Liputan6.com, Jakarta - Dewan Twitter menyatakan pihaknya akan melakukan langkah hukum usai Elon Musk memastikan dirinya batal membeli perusahaan tersebut. Seperti diketahui, Elon berencana membeli Twitter dengan harga USD 44 miliar atau sekitar Rp 659 triliun.
"Dewan Twitter berkomitmen menutup transaksi dengan harga dan persyaratan yang disepakati dengan Musk dan berencana mengambil tindakan hukum untuk menegakkan perjanjian merger. Kami yakin akan menang di Delaware Court of Chancery," tulis ketua dewan Twitter, Bret Taylor seperti dikutip dari kicauannya, Sabtu (9/7/2022).
Advertisement
Di sisi lain, keputusan Elon Musk untuk membatalkan pembelian Twitter karena perusahaan tersebut dianggap telah membuat pernyataan menyesatkan atas jumlah bot spam yang ada di platformnya. Menurut pengacara Elon, Mike Ringler, Twitter juga terkadang mengabaikan permintaan bos Tesla tersebut.
"Twitter juga terkadang mengklaim telah mematuhi permintaan Musk, sambil memberikan informasi yang tidak lengkap atau tidak dapat digunakan oleh Elon Musk dan timnya," tutur Mike seperti dikutip dari NPR.
Namun di sisi lain, sejumlah pakar hukum menyatakan, hal ini tidak bisa menjadi alasan yang cukup untuk Elon membatalkan kesepakatan tersebut. Bahkan, Elon pun disebut bisa mendapat denda yang besar.
Kabar Elon Musk membatalkan pembelian Twitter ini merupakan puncak dari spekulasi berbulan-bulan, dimana bos SpaceX itu bersikap acuh atas rencana tersebut.
Awal pekan ini, pembelian Twitter oleh Musk dilaporkan berada dalam "bahaya serius" karena negosiasi berlarut-larut sebelumnya akhirnya kesepakatan tersebut dibatalkan seluruhnya.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Twitter Gugat Pemerintah India, Lawan Aturan Perintah Pemblokiran Konten
Di sisi lain, Twitter dikabarkan menggugat pemerintah India sebagai bentuk protes atas perintah sensor konten di negara itu. Ini meningkatkan ketegangan atas undang-undang teknologi informasi yang diterapkan negara itu di 2021.
The New York Times melaporkan, seperti dikutip dari Engadget, Kamis (7/7/2022), gugatan itu diajukan pada Selasa waktu setempat, ke Pengadilan Tinggi Karnataka di Bengaluru.
Dalam gugatannya, perusahaan Amerika Serikat itu menuding pemerintah telah menyalahgunakan kekuasaan dengan memerintahkan secara sewenang-wenang dan tidak proporsional, penghapusan beberapa cuitan dari platformnya.
Selain itu, beberapa perintah pemblokiran disebut terkait dengan konten politik di Twitter yang diunggah oleh pegangan resmi partai politik.
"Pemblokiran informasi semacam itu merupakan pelanggaran terhadap kebebasan berbicara yang dijamin oleh warga negara-pengguna platform," tulis gugatan Twitter seperti dikutip dari Tech Crunch.
"Selanjutnya, konten yang dipermasalahkan tidak memiliki hubungan langsung yang jelas dengan alasan di bawah Bagian 69A," tambah mereka.
Twitter juga menyebut, New Delhi mengancam akan membuka proses pidana terhadap chief compliance officer di India, apabila perusahaan tidak mematuhi perintah.
Sebelumnya, hubungan Twitter dengan pemerintah India dikabarkan menegang sepanjang tahun 2021.
Pada bulan Februari 2021, pemerintah India mengancam akan memenjarakan karyawan Twitter kecuali perusahaan menghapus konten yang terkait dengan protes petani yang diadakan tahun 2021.
Advertisement
Hubungan India dan Twitter
Dua bulan kemudian, India memerintahkan Twitter untuk menarik cuitan yang mengkritik tanggapan negara itu terhadap pandemi Covid-19.
Baru-baru ini, pemerintah memerintahkan Twitter untuk memblokir cuitan dari Freedom House, sebuah organisasi nirlaba yang menyebut India adalah contoh negara dengan kebebasan pers yang merosot.
Selain itu, banyak di antara ratusan akun dan tweet yang dihapus, dinilai mencela kebijakan pemerintah India dan Perdana Menteri Narendra Modi.
Twitter telah memenuhi sebagian permintaan selama satu setengah tahun terakhir, meski tetap berusaha untuk melawan.
Namun di bawah aturan TI baru, mereka hanya punya sedikit ruang tersisa untuk secara individu menentang perintah penghapusan. Ketidakpatuhan dapat mengakibatkan tindakan hukum terhadap compliance officer di negara itu.
Bukan Hanya Twitter yang Gugat Pemerintah
Terkait gugatan itu, Menteri TI India Ashwini Vaishnaw mengatakan: "Adalah tanggung jawab semua orang untuk mematuhi undang-undang yang disahkan oleh Parlemen negara."
Sementara, belum ada komentar dari juru bicara Twitter di India terkait hal gugatan ini.
Menurut data Sensor Tower, media sosial yang rencananya akan dibeli Elon Musk ini memiliki sekitar 48 juta pengguna aktif bulanan dari seluruh aplikasi smartphone di India.
Twitter rupanya bukan raksasa teknologi pertama yang menggugat pemerintah India.
WhatsApp tahun lalu juga menggugat New Delhi, dan menentang aturan yang memungkinkan pihak berwenang membuat pesan pribadi menjadi dapat dilacak, dan melakukan pengawasan massal. Namun kasus ini masih tertunda.
(Dam/Ysl)
Advertisement