Liputan6.com, Jakarta - Sir Stamford Raffles bukan nama yang asing di sejarah Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Pria Inggris yang lahir di Jamaika itu adalah agen British East India Company, bahkan pendiri Singapura.
Nama lengkap Raffles adalah Sir Thomas Stamford Raffles. Ia lahir di lautan ketika orang tuanya sedang berlayar menuju Inggris.
Baca Juga
Advertisement
Menurut Britannica, Senin (4/7/2022), bapak Raffles memang seorang saudagar, namun Raffles tumbuh besar ketika keluarganya terjerat utang. Ia pun putus sekolah ketika usianya masih 14 tahun dan ia bekerja di East India Company untuk membantu keluarganya. Posisinya waktu itu adalah juru tulis.
Meski tak selesai sekolah, Raffles ternyata memiliki reputasi yang baik. Ia adalah seorang pemuda pandai yang hobi membaca sains, sejarah, dan mempelajari berbagai bahasa.
Pada usia yang baru 23 tahun, Raffles dikirim ke Penang untuk menjadi sekretaris asisten di pemerintahan yang baru dibentuk. Penang saat itu merupakan basis dari Inggris ketika Belanda sedang mendominasi Hindia Timur (Oostindische).
Di Penang, Raffles giat mempelajari bahasa, sejarah, dan budaya masyarakat Melayu yang tersebar di Semenanjung.
Studi Raffles menarik perhatian Gubernur Jenderal India: Gilbert Elliot-Murray-Kynynmound (Lord Minto). Raffles dipuji sebagai sosok yang intelektual dan cakap.
Ia pun mengirim Raffles untuk bertugas di wilayah Jawa untuk melawan pengaruh Napoleon Bonaparte di Jawa. Lord Minto dan Raffles kemudian tiba di Jawa pada 6 Agustus 1811, dan dimulailah sepak terjang Raffles di Nusantara.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Letnan Gubernur dan Geger Sepehi
Di Jawa, Raffles juga menunjukkan ketertarikannya pada peninggalan-peninggalan bersejarah yang tersebar. Namun, Raffles sempat menyerang Keraton Yogyakarta pada 19-20 Juni 1812.
Menurut situs Dinas Kebudayaan Yogyakarta, langkah awal Rafles adalah mengambil alih Jawa khususnya dari Perancis dan Belanda. Raffles kemudian mengirim residen-residen ke wilayah-wilayah di Jawa, termasuk kerajaan-kerajaan yang ada di pulau tersebut.
Sultan Hamengkubuwono II lantas bersekutu dengan Sunan Pakubuwono IV. Raffles sempat mengirim utusan untuk berdiplomasi dengan Sultan Hamengkubuwono II. Jalan diplomasi menemui titik buntu dan berakhir dengan upaya penaklukan Kasultanan Yogyakarta.
Kasultanan saat itu sedang dilanda konflik keluarga yang memperlemah pertahanan kasultanan. Hal ini dimanfaatkan oleh Raffles untuk menyerang Yogyakarta. Peristiwa ini disebut sebagai Geger Sepoy (Geger Sepehi) karena kebanyakan pasukan Inggris dari Brigade Sepoy. Brigade tersebut adalah tentara yang direkrut dari warga India yang sudah lebih dahulu dijajah oleh Inggris.
Serangan yang berlangsung tiga hari tersebut mengubah hampir seluruh tatanan lama Kasultanan Yogyakarta. Pelengseran dan pembuangan Sultan Hamengkubuwono II Ke Penang Malaya.
Advertisement
Pulang ke Inggris
Peristiwa Geger Sepoy telah menguras seluruh kekayaan materi maupun keilmuan Kraton. Seluruh naskah sejarah yang ada di kraton habis diboyong oleh Raffles dan kebanyakan dibawa ke Inggris dan disimpan di Bristish Library.
Melalui kontrak politik antara Hamengkubuwono III dengan Residen John Crawfud, Inggris menerima konsensi wilayah Kedu, Jipang, Japan, Grobogan, dan Pacitan. Akibatnya, bupati-bupati di wilayah tersebut dipulangkan ke Yogakarta dan diganti bupati baru yang setia kepada Inggris.
Setelah menguasai wilayah Kasultanan Yogyakarta, Inggris menerapkan pajak sewa atas tanah yang digarap penduduk serta menghapus penyerahan lain dan kerja wajib.
Ilmu pengetahuan juga berkembang pada masa Kolonial Inggris di Yogyakarta seperti banyaknya kunjungan ke bangunan-bangunan cagar budaya dan pemeliharaan naskah-naskah kesusastraan Jawa yang dirampas oleh Inggris pasca Geger Sepoy.
Namun, Brittanica menyebut kejayaan Raffles tak berlangsung lama. Pasalnya, ia jatuh sakit dan istrinya pun meninggal. Karier Raffles cukup terhambat pada periode ini, terutama karena meninggalnya Lord Minto.
Setelah 4,5 tahun di Jawa, ia pun pulang ke Inggris pada 25 Maret 1816. Kepulangannya itu juga tak disambut baik oleh East India Company.
Di Inggris, Raffles mendapatkan gelar ksatria, sehingga ia menjadi Sir Raffles. Ia juga disambut baik oleh Royal Society of London for Improving Natural Knowledge.
Raffles sempat kembali ke Bengkulu dengan kewenangan terbatas. Ia pun menyaksikan bagaimana Belanda kembali merebut kembali wilayah Nusantara dan melakukan monopoli.
Singapura
Setelah aktif di Jawa dan Sumatera, Raffles melanjutkan kariernya ke arah Selat Malaka.
Pada 29 Januari 1819, kapalnya berlabuh di sebuah pulau kecil. Di pulau itu ia mendirikan Port of Singapore.
Raffles sempat kembali ke Bengkulu selama tiga tahun, namun kembali lagi ke Port of Singapore dan menegaskan pelabuhan itu dapat digunakan semua bangsa.
Hingga kini, Raffles masih dianggap sebagai pendiri Singapura modern, sebab dialah yang bernegosiasi dengan Sultan Johor agar British East India Company bisa membangun pos dagang di Singapura.
Waktu itu, Singapura memang bagian dari Kesultanan Johor.
Di situs National Parks milik pemerintah Singapura, Raffles juga dipuji karena mengidentifikasi berbagai tanaman dan burung, termasuk bunga raflesia.
Menurut situs Roots milik pemerintah Singapura, Raffles pernah memuji Singapura sebagai "stasiun yang paling penting di Timur, dan sepanjang kepentingan superioritas angkatan laut dan perdagangan, memiliki nilai yang lebih tinggi ketimbang seluruh wilayah benua."
Namun, Raffles tak lama di Singapura. Pada 1824, ia pulang ke Inggris karena penyakit sakit kepala yang ia derita. Dan ia tutup usia pada 5 Juli 1826 karena tumor otak.
Patung Sir Raffles juga masih ada di Singapura, yakni di North Bank.
Advertisement