Air Liur Bisa Dijadikan Sampel untuk Mengetahui Sisa Umur Manusia

Sebuah tes canggih memiliki kemampuan untuk memberi tahu seseorang tentang sisa umurnya dalam hidup hanya dengan menggunakan sampel air liur.

oleh Iskandar diperbarui 10 Jul 2022, 07:00 WIB
Ilustrasi sisa umur manusia. Dok: Nathan Dumlao/Unsplash

Liputan6.com, Jakarta - Sebuah tes canggih memiliki kemampuan untuk memberi tahu seseorang tentang usia biologisnya hanya dengan menggunakan sampel air liur.

Metode baru ini diklaim diklaim secara akurat memperkirakan jumlah tahun yang tersisa dalam hidup seseorang. Demikian sebagaimana dikutip dari The Sun, Minggu (10/7/2022).

'Mengukur usia' dalam istilah ini tidak memperhitungkan kondisi sel atau kesehatan tubuh seseorang secara keseluruhan. Perusahaan teknologi kesehatan bernama Elysium Health menyebut telah menemukan cara menghitung umur dengan tes "usia biologis".

Tes itu dikatakan bisa menghasilkan wawasan yang lebih akurat tentang berapa banyak waktu yang tersisa bagi seseorang untuk hidup.

Dijelaskan bahwa sebuah tes dilakukan dengan cara mengukur "telomer" sel pasien, yang mana merupakan tutup untaian DNA yang dapat dibuang atau terpotong ketika sel bereplikasi.

Seiring bertambahnya usia, panjang telomer memendek, sehingga menyebabkan tanda-tanda penuaan dan kerentanan terhadap penyakit.

Dalam hal ini Elysium Health menawarkan tes usia biologis dengan biaya USD 499 atau sekitar Rp 7,5 juta, menguji lebih dari 100.000 "pola metilasi" dalam DNA pelanggannya.

Hasilnya adalah pandangan ke dalam "jam epigenetik" seseorang--usia mereka berdasarkan analisis biokimia DNA-nya.

Rangkaian tes itu tidak bertujuan untuk membalikkan efek penuaan, tetapi hasilnya dapat mengubah perspektif seseorang tentang masa depan mereka.

Seorang anak dari pelanggan Elysium yang diuji mengatakan kepada The Guardian, tes tersebut sangat melegakan baginya, karena bisa memberinya harapan baru tentang perencanaan hidup.

“Mengetahui seberapa cepat dia benar-benar menua, itu memberinya rasa baru tentang dirinya dan bagaimana dia harus hidup dalam dekade mendatang,” kata Elysium.

Artikel yang sama mengutip salah satu akademisi di balik metode alternatif pengukuran usia yang menyebut bahwa usia biologis adalah prediktor risiko morbiditas yang lebih baik daripada usia kronologis.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Studi: Kemampuan Penciuman Manusia Makin Pudar Seiring Bertambah Usia

Gelandang asal Belanda Frenkie de Jong mencium logo klub barunya saat pengenalan dirinya sebagai pemain Barcelona di stadion Camp Nou, Spanyol (5/7/2019). Frenkie de Jong sangat antusias bisa bermain dengan sang superstar, Lionel Messi. (AFP Photo/Lluis Gene)

Di sisi lain, indera penciuman manusia secara bertahap akan memudar, menurut sebuah penelitian yang menemukan bahwa orang membawa versi berbeda dari dua reseptor aroma.

Reseptor penciuman mendeteksi bahan kimia di udara yang masuk ke hidung kita, tetapi reseptor penciuman sangat bervariasi dari satu orang ke orang lain.

Setiap dua orang, rata-rata, akan memiliki perbedaan fungsional di lebih dari 30 persen gen reseptor bau mereka, sebuah studi mengungkapkannya pada tahun 2013.

Temuan ini menjelaskan mengapa beberapa orang mungkin menemukan bau yang menyengat atau menyenangkan yang bahkan tidak dapat dideteksi oleh orang berikutnya, demikian dikutip dari laman sciencealert, Sabtu (5/2/2022).

Dalam studi, Bingjie Li dari Institut Nutrisi dan Kesehatan Shanghai dan rekannya meminta 1.000 orang Tionghoa Han dan 364 orang yang berbeda etnis dari New York untuk mencium 10 aroma, termasuk dua aroma yang sering dirasakan orang secara berbeda atau tidak sama sekali.

Apa yang mereka temukan mendukung hipotesis lama bahwa indera penciuman manusia menurun seiring waktu karena perubahan gen yang mengkode reseptor penciuman kita.

Namun, tidak semua orang setuju dengan hipotesis itu.

Peserta menilai intensitas bau pada skala 100 poin, dan para peneliti melihat variasi genetik dalam gen penciuman mereka, berharap menemukan perubahan yang terkait dengan bagaimana orang merasakan aroma.

"Membandingkan variabilitas persepsi ini dengan variabilitas genetik memungkinkan kita untuk mengidentifikasi peran reseptor bau tunggal," tulis Li dan rekannya.


Perkuat Temuan

Ilustrasi Hidung/https://www.shutterstock.com/Vladimir Gjorgiev

Tim mengidentifikasi dua reseptor bau baru: satu yang merasakan Galaxolide - bau bersih, manis dan bubuk yang digunakan dalam banyak wewangian.

Dan satu lagi yang mendeteksi bahan kimia yang disebut 3M2H, satu dari sekitar 120 senyawa yang membentuk bau badan manusia.

Penasaran, Li dan rekannya memeriksa dua perubahan genetik yang baru ditemukan ini, dan 27 mutasi terkait bau lainnya yang diketahui, membandingkan usia seseorang dengan setiap mutasi yang masuk ke dalam genom kita dan apakah perubahan itu dianggap membuat reseptor penciuman manusia kurang atau lebih sensitif terhadap bau.

"Merangkum semua variasi genetik yang diterbitkan yang berhubungan dengan persepsi bau, kami menemukan bahwa individu dengan versi leluhur reseptor cenderung menilai bau lebih intens,” tulis para penulis, menambahkan bahwa bukti ini menunjukkan indera penciuman manusia telah memudar seiring bertambah usia.


Infografis 4 Tips Jaga Kesehatan Mental Saat Pandemi Covid-19. (Liputan6.com/Trieyasni)

Infografis 4 Tips Jaga Kesehatan Mental Saat Pandemi Covid-19. (Liputan6.com/Trieyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya