9 Juli 1762: Catherine yang Agung Meraih Kekuasaan

Catherine yang Agung adalah tsarina terakhir di sejarah Rusia. Ia melakukan banyak perubahan besar sehingga membuatnya meraih gelar "The Great".

oleh Tommy K. Rony diperbarui 17 Jan 2023, 08:09 WIB
Lukisan Catherine II karya Alexei Petrovich Antropov. Ia dikenal sejarah sebagai Catherine yang Agung berkat reformasinya di pemerintahan.

Liputan6.com, Moskow - Catherine (Yekaterina) adalah pemimpin wanita terakhir di Kekaisaran Rusia. Namun, ia berhasil menorehkan banyak pencapaian bersejarah, dan ia adalah satu dari sedikit pemimpin wanita yang memiliki gelar "The Great".

Perjalanan Catherine ke bangku kekuasaan sangat panjang. Awalnya, ia hanya seorang putri bernama Sophie yang dijodohkan dengan calon Tsar Rusia: Peter. 

Siapa sangka bahwa kedua remaja itu kelak akan berebut kekuasaan yang berakhir dengan Catherine di puncak kekuasaan dan Peter tewas di penjara? 

Menurut situs Britannica, kudeta dilancarkan Catherine pada 9 Juli 1762. Catherine dengan cerdas menggunakan kesempatan untuk memimpin pasukan melawan Tsar Peter III yang tidak populer.

Kudeta itu berlangsung cukup cepat. Catherine dengan segera dideklarasikan sebagai tsarina, dan beberapa hari kemudian Peter III dibunuh saat dipenjara. 

Buku biografi Catherine the Great tulisan Robert K. Masse menjelaskan bahwa Peter memang bukan tsar yang bijak secara politik dan budaya. Pasalnya, ia lebih suka pada Prusia yang merupakan rival dari Rusia. Idola Peter juga bukan kakeknya sendiri, Tsar Peter yang Agung, melainkan Kaisar Frederick yang Agung.

Sebaliknya, Catherine lebih bijak dalam memahami konstelasi politik Rusia. Meski ia sebenarnya lahir di Prusia, Catherine memilih loyal pada Rusia. Ia pun cerdik memilih sekutu-sekutu yang membantunya dekat dengan kekuasaan. 

Catherine meraih gelar "The Great" di negerinya karena ia mengambil langkah untuk melakukan reformasi hukum secara besar-besaran, meski tujuannya kandas di tengah jalan, sebab Catherine yang pragmatis tidak ingin terlalu membuat perubahan yang drastis. 

Di masa pemerintahannya, Catherine yang Agung juga dekat dengan para pemikir di Eropa, seperti Voltaire dan Diderot. Alhasil, wanita itu sukses membawa kultur intelektual di tanah airnya. Hingga kini, patung Voltaire masih ada di St. Petersburg.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Peran Tsarina Elizabeth

Tsarina Elizabeth (Yelisaveta) karya Vigilius Eriksen (1757). Wikicommons

Elizabeth Petrovna (Yelisaveta) merupakan salah satu wanita yang pernah menjadi tsarina di Rusia. Ia meraih puncak kekuasaan usai drama politik usai kematian ayahnya: Tsar Peter yang Agung.

Wanita itu memerintah dengan gemilang selama 20 tahun hingga kematiannya pada 5 Januari 1962. 

Nama Elizabeth Petrovna mungkin tak seterkenal nama penerusnya, Catherine yang Agung. Akan tetapi, Elizabeth memiliki peran sebagai mentor Catherine.

Lahir di Moskow, 29 Desember 1709, Tsarina Elizabeth dikenal sebagai pemimpin yang flamboyan, meski terkadang sifatnya labil.

Menurut buku Robert K. Massie, sejak muda Elizabeth memang terkenal cantik, apalagi statusnya adalah cucu Tsar Peter. 

Alhasil, ia menjadi populer di lingkungan istana, bahkan mengalahkan sepupunya, Tsarina Anna Ivanovna.

Selama berkuasa, Elizabeth memiliki reputasi yang cemerlang di bidang seni dan politik. Ia terkenal suka fashion, tetapi juga berani mengirim pasukan untuk melawan Kaisar Prusia, Frederik yang Agung.

Akan tetapi, salah satu misi utamanya adalah mendidik Putri Sophia (Catherine) yang direncanakan akan dikawinkan dengan keponakannya, Peter III. Elizabeth ingin agar garis keturunan Tsar Peter terus berjalan, sehingga ia sangat protektif terhadap Peter dan Sophia.

Elizabeth terbilang dermawan kepada Sophia, tetapi terkadang ia sangat tegas. Kemampuan Catherine di dunia politik tidak terlepas dari intrik politik yang ia saksikan di istana ketika Elizabeth berkuasa.


Perebutan Kekuasaan

Wartawan menyaksikan kembang api meledak di atas Katedral St. Basil dan Kremlin dengan Menara Spasskaya di Lapangan Merah yang kosong karena pembatasan pandemi COVID-19 saat perayaan Tahun Baru di Moskow, Rusia, Sabtu (1/1/2022). (AP Photo/Alexander Zemlianichenko Jr)

Ketika Tsar Peter yang Agung meninggal pada 1725, Kekaisaran Rusia jatuh ke dalam drama politik dan keluarga yang berkepanjangan. Takhta kaisar bahkan sempat dipegang anak bayi.

Adipati Agung Alexei Petrovich keburu meninggal sebelum naik takhta, alhasil kekuasaan jatuh kepada Catherine I (Yekaterina) yang merupakan janda dari Tsar Peter dan ibu dari Elizabeth.

Baru dua tahun berkuasa, Catherine I mangkat, sehingga kekuasaan beralih ke cucu Tsar Peter, yakni Peter II (Pyotr). Usia Peter waktu itu masih remaja dan meninggal pada usia 19 tahun. 

Berikutnya, kekuasaan jatuh ke tangan Tsarina Anna, sepupu dari Elizabeth. Kekuasaan Anna berlangsung selama 10 tahun hingga ia meninggal di 1740. Kekuasaan jatuh ke keponakan Anna yang masih bayi, yaitu Ivan VI. 

Di sinilah Elizabeth mengambil langkah dan melancarkan kudeta. Ia dengan mulus merebut kekuasaan dan Ivan VI yang masih bayi dikurung di penjara. 

Meski Elizabeth mencatat kesan positif selama berkuasa, nasib Ivan VI terbilang menjadi catatan kelam di rekam jejak Elizabeth. Ivan VI dipenjara hingga usianya 23 tahun. Seumur hidupnya ia tidak pernah merasakan kebebasan. 

Ivan IV akhirnya dibunuh setelah Elizabeth meninggal. Salah satu teorinya adalah Ivan VI dikhawatirkan menjadi alat merebut kekuasaan dari Catherine yang baru berkuasa.

INFOGRAFIS JOURNAL_Konflik Ukraina dan Rusia Ancam Krisis Pangan di Indonesia? (Liputan6.com/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya