Liputan6.com, Jakarta Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti memastikan iuran peserta BPJS Kesehatan tidak naik, meski pembayaran untuk kelas 1-3 dihapus dan digantikan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).
Pasalnya, BPJS Kesehatan tak ingin tunggakan iuran yang kerap dilakukan peserta untuk kelas terbawah semakin menumpuk.
Advertisement
Ghufron berharap tidak ada kenaikan iuran BPJS Kesehatan selama masa uji coba kelas standar BPJS Kesehatan sampai 2024. Dia pun menepis asumsi masyarakat, yang bilang iuran peserta kelas 3 akan naik dari Rp 35.000 menjadi Rp 50-75 ribu per bulan.
"Sekarang aja kelas 3 membayar sekitar Rp 35 ribu, Rp 7 ribu ada subsidi. Itu aja yang nunggak ada beberapa," ujar dia usai sesi public expose di kantor pusat BPJS Kesehatan, Jakarta, Selasa (5/7/2022).
"Hitungannya jutaan orang (yang nunggak). Bayangkan kalau dua kali lipat, akan menunggak lebih banyak," keluh Ghufron.
Dari sisi APBN, ia menambahkan, pemerintah saja harus menanggung full iuran untuk penerima bantuan iuran (PBI). Belum lagi pemerintah masih harus menanggung subsidi Rp 7 ribu untuk peserta kelas 3.
"Itu kalau dua kali lipat dari Rp 35 ribu menjadi Rp 75 ribu, Anda bisa bayangkan tidak beban APBN akan membengkak lagi," sebutnya.
Namun, Ghufron mengatakan, putusan final iuran kelas standar BPJS Kesehatan masih harus didiskusikan terlebih dahulu dengan pemangku kepentingan terkait.
"Banyak hal lagi yang harus diperhitungkan lebih seksama, lebih komprehensif. Sehingga bisa lebih hati-hati, lebih komprehensif," kata Ghufron.
Dirut: Kelas Standar BPJS Kesehatan Bukan untuk Tutup Defisit
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, angkat bicara soal rencana penghapusan kelas 1-3 bagi peserta BPJS Kesehatan, dan menggantinya jadi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).
Ali menilai, pemanfaatan kelas standar BPJS Kesehatan sudah tidak relevan jika dikaitkan dengan rencana pemulihan keuangan lembaga. Itu lantaran BPJS Kesehatan sudah tidak defisit lagi pada laporan keuangan 2021.
"Yang jelas BPJS Kesehatan berharap, fokusnya KRIS untuk tingkatkan mutu sekalian ekuitas. Tidak hanya tutup defisit, karena tidak relevan, karena sudah tidak defisit," tegasnya dalam sesi public expose di kantor pusat BPJS Kesehatan, Jakarta, Selasa (5/7/2022).
Oleh karenanya, Ali mengatakan, pihaknya perlu duduk bersama dengan pemangku kepentingan lain semisal Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Kementerian Kesehatan, guna merumuskan kebijakan implementasi KRIS.
Selain itu, pihaknya juga ingin melihat kesiapan rumah sakit untuk penerapan kelas standar BPJS Kesehatan. Pasalnya, ada sejumlah kriteria yang wajib dipenuhi rumah sakit untuk implementasi KRIS, seperti 1 kamar dengan 4 tempat tidur.
"Ada kriteria lain lagi, harus ada perumusan kembali dan kesepakatan tentang tujuan, tentang definisi KRIS, dan bagaimana kriteria, apakah fisik atau ada non-fisik," tuturnya.
"Ini perlu rumusan lebih komprehensif, lebih matang. Perlu waktu untuk perumusan tersebut," tandas Ali.
Advertisement
Bertahun-tahun Defisit, Keuangan BPJS Kesehatan Akhirnya Surplus Rp 38,7 Triliun
BPJS Kesehatan mencatatkan surplus aset neto dana jaminan sosial kesehatan Rp 38,76 triliun di sepanjang 2021 lalu.
Kondisi tersebut membaik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, dimana lembaga mencatatkan defisit senilai Rp 5,69 triliun pada 2020, dan defisit Rp 51 triliun pada 2019.
Dengan capaian tersebut, BPJS Kesehatan sukses mempertahankan predikat Wajar Tanpa Modifikasi (WTM) untuk laporan keuangan 2021 dari akuntan publik.
"Ini merupakan predikat WTM kedelapan secara berturut-turut yang diraih sejak BPJS Kesehatan beroperasi tahun 2014, dan predikat ke-30 sejak era PT Askes (Persero)," ujar Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti dalam sesi public expose di Kantor Pusat BPJS Kesehatan, Jakarta, Selasa (5/7/2022).
Capaian Lainnya
Ali menyebut, capaian selanjutnya yang patut diapresiasi adalah kondisi Dana Jaminan Sosial (DJS) pada 2021 telah dinyatakan positif. Hal tersebut dibuktikan dari aset neto yang yang dimiliki hingga tahun lalu sebesar Rp 38,7 triliun.
"Posisi aset neto ini masuk dalam kategori sehat dan mampu memenuhi 5,15 bulan estimasi pembayaran klaim ke depan," terang dia.
Selain capaian WTM, sepanjang 2021 ada beberapa capaian yang berhasil diraih BPJS Kesehatan. Dari aspek kepesertaan, per Januari 2022 jumlah peserta program JKN mencapai 235,7 juta jiwa, atau sekitar 86 persen dari total penduduk Indonesia.
Seiring dengan jumlah pertumbuhan kepesertaan JKN, BPJS Kesehatan juga memperluas akses layanan di fasilitas kesehatan.
Hingga akhir Desember 2021, BPJS Kesehatan telah bekerja sama dengan 23.608 Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan 2.810 Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (rumah sakit).
Advertisement