Liputan6.com, Jakarta - Ganja medis dua pekan terakhir kembali jadi bahasan masyarakat juga pejabat publik di Indonesia. Sayangnya, masih banyak yang belum memiliki pemahaman yang tepat tentang ganja medis seperti diungkapkan Guru Besar Fakultas Ilmu Farmasi Universitas Gadjah Mada, Zullies Ikawati.
"Banyak pemahaman yang kurang pas terkait dengan pengertian ganja medis, yang seolah-olah asal itu ganja, jika dipakai dengan alasan terapi, maka dapat disebut sebagai ganja medis. Hal ini menimbulkan pemahaman yang keliru di masyarakat," jelasnya.
Advertisement
Zullies menerangkan bahwa istilah ‘ganja medis’ adalah terjemahan dari bahasa Inggris "medical cannabis". Istilah itu juga sudah digunakan dalam banyak literatur ilmiah.
Satu definisi dari salah satu sumber resmi yang mudah dipahami adalah : Medicinal cannabis is a medicine that comes from the cannabis sativa plant. (misal dari https://www.healthdirect.gov.au/medicinal-cannabis). Yang berarti adalah obat yang berasal dari ganja.
"Karena itu adalah obat, maka tentu harus memenuhi sifat sebagai obat yaitu senyawa terstandar, terukur dosisnya dan digunakan sesuai indikasi dengan cara yang tepat," kata Zullies.
Ia juga ingin meluruskan bahwa ganja medis bukan berarti seluruh tanaman ganja yang jadi obat. Melainkan hanya komponen tertentu saja yang memiliki aktivitas farmakologi/terapi.
Ganja memiliki beberapa komponen fitokimia yang aktif secara farmakologi. Komponen utama pada ganja (Cannabis) adalah golongan cannabinoids. Cannabinoids sendiri terdiri dari berbagai komponen, dimana yang utama adalah Tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat Psikoaktif, dan Cannabidiol (CBD) yang memiliki aktivitas farmakologi, tetapi tidak bersifat psikoaktif.
"Yang menyebabkan efek-efek terhadap mental termasuk menyebabkan memabukkan dan ketergantungan adalah THC-nya, sedangkan CBD memiliki efek farmakologi sebagai anti kejang," kata Zullies dalam keterangan pers yang diterima Liputan6.com.
CBD bahkan sudah dikembangkan menjadi obat. Ada yang sudah mendapat persetujuan oleh FDA Amerika Serikat. Di sana ada nama Epidiolex, yang mengandung 100 mg/mL CBD dalam sirup. Obat ini diindikasikan untuk terapi tambahan pada kejang yang dijumpai pada penyakit Lennox-Gastaut syndrome (LGS) atau Dravet syndrome (DS), yang sudah tidak berespon terhadap obat lain.
Ganja Medis Benar Bisa untuk Cerebral Palsy?
Pada kasus yang viral dua minggu terakhir untuk penyakit cerebral palsy, maka gejala kejang yang akan dicoba diatasi dengan ganja. Dalam hal ini yang dibutuhkan adalah kandungan CBD bukan keseluurhan anman ganja.
"Kalau dalam bentuk tanaman, dia masih bercampur dengan THC yang bisa menyebabkan banyak efek samping pada mental dan memabukkan," jelas Zullies.
Kandungan dalam ganja medis bisa jadi alternatif namun bukan pilihan pertama karena ada aspek lain yang harus dipertimbangkan. Namun jika sudah jadi senyawa murni, seperti CBD, terukur dosisinya dan diawasi pengobatannya oleh dokter yang kompeten,
“Urgensi ganja medis pada dunia medis sebenarnya tidak besar, lebih kepada memberikan alternatif obat, terutama jika obat-obat yang sudah ada tidak memberikan efek yang diinginkan," terang Zullies.
Untuk menyatakan bahwa obat lain tidak efektif tentu saja ada prosedurnya yakni dengan melakukan pemeriksaan yang akurat dan penggunaan obat yang adekuat.
"Ganja medis baru bisa digunakan jika obat lain sudah tidak mempan, itupun dengan catatan bahwa ganja medis yang digunakan berupa obat yang sudah teruji klinis, sehingga dosis dan cara penggunaannya jelas,” terang Prof Zullies.
Advertisement
Yang Dilegalkan Bukan Tanaman Ganja
Obat yang berasal dari ganja seperti Epidiolex ini bisa menjadi legal ketika didaftarkan ke badan otoritas obat. Lalu, otoritas tersebut menyetujui untuk digunakan sebagai terapi.
Zullies mengatakan bahwa bukan melegalisasi tanaman ganjanya karena potensi penyalahgunaannya akan besar.
"Jadi mestinya yang dapat dilegalkan bukan tanaman ganjanya, tetapi obat yang diturunkan dari ganja dan yang sudah teruji klinis, yaitu Cannabidiol," kata Zullies.
Sampai saat ini, ganja masuk dalam narkotika golongan 1, demikian juga dengan THC dan Delta-9 THC, sedangkan Cannabidiol sama sekali belum masuk daftar obat narkotika golongan manapun.
Cannabidiol, dengan bukti-bukti klinis yang sudah ada, dan tidak adanya sifat psikoaktif, bahkan mungkin dimasukkan kedalam narkotika Golongan 2 atau 3 dalam Lampiran daftar obat golongan narkotika yang dibuat oleh Kemenkes dan dapat diupdate.
Ia juga merasa perlu koordinasi semua pihak terkait, yakni DPR, Kemenkes, BPOM, BNN, dan MUI untuk membuat regulasi untuk pengembangan dan pemanfaatan obat yang berasal dari Cannabis, seperti Cannabidiol, dengan mempertimbangkan semua risiko dan manfaatnya. Riset-riset terkait ganja perlu diatur dengan tetap terbuka kepada kemajuan ilmu pengetahuan, dengan tetap membatasi aksesnya untuk menghindarkan penyalahgunaannya.
Misalnya, obat yang berasal dari ganja seperti Epidiolex bisa menjadi legal ketika didaftarkan ke badan otoritas obat seperti BPOM dan disetujui untuk dapat digunakan sebagai terapi. Jadi, perkembangannya mungkin bisa sama seperti morfin yang juga berasal dari tanaman opium/candu.
Morfin adalah obat yang legal digunakan, selama diresepkan dokter dan digunakan sesuai indikasi seperti pada nyeri kanker yang memang sudah tidak mempan lagi dengan analgesik lain. Morfin untuk obat memiliki regulasi dan pengawasan distribusinya yang ketat. Tetapi tanamannya yaitu Opium tetap masuk dalam Narkotika golongan 1 karena memiliki potensi penyalahgunaan yang besar.
Kemenkes Bakal Lakukan Riset Soal Manfaat Ganja
Saat ini, Kementerian Kesehatan RI sudah melakukan kajian dan akan segera mengeluarkan regulasi tentang ganja untuk medis. Menkes Budi Gunadi Sadikin mengatakan yang perlu diperhatikan dalam penelitian ganja medis terkait bagaimana mengontrol fungsi penelitian. Fungsi penelitian ini harus sejalan dengan fungsi medis dari ganja.
"Kami sudah melakukan kajian (soal ganja untuk medis). Nanti sebentar lagi akan keluar regulasinya," ucap Budi Gunadi saat berdialog dengan wartawan di Gedung Kementerian Kesehatan RI Jakarta pada Rabu, 29 Juni 2022.
"Tinggal masalah bagaimana kita mengontrol untuk fungsi penelitian. Nanti kalau sudah lulus penelitian, produksinya (ganja) harus kita jaga sesuai dengan fungsi medisnya."
Advertisement