Liputan6.com, Jakarta - Siang itu cuaca di Kota Tangerang, Banten cukup panas. Beda halnya yang dirasakan Haifdz saat nongkrong di Taman MRT Dukuh Atas, Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat.
Di rumahnya, remaja berusia 17 tahun itu sedang bersiap diri memilah outfit atau pakaian yang akan dikenakannya untuk bertemu dengan temannya di akhir pekan. Menurutnya, berpenampilan menarik dan bagus merupakan hal yang harus dilakukannya sebelum berangkat menuju Ibu Kota.
Advertisement
Saat dijumpai Liputan6.com, Apis panggilan akrab Haifdz, sedang menata rambut pirangnya sedemikian rupa agar tampak rapi. Ritual menggunakan skincare wajah pun tak lupa dilakukannya.
Dengan mengenakan kaus hitam polos lengan panjang, celana kotak-kotak, tas pinggang, dan sepatu putih Apis bersiap untuk berangkat. Khusus untuk penampilannya saja, remaja lulusan SD tersebut harus merogoh uang sebesar Rp 1 juta. Beberapa potong baju dan perlengkapan lainnya sudah dikumpulkannya.
"Saya ngeliat temen-temen di sini (Sudirman) bajunya pada keren-keren gitu, saya jadi kepengen," kata Apis kepada Liputan6.com.
Apis seringkali menyisikan uang hasil kerjanya untuk membeli beberapa pakaian yang diinginkannya. Sejumlah pekerjaan serabutan dilakukannya. Mulai dari tukang angkut barang hingga tukang parkir.
"Saya kerja jadi tukang angkut barang dari kontainer-kontainer gede China. Itu saya kumpulin gajinya bisa Rp 1 juta kalau lagi ada kontainer. Tapi udah dua minggu ini lagi enggak ada sih," sambungnya.
Setelan pakaian yang dikenakan Apis seringkali hasil berbelanja dari sejumlah mal di Jakarta. Harganya pun bervariasi. Mulai dari Rp 55 ribu untuk tas, Rp 100 ribu untuk kaus, dan celana mencapai Rp 250 ribu. Apis selalu merasa cocok dengan outfit pilihannya.
Untuk kegiatan nongkrong, biasanya dia berangkat siang hari dari rumahnya menuju Stasiun Sudirman. Jarak rumahnya ke Stasiun Poris kurang lebih 5 kilometer dan ditempuhnya dengan berjalan kaki. Bukan tanpa alasan, Apis ingin sekaligus berolahraga.
Bahkan secara tidak langsung dia menghemat ongkos untuk sekali perjalanan. Perjalanan yang ditempuh sekitar kurang dari 2 jam. Untuk perjalanan dengan kereta listrik (KRL) commuter line memakan waktu 1 jam dengan tarif pulang pergi sebesar Rp 20ribu.
"Semenjak nongkrong dan kenal temen-temen juga, aku jadi lebih PD (percaya diri). Dulu aku pertama kali ke sini sendiri, lama-lama diajak kenalan dan akhirnya banyak temen. Setelah nongkrong aku ngerasa jadi pinter gaya (fashion)," Apis menandaskan.
Selain Apis, ada Alex dan Irgi yang harus melalui perjalanan sekitar satu jam untuk mendatangi Kawasan Taman MRT Dukuh Atas, lokasi yang belakangan disebut sebagai Citayam Fashion Week. Keduanya merupakan remaja berusia 15 tahun yang ingin mencari hiburan di luar kota dengan akses mudah dan murah. Biasanya Alex dan Irgi memilih pakaian yang dianggapnya menarik sebelum datang.
Kemudian mereka berangkat dari rumah dan bertemu di Stasiun Citayam menuju Stasiun Sudirman. Ongkos yang dikeluarkan untuk pulang pergi menggunakan kereta listrik (KRL) tak sampai Rp 10 ribu.
Sedangkan lokasi yang mereka tuju tak jauh dari Stasiun Sudirman. Atau hanya berjarak sekitar 200 meter. Biasanya Alex dan Irgi pukul 16.00 WIB sampai jelang tengah malam.
"Saya ke sini buat foto-foto aja, bisa buat foto produk yang saya jual. Atau juga kalau ada yang minta saya shooting wawancara gitu saya juga bisa," kata Irgi kepada Liputan6.com.
Alasan Cari Teman hingga Pacar
Irgi mengaku tak pernah membawa uang saku lebih dari Rp 30 ribu. Terpenting cukup untuk ongkos dan makan saja.
Selain untuk foto-foto, dia mengaku nongkrong di Sudirman untuk mencari teman, pacar, dan ketenaran seperti beberapa anak lainnya. "Kita juga di sini ada niatan nyari cewek. Kriteria saya itu yang penting setia, tulus dah pokoknya," ucap siswa kelas 3 SMP itu sambil tertawa.
