Liputan6.com, Jakarta - Memasuki minggu kedua bulan Juli, setidaknya sudah terdapat dua aturan COVID-19 yang tidak konsisten ditetapkan dan dikomunikasikan oleh pihak pemerintah.
Pertama, soal wacana aturan lepas masker di luar ruangan yang hendak dicabut untuk merespons adanya kenaikan kasus COVID-19 akibat Omicron BA.4 dan BA.5. Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Presiden RI Ma'aruf Amin dalam pertemuan di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada Jumat, 1 Juli 2022.
Advertisement
"Kalau masker, protokol kesehatan tetap kita ketatkan, masker terutama ya, ada kenaikan terpaksa masker harus dipakai lagi. Jadi kelonggaran itu (lepas masker di luar ruangan) kita tarik dulu sampai nanti situasinya memungkinkan baru kita buka lagi," ujar Ma'ruf Amin.
Pernyataan tersebut kemudian berbeda dengan tanggapan pihak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI yang menyatakan belum ada perubahan aturan terkait penggunaan masker di luar ruangan.
"Belum ada perubahan dari kebijakan mengenai masker dari yang terakhir disampaikan oleh pemerintah. Jadi di luar diizinkan untuk tidak menggunakan masker. Sedangkan di dalam ruangan diharapkan, diimbau untuk memakai masker," ujar Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin melalui keterangan pers dalam Rapat Terbatas Evaluasi PPKM di Jakarta pada Senin, 4 Juli 2022.
Aturan yang terkesan tidak konsisten yang kedua berkaitan dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di area Jabodetabek. Pada Selasa, 5 Juli 2022, pemerintah mengungkapkan bahwa PPKM di Jabodetabek naik ke Level 2.
Sehari setelahnya yakni Rabu, 6 Juli 2022, aturan tersebut direvisi dan Jabodetabek kembali pada PPKM Level 1.
Dampak yang Berpotensi Muncul
Alhasil dari dua kejadian tersebut, tak sedikit warga kebingungan dengan aturan yang berubah dalam waktu begitu cepat.
Berkaitan dengan hal tersebut, Epidemiolog Centre for Environmental and Population Health Griffith University Australia sekaligus peneliti strategi komunikasi risiko dalam ranah kesehatan, Dicky Budiman mengungkapkan bahwa perubahan informasi dalam waktu singkat sebenarnya dimungkinkan.
Hanya saja pemerintah seharusnya mengomunikasikan itu dengan lebih baik sebelumnya dan tidak diputuskan secara mendadak.
Hal tersebut dikarenakan informasi yang diberikan dengan waktu yang singkat dan berubah-ubah dapat berdampak pada kepercayaan masyarakat pada program itu sendiri.
"Penting untuk kita ini punya ukuran-ukuran yang jelas, tegas, dan konsisten. Untuk apa? Untuk membangun rasa kepercayaan publik bahwa ini adalah upaya untuk mengendalikan (COVID-19), bahwa ini kepentingan publik," ujar Dicky melalui keterangan pada Health Liputan6.com, Rabu (6/7/2022).
Dicky menjelaskan, kepercayaan publik memang dapat dibangun salah satunya lewat kejelasan informasi. Sehingga jika terdapat perubahan informasi tanpa ancang-ancang atau antisipasi sebelumnya, maka yang timbul adalah menurunnya kepercayaan masyarakat pada program yang bersangkutan.
Advertisement
Efektivitas Program COVID-19 Terganggu
Lebih lanjut Dicky mengungkapkan bahwa pemberian informasi yang tidak konsisten tersebut nantinya dapat berujung pada efektivitas program COVID-19 itu sendiri.
"Jadi kalau tidak dikomunikasikan sebelumnya atau diantisipasi sebelumnya --- itu yang akan membuat efektivitas dari program itu sendiri menjadi tidak terjadi. Bisa bahkan menurunkan trust (kepercayaan). Ini yang harus dicegah," kata Dicky.
Bahkan menurut Dicky, wajar bila nantinya kepercayaan masyarakat menurun dan potensi pelanggaran aturan jadi lebih tinggi. Itulah yang membuat komunikasi risiko harus dengan baik dan konsisten untuk dilakukan.
"Makanya strategi komunikasi risiko ini penting. Dalam beragam wabah, dalam berbagai situasi kritis itu menjadi salah satu penentu vital keberhasilan program pemerintah," ujar Dicky.
"Karena sebagus apapun program pemerintah kalau tidak didukung masyarakat, itu tidak akan berhasil," tegasnya.
Dua Penentu Keberhasilan Pengendalian COVID-19
Dalam kesempatan yang sama, Dicky turut mengungkapkan bahwa terdapat dua hal yang sebenarnya menjadi penentu dalam keberhasilan pengendalian dari suatu kondisi kritis seperti pandemi COVID-19.
"Dua yang menentukannya, leadership (kepemimpinan) dan komunikasi risiko. Dua ini saling berkaitan karena di situ ada prinsip yang sama untuk membangun kepercayaan, transparansi, dan juga masalah good governance. Itu yang akan berimplikasi pada peran serta aktif masyarakat," kata Dicky.
Sehingga kesimpulannya apabila ingin program pengendalian pandemi COVID-19 berhasil, maka perlu ada strategi komunikasi risiko dan kepemimpinan yang baik. Termasuk dalam hal pemberian informasi yang sebaiknya konsisten.
Mengingat tanpa adanya dua langkah tersebut, kepercayaan masyarakat bisa semakin menurun dan program yang dijalankan untuk mengendalikan pandemi COVID-19 bisa terganggu keberhasilannya.
Advertisement