Liputan6.com, Jakarta Sebagian masyarakat Indonesia belum mengetahui betul apa itu penyakit kusta. Ketidaktahuan tersebut akhirnya memicu berbagai stigma.
Menurut Kepala Puskesmas Pondoh Indramayu, Novie Indra Susanto, masyarakat di pedesaan sebetulnya sudah mulai terbuka pengetahuannya. Namun, di pelosok-pelosok bisa saja masih ditemukan anggapan bahwa penyakit ini adalah penyakit yang menjijikkan dan bahkan kutukan.
Advertisement
“Di pelosok-pelosok mungkin masih ada saja yang menganggap bahwa itu adalah kutukan. Misalnya, ada masalah antar tetangga, seorang bapak dianggap jahat, kemudian anak dari bapak tersebut terkena kusta, maka anggapan yang muncul adalah anak itu kena kusta akibat bapaknya jahat,” ujar Novie kepada Health Liputan6.com saat kunjungan ke Desa Segeran, Indramayu bersama Yayasan NLR Indonesia, Rabu (6/7/2022).
Selain dari masyarakat, stigma juga bisa datang dari diri sendiri sebagai pasien kusta.
“Intinya bukan cuma dari masyarakat luar yang tidak sakit, tapi dari si yang sakitnya pun mindset-nya itu masih malu, minder, atau merasa ada yang dia takutkan kalau dia menderita kusta. Bagaimana anggapan masyarakat, bagaimana keluarganya, dan hal-hal lainnya.”
Pikiran-pikiran tersebut secara tidak disadari bisa membuat pasien mengisolasi diri sendiri. Jika demikian, maka produktivitasnya bisa menurun, malas berobat, sedangkan penyakit tetap berlangsung.
“Akhirnya yang dikhawatirkan itu timbul disabilitas. Jika sudah seperti itu ya disabilitasnya tidak bisa dikembalikan walaupun kustanya sudah sembuh.”
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Akibat Stigma
Stigma yang beredar baik dari masyarakat maupun dari pasien itu sendiri dapat berdampak buruk pada penanganan kasus.
“Stigma menghambat penemuan kasus, menghambat pengobatan, akhirnya ya segala kerugian mulai dari penularan hingga menurunnya produktivitas itu bisa terjadi. Itu lah yang akhirnya membuat susah memberantas kusta padahal kusta ini bisa diobati.”
Jika tidak diobati, penyandang kusta memiliki risiko mengalami amputasi. Kuman kusta yang menyerang saraf dapat menyebabkan saraf di tubuh tidak berfungsi, begitu pula sistem nyerinya.
Jika sistem nyeri tidak berfungsi, maka pasien tidak bisa merasakan luka yang ada di tubuh. Luka pun bisa terabaikan dan baru terlihat setelah kondisinya memburuk.
Jika sudah terjadi demikian, maka tindakan terakhir yang bisa dilakukan adalah amputasi.
“Penyebab amputasi itu umumnya karena jaringannya sudah mati sudah tidak berfungsi, kalau sudah mati apa lagi yang mau dipertahankan. Bahkan kalau dirawat juga dia nanti gas-gas beracun bisa merembet dan meracuni bagian yang masih sehat.”
“Kalau dipertahankan takutnya dia meluas, amputasi adalah pilihan terakhir,” ujar Novie.
Advertisement
Bisa Menyerang Mata
Di sisi lain, amputasi juga merupakan salah satu upaya untuk menyelamatkan pasien.
Selain tangan dan kaki, kusta juga bisa berdampak pada mata. Kusta yang menyerang bagian mata bisa membuat pasien kesulitan untuk berkedip.
“Dengan dia enggak bisa berkedip itu kan otomatis ada bagian mata yang selalu terbuka nanti dia kering. Kalau terbukanya extrem maka bisa terjadi kerusakan mata. Ini bisa disiasati dengan penggunaan tetes mata agar jaringan permukaan mata tidak rusak.”
Novie menambahkan, kusta jarang menyebabkan kebutaan secara langsung. Umumnya, yang terdampak adalah kelopak mata sehingga bola mata terus terbuka dan rentan kering serta kemasukan debu.
“Masalah paling sering kalau tidak bisa menutup sempurna itu kering bola matanya, lama-lama menjadi buram, harusnya setiap saat dilembabkan dibasahi apalagi kalau kebetulan pasien kerjanya kerja kasar seperti buruh bangunan yang sering kena debu nantinya matanya sering bermasalah.”
Selain tetes mata, cara lain untuk menyiasati kondisi ini adalah dengan menggunakan alat pelindung mata seperti kacamata untuk menghalangi debu masuk ke bola mata.
Periksa ke Fasilitas Kesehatan Terdekat
Novie juga menyarankan pasien untuk konsultasi secara teratur ke fasilitas kesehatan terdekat.
“Sekarang fasilitas kesehatan ada di mana-mana, di daerah ada puskesmas, pasien kusta diharapkan jangan sampai hilang kontak dengan petugas.”
Terus terhubung dengan petugas kesehatan dapat membuat kondisi pasien terjaga. Selain itu, petugas juga bisa memberi dorongan dan masukan-masukan yang dapat mengembalikan semangat pasien.
Sebelumnya, dokter umum dari Puskesmas Kertasemaya, Indramayu, Pratama Kortizona menerangkan bahwa kusta merupakan penyakit infeksi yang menyerang kulit seperti panu.
“Cuma dia (kusta) menyerangnya bukan ke kulitnya saja, tapi sampai ke saraf,” ujar Pratama kepada Health Liputan6.com saat kunjungan di Dusun Pondok Asem Jengkok, Indramayu bersama Yayasan NLR Indonesia, Selasa (5/7/2022).
Dokter yang rutin menangani pasien kusta ini menambahkan, penyebab kusta adalah kuman atau bakteri yang disebut mycobacterium leprae. Gejala awalnya dapat terlihat bercak keputihan di kulit seperti panu.
“Jadi awal gejalanya mungkin kalau dilihat kayak panu, tapi bedanya menyerang saraf. Karena menyerang saraf itu dia bisa hilang rasa namanya baal atau tidak terasa atau bahkan kalau kulit lain mengeluarkan keringat, dia (lokasi kusta) enggak mengeluarkan keringat. Karena saraf untuk keringatnya sudah rusak,” pungkasnya.
Advertisement