Kebiasaan nongkrong setiap sore di Taman MRT Dukuh Atas juga dilakukan Febri. Biasanya setiap pukul 15.00 WIB dia datang dengan berjalan kaki dari rumahnya di kawasan Karet, Jakarta Pusat. Menurut Febri, jaraknya tak terlalu jauh jika melalui jalan pintas.
Saat Febri datang beberapa orang memanggilnya. Dia memang cukup terkenal di kalangan anak-anak tongkrongan. Remaja berusia 16 tahun itu mengaku beberapa cowok seringkali mengajaknya berkenalan bahkan berpacaran.
Kadang kala mereka saling bertukar akun media sosial hingga nomor telepon. "Saya suka ke sini karena enak aja, banyak cowok-cowok ganteng. Di sini juga banyak kenalan. Itu cowok-cowok di depan gengnya Roy itu temen saya juga," kata Febri kepada Liputan6.com.
Dia mengaku pakaian yang dikenakannya seringkali berbeda dengan di rumah. Febri ingin menunjukkan sisi kerennya kepada orang-orang yang ditemuinya. Beberapa kali dia belanja ke pasar untuk membeli pakaian baru untuk dikenakannya saat nongkrong.
Meskipun tak terlalu mahal, Febri mengaku sering terinspirasi dari gaya berpakaian orang di media sosial dan orang-orang yang berlalu-lalang di kawasan Sudirman.
"Saya tiap hari ke sini, kegiatannya ya ngobrol, main-main. Saya kalau ke sini ngerasa harus pakai baju keren, kadang ada yang minta foto dari fotografer saya juga suka foto-foto sih," Febri menjelaskan.
Alasan lain juga disampaikan oleh Aulia remaja asal Kota Bekasi, Jawa Barat. Dia bersama kedua temannya memang baru pertama datang ke Taman MRT Dukuh Atas. Sambil malu-malu mereka memperhatikan beberapa orang yang seringkali dilihatnya di media sosial.
Siswa kelas 3 SMP ini mengaku kedatangannya ingin bertemu dengan Jeje, Bonge, dan Roy remaja yang sedang viral di media sosial. Selain ingin bertemu dengan mereka, Aulia berencana menambah pertemanan.
"Malu mau ajak kenalan dan foto mereka. Tapi jauh-jauh ke sini ya mau nambah teman aja. Soalnya tahu sini dari Tiktok," ujar Aulia kepada Liputan6.com.
Advertisement
Budaya Kota Jadi Rujukan Jati Diri
Kawasan Taman MRT Dukuh Atas, Jakarta Pusat belakangan ini memang jadi ramai dan dipadati para remaja dari pinggiran kota dan penyangga. Mulai dari Bogor, Citayam Depok, Bekasi, hingga Tangerang. Bahkan lokasi tersebut saat ini dikenal sebagai Citayam Fashion Week.
Pantauan Liputan6.com, setiap menjelang sore hingga tengah malam para remaja mulai berdatangan di kawasan yang tidak jauh dari Stasiun Sudirman tersebut. Mereka mengenakan berbagai outfit atau pakaian yang berbeda-beda.
Mulai dari hoodie dan celana ukuran besar atau kedodoran, lalu kaus crop dengan cardigan, rok mini ataupun span, hingga berbagai gaya rambut yang mencolok karena warnanya. Kegiatan itupun menjadi bahan perbincangan di media sosial.
Pengamat sosial dari Universitas Indonesia Devie Rahmawati menilai kegiatan tersebut merupakan fenomena yang alamiah. Sebab namanya remaja sedang proses dalam pencarian identitas diri.
"Kemudian mereka juga merupakan kelompok individu yang mencari kebebasan dan kemerdekaan dan memiliki kecenderungan untuk tampil berbeda dengan budaya/aturan/adat istiadat yang biasanya terjadi," kata Devie kepada Liputan6.com.
Dia menjelaskan sejak dulu para remaja atau anak-anak muda selalu mencari rujukan dalam pembentukan jati diri. Dalam era digital seperti saat ini dan pendemi Covid-19 rujukannya yakni dari ruang digital atau media sosial. Sedangkan kata Devie, media sosial saat ini didominasi dengan konten atau budaya perkotaan.
Karena hal itu, dia mengaku tak heran ketika Jakarta menjadi kiblat pencarian identitas diri para remaja. Dalam konteks dunia digital, Devie menilai kehebatan dan kebenaran seringkali diwakili dengan sesuatu hal yang viral.
"Namanya ruang digital itu menghadirkan yang disebut dengan supermarket budaya. Akan tetapi, lagi-lagi supermarket budaya itu didominasi oleh budaya-budaya kota. Sehingga kemudian dari zaman dahulu ada kecenderungan anak dan remaja akan meniru hal-hal yang sifatnya metrosentik, karena itu dianggap menjadi sesuatu yang paling hebat dan paling benar," papar dia.
Kemudian kata Devie, hal-hal yang tersebut yang pada akhirnya dilakukan atau dipraktikkan oleh para remaja dari kota penyangga. Keadaan itu juga didukung dengan semakin melonggarnya aturan mengenai pandemi Covid-19 hingga akses transportasi.
Misalnya dari kereta listrik (KRL) commuter line hingga Transjakarta. Devie juga menyatakan setiap remaja akan berusaha menerjemahkan apa yang mereka bayangkan atau tontonan dari media sosial.
"Mereka menggunakan gaya mereka, terjemahan mereka tentang kota, tapi lagi-lagi settingnya kan ada di kota, sehingga kemudian mereka kembali tenar lagi, akhirnya mereka juga bisa mewarnai budaya di ruang digital yang biasanya didominasi oleh anak-anak kota. Tapi saat ini anak-anak pinggiran yang kemudian beraksi dengan latar belakang kota juga memiliki kesempatan untuk hits," ujarnya.
Berdasarkan temuan di lapangan, Devie menyatakan berkumpulnya remaja di Taman MRT Dukuh Atas menjadi rujukan baru untuk menirukan gaya mereka. Yaitu untuk remaja di luar ataupun di Jakarta. Hal tersebut dikarenakan faktor ketenaran yang didapatkan oleh beberapa orang akibat viral.
Media Sosial sebagai Rujukan
Sedangkan untuk persoalan sampah di sekitaran lokasi, Devie menyebut hal tersebut merupakan tugas bersama. Mulai dari para orang dewasa dan Pemprov DKI Jakarta. Papan pengumuman dan pengawasan diperlukan di sekitar wilayah.
Menurut dia, dengan struktur atau sistem yang kuat akan membangun kultur yang bagus dalam pembuangannya sampah di tempatnya.
"Karenanya kita perlu bantu adik-adik ini untuk bisa belajar bahwa ada yang bener, bahwa berkumpul nongkrong itu boleh tapi sampahnya tolong dibuang pada tempatnya," sambung dia.
Devie menegaskan selama sebuah peradaban masih ada anak muda, potensi untuk pencarian jati diri dan menjadikan kota sebagai basis mereka aman terus terjadi. "Mungkin nanti tempatnya akan berbeda, gayanya akan berbeda. Akan tetapi, polanya akan menjadi pola yang berulang dan itu akan terus terjadi," jelas Devie.
Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PMB)-BRIN Henny Warsilah Widodo menyatakan Jakarta tumbuh sebagai kota dengan segala kemudahannya. Mulai dari transportasi modern, komunikasi dengan adanya WIFI gratis, hingga pemandangan kota metropolitan yang menjadi daya tarik tersendiri untuk para warga kota pinggiran.
Magnet Jakarta tak hanya untuk masyarakat Indonesia, namun juga mancanagera. Misalnya dengan adanya penyelenggaraan sejumlah acara.
"Maka menjadi wajar jika kelompok orang muda dari daerah sub-urban datang dan menjadikan daerah sekitar Stasiun Sudirman tempat tongkrongan/hangout yang asyik tanpa biaya berarti," kata Henny kepada Liputan6.com.
Henny menyatakan Jakarta sebagai smart city memiliki tujuan untuk menjadi kota yang ramah untuk semua orang, adanya pemerataan pembangunan, dengan tetap memelihara rasa kebersamaan, dan mendorong urbanitas.
Lanjut dia, pertumbuhan penduduk di wilayah kota penyangga sangat tinggi. Ada kemungkinan pula orang tua saat ini merupakan mereka yang dulunya tinggal di Ibu Kota dan akhirnya menetap di kota pinggiran.
"Cerita para orang tua tentang kemegahan Jakarta menjadi faktor pendorong urbanisasi ulang alik bagi anak-anak muda ini," ucap dia.
Karena hal itu, dengan adanya mudahnya teknologi digital dan tingginya penggunaan media sosial saat ini berdampak pada penasaran yang sangat tinggi dari generasi muda. "Maka fenomena nongkrong bareng bisa menjadi content menarik bagi mereka," Henny menandaskan.
Advertisement
Citayam Fashion Week Bentuk Ekspresi Anak Muda
Berkumpulnya para remaja di kawasan Taman MRT Dukuh Atas atau yang berlokasi 100 meter dari Stasiun Sudirman tentunya mendapat respons pro dan kontra oleh warganet. Lokasi yang biasa disebut Citayam Fashion Week itu memang sempat viral di sejumlah media sosial. Gaya pakaian hingga persoalan sampah makanan seringkali mendapatkan sorotan.
Psikolog Anak dan Keluarga Astrid WEN menilai berkumpulnya para remaja di Citayam Fashion Week merupakan bentuk mengekspresikan diri. Salah satu bentuknya yaitu dari cara berpakaian atau penampilan. Hal tersebut sejalan dengan karakteristik atau naluri para remaja.
"Jadi ini menjadi ajang untuk mereka bisa mengekspresikan, siapa mereka. Lalu alasan yang kuat juga yang mendasari adalah keinginan untuk berkomunitas, jadi keinginan untuk mencari teman berkenalan atau lirik-lirik gitu, mencari mungkin gebetan," kata Astrid kepada Liputan6.com.
Menurut Astrid, para remaja itu ingin menunjukan kebebasan berekspresinya sendiri di waktu luangnya di tempat perkumpulan. Dia menilai kegiatan tersebut menjadi langkah yang positif.
"Ketika teman-teman remaja punya satu tempat di mana bisa berkumpul bersama saling berkenalan gitu ya bisa dilihat banyak orang. Dan kalau kita masyarakat mau menjaga atau kita mau memperhatikan kita boleh misalnya memang memberikan ada penjagaan petugas keamanan yang juga ramah dengan remaja kemudian juga diatur pendisiplinan," papar dia.
Pendisiplinan yang dimaksud Astrid yakni untuk antisipasi upaya tindak kriminal ataupun vandalisme. Lokasi berkumpulnya para remaja diyakini dapat meningkatkan perkembangan kreativitas yang ada.
Selain itu dia juga menyatakan menjalin pertemanan yang luas untuk remaja dapat mempermudah mereka mengenal bermacam-macam karakter.
"Itu akan memperkaya diri kita dan kita akan jadi tahu nantinya siapa sih saya, paling senang mengekspresikan diri dengan cara seperti apa dan saya sebenarnya cocoknya sama teman-teman yang seperti apa. Jadi harus perbanyak berteman dulu kemudian bagian mengekspresikan dirinya ini pelan-pelan gitu," ujar dia.
Apresiasi Penggunaan Produk Lokal
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan angkat bicara mengenai fenomena munculnya remaja yang banyak mendatangi kawasan Taman MRT Dukuh Atas, Jakarta Pusat. Bahkan warganet seringkali mengenal fenomena tersebut dengan mengganti singkatan SCBD atau kawasan pusat bisnis menjadi Sudirman, Citayam, Bojonggede, dan Depok.
Anies menjelaskan kawasan Dukuh Atas dibangun sebagai ruang ketiga yang ditujukan untuk mensetarakan dan mempersatukan semua warga. Sebab dulunya kawasan di Jalan Sudirman, Jakarta Pusat sangat susah untuk dinikmati oleh orang luar wilayah tersebut.
Yaitu mereka yang bekerja dengan menggunakan kendaraan pribadi. "Tidak ada yang berjalan kaki antar gedung, ada pertemuan antar gedung enggak ada yang jalan kaki," kata Anies seperti yang dikutip pada akun Instagram @aniesbaswedan.
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu menyatakan trotoar yang saat ini tersedia di Sudirman dapat digunakan oleh semua pihak, termasuk warga kota penyangga. Hal terpenting warga dapat menjaga kebersihan ketika memanfaatkan fasilitas yang ada.
"Silakan semua boleh datang menikmati ruang-ruang publik di Jakarta dengan cara dan ekspresinya masing-masing. Yang penting jaga kebersihan dan ketertiban. Selamat menikmati ruang ketiga di Jakarta," Anies menandaskan.
Sementara itu, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengaku tidak mempermasalahkan mengenai aktivitas yang dilakukan oleh para remaja di kawasan dekat Stasiun Sudirman, Jakarta Pusat. Riza bahkan memuji penampilan para remaja itu yang dinilai mencintai produk-produk dalam negeri.
"Enggak ada masalah, saya lihat juga di medsos outfit, sepatu mereka juga keren-keren, produk lokal lagi," kata Riza seperti dikutip dalam akun Instagram @arizapatria.
Selain itu politikus Gerindra itu mengapresiasi mengenai kegiatan yang seringkali disebut warganet sebagai Citayam Fashion Week. Kegiatan itu kata dia merupakan salah satu bentuk kreativitas anak-anak muda.
Riza hanya berpesan kepada mereka untuk selalu menjaga ketertiban dan kebersihan serta tidak merokok. "Petugas kami sempat menanyakan banyak dari mereka menjawab cuma jalan jalan. Emang ini lagi liburan, healing kata mereka. Mari kita jaga kota Jakarta yang kita cintai ini," jelas Riza.
(Nurul Fajri Kusumastuti)
Advertisement