Liputan6.com, Jakarta Pemerintah meminta Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi UU Perkawinan terkait pernikahan beda agama, sehingga menolak pengesahan pernikahan beda agama.
Berdasarkan pandangan pemerintah dalam risalah sidang uji materi, ditegaskan UU Perkawinan yang berlaku tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Baca Juga
Advertisement
"Menolak Permohonan Pengujian Pemohon untuk seluruhnya. Atau setidak‑tidaknya menyatakan Permohonan Pengujian Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard)," kata Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Kamaruddin Amin mewakili Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dan Menteri Hukum dan HAM membacakan pandangan pemerintah dalam rapat 6 Juni 2022, dikutip dari risalah sidang pada Senin (4/7/2022).
Pemerintah memandang, hukum perkawinan dari agama dan kepercayaan yang dianut di Indonesia berbeda-beda. Sehingga tidak dapat disamakan suatu hukum perkawinan menurut satu hukum agama dan kepercayaan. UU Perkawinan memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh pemeluk agama di Indonesia.
Selain itu, beberapa landasan hukum perkawinan ada yang mengatur larangan pernikahan beda agama. Dicontohkan misalnya dalam Islam yang diatur dalam Alquran, hadis, dan fiqih.
"Bahwa terdapat beberapa landasan hukum perkawinan dari masing‑masing agama dan kepercayaan yang mengatur mengenai larangan perkawinan beda agama," kata Kamaruddin.
Bila hukum perkawinan disatukan dalam satu hukum perkawinan, pemerintah memandang justru akan menimbulkan diskriminasi bagi pemeluk agama.
"Dan melakukan perkawinan beda agama dan kepercayaan apabila terjadi penyimpangan dengan melakukan perkawinan beda agama dan kepercayaan justru akan memberikan perlakuan yang diskriminatif bagi salah satu pasangan perkawinan dengan tunduk dan meliputi salah satu hukum agama dan kepercayaan pasangannya yang lain dalam melangsungkan perkawinan, kendati dari masing‑masing pasangan tetap pada agama dan kepercayaan yang dianutnya," kata Kamaruddin.
"Padahal hak beragama dan tunduk pada hukum agama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, Pasal 28 ayat (1) Undang‑Undang Dasar 1945 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia," sambungnya.
Bagian dari Ibadah
Dalam konteks itu, menurut pemerintah hak melaksanakan perkawinan merupakan bagian dari ibadah agama yang dianut juga merupakan hak asasi yang perlu dipenuhi.
Pernikahan berbeda agama juga tidak diperbolehkan karena melanggar hak asasi manusia dan kebebasan.
"Karena dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap warga negara wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan undang‑undang dengan maksud semata‑mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai‑nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis," ujar Kamaruddin.
Advertisement
Bantah Diskriminasi
Pemerintah membantah dalil pemohon UU Perkawinan menghambat orang untuk menikah dan diskriminasi.
"Justru sebaliknya apabila yang dilakukan oleh Pemohon merupakan tindakan diskriminasi dengan melaksanakan pernikahan beda agama yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum agama dan kepercayaan dianut, tidak sesuai dengan Pancasila, dan Undang‑Undang Dasar Tahun 1945, dan ketentuan peraturan perundang‑undangan lainnya," tegas Kamaruddin.
Sebelumnya, seorang pria bernama E E Ramos Petege asal Kampung Gabaikunu, Mapia Tengah, Papua melayangkan uji materi (judicial review) terhadap Undang undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Alasan ajukan gugatan tersebut, karena dirinya merasa dirugikan dengan Undang-undang yang berimbas terhadap dirinya gagal menikah. Akibat perbedaan agama dengan pasangannya yang beragama muslim, sementara dirinya menganut katolik.
"Pemohon adalah Warga Negara Perseorangan yang memeluk agama Katolik yang hendak melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang memeluk agama Islam," bunyi uraian dalam draft permohonan gugatan yang telah terdaftar dalam situs MK, dikutip Senin (7/2/2022).
Namun, ketika hendak melangsungkan pernikahan usai jalani hubungan selama tiga tahun, upaya itu dibatalkan, karena persoalan perbedaan agama antara mempelai pria dan wanita.
"Mengenai syarat sahnya suatu perkawinan yang diatur dalam ketentuan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan ruang seluas-luasnya bagi hukum agama dan kepercayaan yang beragama," katanya.
"Jumlahnya dalam menafsirkan sahnya suatu perkawinan akan tetapi tidak memberikan pengaturan apabila perkawinan tersebut dilaksanakan oleh mereka yang memiliki keyakinan dan agama yang berbeda," lanjutnya.
Reporter: Ahda Bayhaqi/Merdeka.com