai penambahan kasus COVID-19 di Indonesia masih terkendali dibandingkan dengan negara-negara lain yang juga terdampak subvarian BA.4 dan BA.5.

Hasil pengamatan dan diskusi bersama para epidemiolog, kata Menkes Budi Gunadi, menunjukkan peningkatan jumlah kasus COVID-19 di sejumlah negara di dunia dikarenakan kekurangwaspadaan dan terlalu terburu-buru mengendorkan protokol kesehatan.

Indonesia dengan populasi yang jauh lebih banyak, disebut Menkes Budi jauh lebih baik dalam menghadapi gelombang Subvarian Omicron BA.4 dan BA.5.

"Karena para masyarakat itu relatif lebih disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan dan juga dalam menjalankan vaksinasi," ujarnya.

Oleh sebab itu, masyarakt diimbau agar tidak mengendurkan protokol kesehatan yang sudah ditetapkan pemerintah, yaitu tetap pakai masker ketika berada di dalam ruangan, kerumunan, atau kondisi tidak sehat harus konsisten dijalankan.

"Bebas kalau di ruangan terbuka," Menkes Budi Gunadi menambahkan.

Menkes juga mengatakan, vaksinasi booster terbukti dapat meningkatkan kadar antibodi yang ada di dalam tubuh. Disiplin protokol kesehatan dan vaksinasi, kata Budi, yang membuat kasus di Indonesia dapat dikatakan tidak naik-naik.

"Kalau kita bandingkan dengan negara lain, seharusnya puncaknya sudah tercapai. Data yang kami miliki menunjang hal tersebut," Budi menambahkan.

Dilanjutkan Budi bahwa biasanya puncak kasus COVID-19 akan tercapai kalau dominan satu varian Virus Corona sudah tinggi. Dan, biasanya juga di negara lain dan Indonesia pada puncak-puncak kasus sebelumnya, saat dominasi Delta sudah mau 100 persen dari populasi virusnya, akan terjadi penurunan.

Demikian juga waktu Omicron. Sudah 100 persen dari yang di-genome sequence adalah varian Omicron, di situlah mulai terjadi penurunan.

"Ini juga yang kita lihat. Waktu kasus naik, pelandaian mulai terjadi, baik di Jakarta maupun Indonesia," katanya.

Budi menekankan bahwa kasus COVID-19 di Indonesia yang lebih rendah --- yang hanya empat sampai lima persen --- dibanding puncak sebelumnya. Padahal, di negara lain puncaknya bisa mencapai 30 persen. 

Menurut Budi, salah satunya karena berdasarkan hasil serologi survei yang dilakukan pemerintah diketahui bahwa antibodi mayoritas masyarakat Indonesia masih tinggi. 

Jika hasil serologi survei pada Desember 2021 menemukan bahwa antibodi 88 persen populasi di level 400 sampai 500-an, pada Maret 2022 sebesar 99 persen populasi sudah memiliki antibodi di level 3.000 sampai dengan 4.000. 

"Maka dari itu, untuk mengambil kebijakan yang tepat untuk di bulan Agustus dan September, kita akan jalankan serologi survei ketiga mulai hari ini," kata Menkes.

"Diharapkan dalam sebulan hasilnya sudah keluar sehingga kita bisa mengambil kebijakan yang tepat," ujarnya.

Menkes turut menyampaikan pesan dari Presiden Joko Widodo yang mengimbau seluruh masyarakat untuk tetap waspada dalam menghadapi kenaikan kasus di negara lain di dunia. 

"Pandemi belum selesai," kata Jokowi sebagaimana yang disampaikan Budi.

Presiden, lanjut Budi, juga berterima kasih kepada masyarakat yang sudah tetap disiplin dalam menjalankan protokol kesehatan, serta melakukan vaksinasi booster agar antibodi tinggi. 

"Kalau kita bisa menghadapi gelombang Agustus -September --- Juli ini terbukti selama tiga bulan bisa kita lewati dengan baik --- bisa mengendalikan jumlah kasus, Indonesia menjadi negara di dunia yang bisa menjaga pandemi sehingga tidak terjadi lonjakan berikutnya," kata Menkes.

"Ketika hal itu tidak terjadi, masyarakat lebih convidence beraktivitas, sehingga ekonomi akan berjalan dengan baik," pungkas Menkes Budi Gunadi Sadikin.


Jangan Anggap Sepele

Pemimpin teknis Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Dr Maria Van Kerkhove sempat mengungkapkan bahwa Omicron BA.4 dan BA.5 memang memiliki tingkat keparahan yang lebih rendah dari Omicron sebelumnya.

Namun BA.4 dan BA.5 juga dapat menyebar dengan lebih cepat dibandingkan dengan Omicron pendahulunya. Sehingga penting untuk seluruh masyarakat tetap mengambil langkah yang tepat untuk menjaga diri agar terhindar dari COVID-19.

"Penting untuk kita tetap mengambil langkah untuk menjaga diri kita agar tetap aman dan mengurangi peredaran virus ini dengan pedoman kesehatan yang sudah terbukti: menjaga jarak dan masker, serta menggunakan tes secara tepat," ujar Maria dalam konferensi pers WHO pada Selasa, 14 Juni 2022 lalu.

Bahkan Maria mengungkapkan bahwa WHO tidak melarang masyarakat untuk bepergian atau bersosialisasi. Hanya saja perlu dilakukan dengan seaman mungkin.

"Kami tidak mengatakan untuk berhenti bepergian atau berhenti bersosialisasi. Tapi lakukanlah seaman mungkin dengan cara-cara yang memang ada saat ini," kata Maria.

Gejala COVID-19 yang disebabkan subvarian BA.4 dan BA.5 yang cenderung ringan pun diakui oleh dokter spesialis paru konsultan Erlina Burhan.Tiga gejala yang kerap muncup pada pasien di RI seperti batuk, sakit tenggorokan dan demam.

"Dari yang terkonfirmasi ratusan (hasil pemeriksaan whole genome sequencing) data terbanyak mengatakan batuk, nyeri tenggorokan dan demam. Berbeda dengan Delta dulu ya yang dimulai dari demam, batuk, lalu sesak napas," kata Erlina dalam Virtual Class bersama Liputan6.com pada Rabu, 29 Juni 2022.

Risiko long COVID pun pada mereka yang terpapar BA.4 dan BA.5 lebih sedikit dari Delta. Bahkan, separuh dari Delta yang alami long COVID bila terpapar Omicron.

"Artinya, kalau kita bicara long COVID, dari jurnal yang saya baca, ada 4-5 jurnal risikonya rendah. Separuhnya dari Delta," jelas Erlina.

Meski demikian, Erlina mengingatkan agar masyarakat tidak boleh lengah dan terlena dalam situasi peningkatan kasus seperti sekarang ini.

"Gejalanya ringan, lalu keluhan pasca sembuh sedikit. Tapi ya jangan sampai terlena dan menganggap sepele," tegas wanita yang juga Ketua Pokja Infeksi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) ini.

Bagi orang yang memiliki sistem imun yang baik serta sudah divaksinasi, mungkin bila tertular kondisi baik atau hanya bergejala ringan. Namun, ada orang lain yang bisa tertular dan dampaknya bisa fatal. Misalnya pada orang lanjut usia, orang degan komorbid, anak kecil atau orang dengan gangguan sistem imun.

"Dampaknya bisa tidak ringan pada mereka."

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya